Sudah dapat dipastikan bahwa Suku Bunga Acuan The Fed (Federal Reserve US) akan naik tetapi waktunya belum ditetapkan. Prasyarat kenaikan tersebut adalah tingkat inflasi US yang ternyata tidak kunjung naik. Kenaikan suku bunga acuan, terakhir kali pada 2006, dilakukan untuk "cooling down" perekonomian US.
Dalam kondisi Strong USD (mata uang Dolar Amerika kuat terhadap mata uang negara lain), pasar US akan dipenuhi produk impor. Sementara, produk ekspor US akan mengalami tekanan sehingga beralih ke pasar domestik yang menyebabkan over-supply dan berdampak pada dis-inflasi sehingga harapan meningkatnya inflasi di US tidak terjadi. Kebijakan menaikan suku bunga The Fed membuat USD mengalir ke US dan membuat USD semakin kuat sehingga menimbulkan dampak balikan (counter-cyclical). Kondisi ini tentunya sudah menjadi pertimbangan pasar finansial sehingga "membiakkan USD" di US hanya akan memberikan imbalan kecil. Dengan demikian, gejolak pasar akan terjadi akibat kenaikan suku bunga The Fed terlalu berlebihan. Rasionalisasi gejolak ditimbulkan hanya untuk pembenaran dalam berspekulasi dan mendapatkan keuntungan. Intinya, tidak perlu berlebihan termakan rasionalisasi gejolak akibat kenaikan suku bunga The Fed. Kapan kebijakan tersebut akan berlaku, biarkan para petinggi The Fed untuk memutuskannya dengan berbagai pertimbangan akan resiko yang mungkin timbul pada perekonomian US.
Fokus Domestik Dalam Resesi Neraca
Sudah tiga jilid paket program stimulus diterbitkan tetapi lebih ditujukan untuk menarik minat para penanam modal non domestik mengalirkan dana untuk investasi. Tetapi apakah para pelaku usaha lokal tidak memerlukan perhatian ?
Masalah yang saat ini dihadapi dunia usaha terutama korporasi dan perbankan adalah Resesi Neraca. Pada sektor produksi, beban utang (utang eksternal dalam valas) yang meningkat akibat depresiasi Rupiah dan turunnya permintaan (atau penjualan), mengakibatkan dunia usaha memilih dan mengutamakan pembayaran utang (debt minimization), menekan biaya bahkan mengurangi produksi. Minat investasi sangat menurun karena prospek usaha tidak menarik. Tawaran pinjaman perbankan dianggap akan menjadi "racun" atau perangkap pada kemudian hari. Berkurang atau bahkan tanpa investasi akan menekan pertumbuhan usaha, meniadakan lapangan kerja baru atau bahkan timbul pengurangan. Kondisi ini menekan pendapatan tenaga kerja dan menurunkan permintaan (demand) barang dan jasa. Selanjutnya, secara siklikal menurunkan pendapatan dunia usaha yang kemudian harus mengurangi beban usaha.Â
Sektor perbankan yang menanggung sekitar 45% dari total utang eksternal valas, mengalami hal serupa akibat depresiasi Rupiah. Dalam ancaman Non Performing Loan (NPL) dan pengembalian pinjaman dari dunia usaha, pendapatan perbankan akan berkurang sementara pencadangan dana untuk antisipasi NPL bertambah.
Kondisi Resesi Neraca ini tidak dapat diselesaikan segera; pemulihannya tidak dapat hanya melalui deregulasi atau kemudahan. Tetapi mendorong dan mendukung dunia usaha untuk tetap beraktivitas akan meningkatkan kemampuan untuk menyelesaikan masalahnya. Dorongan bagi dunia usaha itu melalui kredit perbankan.
Pada sebuah artikel yang diposting, seorang rekan berkomentar : "Wis team ekonomi saat ini parah bangeettt deehh...." Jawaban atas komentar itu : "Mereka hebat tetapi mungkin hal kecil terlupakan ... hanya fokus dengan rutinitas ...".
Atau mungkin saja terkena "Not Invented Here Syndrome" ! Semoga dugaan ini tidak tepat.
Â
Â