Mohon tunggu...
Nolwi
Nolwi Mohon Tunggu... Usaha sendiri -

Akar kekerasan adalah kekayaan tanpa bekerja, kesenangan tanpa hati nurani, pengetahuan tanpa karakter, bisnis tanpa moralitas, ilmu tanpa kemanusiaan, ibadah tanpa pengorbanan, politik tanpa prinsip.(Mahatma Gandhi 1869-1948)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Setelah Mengaku Aktivis, Berkuasa, Lalu Negara Ini Seperti Milik Nenek Moyangnya?

11 Februari 2016   00:02 Diperbarui: 11 Februari 2016   11:47 2144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Foto : Merdeka.com"][/caption]Penulis sengaja memilih judul ini, setelah melakukan perenungan mendalam dan dilandasi dengan rasa prihatin terhadap orang-orang yang selalu bangga dengan kata aktivis tapi kelakukan jauh berbeda dengan apa yang cita-citakan oleh seorang aktivis, yang mana sesungguhnya mereka berjuang seharusnya untuk masyarakat dan negaranya

Jangankan kelakukannya bahkan dari sisi profesionalitas dalam keahliannya juga, masih jauh panggang dari api alias pandainya cuma bisa cuap-cuap memutar balikan kata dan kalimat alias cuma bisa nya jago ngeles. Lalu dengan senjata itu seolah sudah bangga menganggap diri sebagai aktivis.

Kita tahu aktivis diambil dari kata aktif: bekerja, berusaha dan aktivitas kegiatan atau kesibukan, aktivis artinya para pegiat,.orang-orang yang mengerakan atau mengatifkan. Nah penggerak-penggerak alami ini tidak serta merta menjadi penggerak jika tanpa motivasi sebagai tujuannya terhadap masalah-masalah yang dihadapi. Tentunya saya tidak mengajak untuk mengulas secara detail kata aktivis ini melainkan lebih banyak mengamati perilaku para aktivis.

Lihat saja para aktivis kemerdekaan RI sebelum proklamasi tahun 1945. Jika kita membaca buku sejarah dan catatan-catatan cerita disurat kabar tertentu bahkan bisa mendengar cerita langsung dari para aktivis ini disaat mereka masih hidup. Tentunya banyak hal menarik. Bagaimana perjuangan mereka mulai tentang kesengsaraan hidup diperantauan , tentang study, tentang masa menjadi pemuda-pemudi, menjadi keluarga muda sampai menjadi politisi ataupun menjadi pekerja profesional dibidangnya seperti menjadi wartawan, dokter, pengacara, dsbnya.

Bagaimana Moehamad Hatta seorang mahasiswa sekolah ekonomi di Belanda lalu pulang ke Indonesia bisa menjadi aktfis kemerdekaan Indonesia dengan berbagai ide briliannya soal fundamental dasar prinsip ekonomi Indonesia, sampai saat ini beliau dikenal dengan Bapak Koperasi.

Bagaimana Dr. Sutomo, Dr. Wahidin Sudirohusodo mereka adalah dokter-dokter muda lulusan stovia (sekolah dokter di jakarta) selain sebagai mahasiswa kedokteran, mereka juga aktif menjadi aktivis kemerdekaan Indonesia.

Bagaimana Ir. Soekarno- Seorang arsitek dengan berbagai hasil karya arsiteknya tapi sisi lain juga menjadi aktivis kemerdekaan.

Bagaimana dengan Ki Hajar Dewantara,..sebagai seorang guru konsisten mendidik rakyat dengan sekolah Taman siswanya.
Banyak contoh-contoh aktivis kemerdekaan, bila kita sebutkan satu persatu bisa ratusan bahkan ribuan orang yang ikut terlibat dalam persiapan kemerdekaan Indonesia.

Dari kisah-kisah ini rasanya penulis tak pernah menjumpai bahwa mereka minta pengakuan atau mengaku bahwa merekalah seorang aktivis??? Atau lebih konyol lagi merekayasa membuat tulisan otobiografi mengagung-agungkan dirinya agar orang tahu bahwa dia dulunya adalah seorang aktivis.

Rasanya penulis tak pernah melihat kelakuan mereka seperti ini. Bahkan ada beberapa diantara mereka nyaris terlupakan atau dilupakan hanya karena perbedaan idiologi. Tapi semua ini pada dasarnya tidaklah membuat mereka terus mabuk kepayang atas perjuangannya, lalu merengek-merengek minta pengakuan??

Mungkin lain zaman, lain pula idiealismenya

Saat Orde Baru berkuasa setelah aktifitas kampus dibungkam dengan kegiatan NKK/BKK alias normalisasi kegiatan kampus. Demo-demo terhadap pemerintahan Soeharto semakin jarang bahkan hampir tidak ada sama sekali. Jika ada sedikitnya saja bibit bakalan demonstrasi maka mata-mata dikampus sudah bergentayangan lalu intimidasi terhadap mahasiswa yang bersangkutan terus dilakukan bahkan sampai diancam untuk diberhentikan dari kuliah. Caranya mereka menekan aktivis mahasiswa melalui tangan penguasa dikampus untuk menandai mahasiswa yang menjadi target lalu di tekan agar keluar dari kampus atau diancam untuk dikeluarkan. Kalau tidak maka kampus tersebut terancam untuk ditutup.

Mulai sejak itu hampir-hampir demo-demo mahasiswa tak pernah ada. Lama vakum bahkan jika ada yang mau berdemo seolah dianggap aneh atau dianggap setengah gila dengan kenekatannya.

Tapi jangan lupa ditengah tekanan tersebut, masih ada sekolompok mahasiswa yang berani untuk mendemo kenaikan listrik di kantor Menteri Pertambangan, demo tersebut kalau tidak salah dipimpin oleh Sdr. Primus Interpares tahun 1986. Demo terbuka dihadapan para wartawan mereka menuntut agar tarif listrik diturunkan.

Atas keberanian ini maka menjadi semacam inspirator pemicu dikampus-kampus lainnya utk agar lebih berani berdemo. Mulai muncul demo soal kedung ombo, kalau tidak salah dimotori oleh Romo mangun dan sdr Stanley dan beberapa aktivis lainnya.

Keberanian untuk berdemo menentang kebijakan orde baru yang tidak pro rakyat semakin rutin terjadi di kampus-kampus sampai menjelang 1998. Orasi-orasi didepan kampus, membakar ban bekas, menutup jalan adalah pemandangan sehari-hari yang dilakukan oleh aktivis kampus. Pidato di atap mobil, berteriak-teriak kesana kemari, bernyanyi-nyanyi ria keliling-keliling bagai pawai kemeriahan menjadi pemandangan sehari-hari.

Awalnya gerakan ini terkesan tanpa koordinasi, masing-masing cuma menonjolkan kampus-kampus masing-masing, bahkan di kampuspun tidak semua kompak maasing-masing menonjolkan fakultasnya seolah yg paling ramai untuk berdemo dan sebagainya.

Tapi setelah terjadi peristiwa penembakan Mahasiswa di Universitas Trisakti dan kejadian ini di blow up oleh media nasional maupun Internasional maka kondisi semakin ramai.

Lalu terjadilah perstiwa semanggi II seorang mahasiswa teknik UI tertembak di dekat Kampus Atmajaya Jakarta, saat itu kejadian menjelang maghrib. Jaraknya tempat Yun Hap tertembak hanya beberapa meter saja dari penulis berdiri.

Maka sejak peristiwa itu tuntutan kepada rejim penguasa yakni rejim orde baru untuk mundur semakin bergema. Demikan juga banyaknya panser lalu lalang di seputaran jembatan semanggi yang berhadapan langsung dengan kampus Atmajaya, saat itu menjadi tempat berkumpulnya para aktivis dari berbagai daerah.

Setelah peristiwa penembakan tersebut maka beberapa hari kemudian tepatnya 21 Mei 1998 Soeharto mengundurkan diri.

Perlahan-lahan situasi politik membaik. Euphoria lengsernya orde baru terjadi dimana-mana, mahasiswa bernyanyi-nyanyi dengan masyarakat dengan berbagai kendaraan mobil yang digunakan keliling-keliling di berbagai ruas jalan protokol di Jakarta.

Lalu setelah itu dimulailah kebebasan politik, teriakan reformasi ada dimana-mana, mahasiswa kembali ke kampus masing-masing kembali belajar. Beberapa aktivis mulai dilirik bahkan ikut terlibat mendirikan partai politik. Untuk yang nasib baik di politik maka mereka eksis sampai sekarang. Untuk nasib yang kurang baik, bahkan untuk jadi DPR saja mereka gagal tapi bukan berarti lalu dalam dunia politik terus tamat?

Tapi dari semua kejadian ini, di saat itu ada ribuan mereka-mereka yang terlibat menjadi aktivis saat berjuang menurunkan orde baru. Mereka-mereka ini pada umumnya kebanyakan meniti menjadi profesional di bidangnya masing-masing. Serta dari mereka juga kita tak pernah mendengar kata atau meminta pengakuan bahwa mereka lah aktivis yang harus dihormati atau diperlakukan istimewa.

Jadi kalau mendengar ada mengaku mantan aktivis berteriak paling kencang membela rakyat kesana kemari dengan mulut bagai seorang yang  tidak berpendidikan. Dan katanya pandai berdiplomasi tapi ternyata cuma ngeles ke sana ke mari. Ngakunya pendidikan sudah s s s sekian dan sebagainya, lalu menulis sembunyi-sembunyi seolah menyamar minta diakui bahwa temannya adalah sorang aktivis. Kalau memang ini benar adanyanya sungguh sangat miris rasanya.

Apalagi kalau melihat kelakuan saat mendapat tekanan politik oleh media, langsung bereaksi seolah mau menunjukkan kalau dulu bahwa dirinya adalah seorang aktivis. Maka seolah juga mau mengatakan bahwa jasanya terhadap republik ini juga harus dihargai??? Adeuh-adeuh.. memang luar biasa seolah kita-kita di republik ini tak ada peranan sama sekali kecuali dirinya?

Padahal kalau sportif ditantangain atau di tanyakan apa keahlian profesionalnya??? Saya yakin tak akan pernah ada ditemukan bahwa keahlian yang sesungguhnya sebenarnya seperti apa? kecuali cuma jago bicara dengan menguasai berbagai paham trik debat kusirnya.

Apakah anda bagian dari itu,...amit-amit jangan deh.

Malu ah, bagi kami yang merasakan langsung pahit getirnya 1998, betapa perinya merasakan semprotan gas air mata,..di gebuk dengan rotan,..lari terbirit-birit tak menentu arah..

Salam nusantara...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun