Mohon tunggu...
Arnold Mamesah
Arnold Mamesah Mohon Tunggu... Konsultan - Infrastructure and Economic Intelligent - Urbanomics - Intelconomix

Infrastructure and Economic Intelligent - Urbanomic - Intelconomix

Selanjutnya

Tutup

Money

TPP Pilihan Cerdas

4 November 2015   05:39 Diperbarui: 4 November 2015   13:09 482
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pro-kontra TPP

Deklarasi Indonesia untuk bergabung dengan Trans-Pacific Partnership (TPP), berlanjut dengan sikap pro dan kontra. Berbagai alasan dan pertimbangan mengarah pada sikap kontra dan tidak setuju; menunjuk pada kesiapan para pelaku di dalam negeri, kecemasan akan kemampuan bersaing, ditambah segera berlakunya Masyarakat Ekonomi Asean (Asean Economic Community). Sangat langka komentar atau sikap pro atau mendukung; sementara sikap kontra didasarkan TPP mengusung perdagangan bebas (Free Trade), yang erat dengan liberalisasi dan pembebasan aturan atau hambatan (barier).

Peluang TPP dan Tri Polar Integrasi

Dari latar belakang pembentukannya, TPP merupakan pengembangan "Free Trade Area" dan Integrasi Perekonomian beberapa negara dalam persaingan perdagangan global. Dengan integrasi dan tatanan yang berlaku di dalamnya, diharapkan akan melancarkan perdagangan antar negara yang berpartisipasi.

Perdagangan antar negara era modern mulanya berbasis Model Gravity dengan lanjutan pada Ricardian Theory dan berbagai varian, serta keunggulan komparatif (Comparative Advantage) suatu negara. Dalam era Perdagangan Bebas (Free Trade), strategi integrasi perekonomian tidak semata melihat dari sisi keunggulan komparatif atau keunggulan mutlak (Absolute Advantage), tetapi mempertimbangkan manfaat bersama yang saling melengkapi demi mencapai pertumbuhan perekonomian.

Melihat TPP dari sudut pandang Amerika Serikat (US) sebagai inisiator, terkesan merupakan upaya perluasan pasar produk dan tenaga kerja US dengan berbagai standar serta aturan ketat. Tetapi jika dikaji dari landasan perdagangan internasional era modern dan pertumbuhan perekonomian, integrasi pereonomian tersebut tidak akan berkelanjutan jika perekonomian mitra dagang, yang merupakan anggota, tidak bertumbuh. Dalam contoh berikut diberikan gambaran dampak pertumbuhan yang tidak berimbang dan implikasinya.

Misalkan dalam TPP, US dan Indonesia melakukan perdagangan setimbang (tanpa surplus atau defisit) dengan nilai 1.000 (produk US dengan harga satuan=25, volume=40). Jika perekonomian Indonesia (GDP atau Gross Domestic Product) menyusut 5% dan indeks elastisitas permintaan adalah 2, nilai impor Indonesia dari US akan berkurang 10% (dari 2x5%) atau dari nilai 1.000 menjadi 900 (harga satuan=25, volume=36). Untuk memulihkan nilai ekspor US ke Indonesia kembali menjadi 1.000 maka salah satu cara dengan menurunkan harga satuan (misalnya menjadi : 20) dengan harapan terjadi kenaikan volume menjadi 50. Jika tingkat produktivitas US sudah optimum, penambahan volume ekspor dengan menurunkan harga pasti akan berdampak pada pengurangan biaya produksi; yaitu dengan cara pengurangan upah pekerja. Tentu bukan hal ini yang diharapkan.

Contoh tersebut memberikan gambaran bahwa integrasi ala TPP akan mendorong perekonomian yang saling bertumbuh bukan kondisi dominasi dalam pengertian yang satu menguasai yang lain berdasarkan keunggulan yang dimiliki.

Nilai GDP anggota TPP (12 anggota dan 6 akan menjadi anggota) diberikan pada tabel-1 berikut beserta perbandingannya.

Sumber informasi : GDP by Country dan nilai GDP dalam USD Miliar (Contoh : GDP Indonesia 2014 : USD 889 Miliar).

Total GDP Asean-10 (dari daftar 7 anggota TPP di atas ditambah GDP Myanmar, Kamboja, dan Laos) : USD 2.518 Miliar atau 4% dari Worldwide GDP. Dalam daftar nomor 1-18, yang dicetak tebal merupakan anggota TPP sesuai deklarasi 5 Oktober 2015, lainnya yang dicetak miring negara yang telah menyatakan keinginan atau deklarasi untuk bergabung.

Dari Tabel-1, perbandingan GDP TPP, Uni Eropa, China dan Lainnya (Others) dapat dilihat pada chart-2 di bawah ini.   

Dengan melihat chart-2, TPP merupakan bagian terbesar, Uni Eropa urutan berikutnya dan keduanya mewakili hampir 2/3 (65%) GDP global. Dari neraca perdagangan Indonesia tahun berjalan 2015 (hingga Agustus) dan memperhatikan tabel-1 (US, Jepang sebagai dua negara dengan GDP besar dalam TPP), perdagangan dengan US memberikan surplus sebesar USD 6,3 miliar, dengan Jepang hampir setimbang, dengan China defisit USD 10,1 miliar. (Lihat : Indonesia dan TPP - antara Hegemoni China atau USA), sedangkan dengan Uni Eropa surplus USD 2,4 miliar (sumber : Bank Indonesia - SEKI - External Sector). Dengan demikian, bagi Indonesia TPP dan Uni Eropa adalah peluang sedangkan China merupakan ancaman.

Jika diingat keberadaan BRICS (kerjasama Brazil, Rusia, India, China, South Africa), integrasi perekonomian global (mungkin) kelak berbentuk Tri-polar yaitu TPP, Uni Eropa, dan Integrasi China (termasuk BRICS), dengan negara-negara lainnya akan memilih untuk bergabung ke dalam salah satu dari antaranya.

MEA atau TPP dan Faktor Pemacu

Bergabungnya Brunei, Malaysia, Vietnam, dan Singapore dalam TPP ditambah dengan minat Thailand dan Filipina yang semuanya anggota Asean; maka sangat tidak cerdas jika Indonesia tidak mempertimbangkan atau menolak bergabung dengan TPP. Ukuran GDP Asean-10 yang hanya sekitar 4% dari GDP global jauh lebih kecil dibandingkan GDP dari TPP.

Keanggotaan Indonesia dalam TPP justru akan membuka peluang dan mendorong aliran penanaman modal dari negara anggota TPP lainnya berinvestasi di Indonesia sesuai dengan kemampuan atau keunggulan spesifik yang dimiliki. Pertimbangannya bukan menyasar pasar Indonesia tetapi sekitar Asean; misalnya investasi dari Kanada atau Selandia Baru dan Australia dalam "food related industry" (industri pangan). Bertumbuhnya investasi akan memacu peningkatan standar yang berlaku dalam sektor industri dan selanjutnya mendorong pertumbuhan perekonomian.

Demikian juga aturan atau regulasi yang sering dikeluhkan dunia usaha. Hal ini akan dipacu untuk berubah termasuk pada birokrasi dan regulator serta dunia usaha yang mencakup korporasi serta BUMN (Badan Usaha Milik Negara), dan UMKM yang hanya berorientasi pada pasar domestik. Jika muncul resistensi atau keengganan, maka hal tersebut harus diterobos agar dapat menikmati peluang dalam pasar TPP dan pasar lainnya.

TPP lebih dipilih daripada MEA karena ukuran ekonomi lebih besar dan membuka peluang serta memacu perubahan. 

Naluri pilihan yang CERDAS.

 

Arnold Mamesah - Laskar Innitiatives

4 November 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun