Pembicaraan seperti ini sering terjadi. Sejujurnya aku takut sekali kehilangan ibu. Selama ini ibu menjadi pelindung dan pengayom. Bersama ibu rasanya semua hal bisa dihadapi. Hingga dalam suatu perenungan aku melihat sisi lain. Aku merasa betapa egoisnya aku jika meminta ibu bertahan hidup demi kepentingan anak-anaknya, Â demi perasaan nyaman anak-anaknya, Â sementara dia harus merasa sakit sepanjang hari.
---
Sejak saat itu aku mulai mengarahkan ibu untuk mempersiapkan kematiannya sendiri, bagaimana juga suatu saat Tuhan mengatakan waktunya habis di dunia ini.
"Rasanya lebih baik aku mati, aku sudah tak berguna", ucap ibu setiap kali dia merasa kesakitan.
"Silahkan saja jika Mamak sudah siap", jawabku santai.
"Coba kau pikirkan, Â bukankah tidak ada gunanya lagi aku hidup? Â Hanya menyusahkan", kata ibu.
"Persoalannya bukan itu, yang lebih penting adalah kesiapan Mamak. Mamak tahu kemana Mamak pergi jika sudah meninggal? Â Mamak percaya ada kehidupan sesudah kematian?", kataku.
"Kalau gitu bagaimana mempersiapkannya?", balasnya lagi.
"Sesuai iman percaya Mamak. Mengakui Tuhan Yesus sebagai juruselamat sesuai keyakinan Mamak. Membuang semua dendam jika masih ada", jawabku.
"Aku tidak ada dendam", balasnya.
"Yakin? Â Kepada si A atau B (orang-orang yang aku tahu pernah menyakitinya) tidak marah? ", tanyaku.
"Tidak, aku tidak dendam ke siapapun", jawabnya.
"Bagus kalau gitu. Mamak bereskan dulu hati Mamak terhadap sesama. Jika Mamak merasa pernah menyakiti orang lain Mamak minta maaf, Â buang dendam dan iri, fokus kepada hal-hal sorgawi", terangku.
"Oiya satu lagi. Mamak tidak usah kwatir sama kami, Â anak Mamak yang 8 orang ini. Kami sudah besar dan berkeluarga. Kami pasti bisa menyekolahkan cucu-cucu Mamak", kataku menambahkan.
"Aku memang sudah tak sanggup memikirkan kalian. Memikirkan penyakitku ini saja aku tak mampu makanya lebih baik mati", katanya.
"Penyakit itu cuma remah-remah Mak, Â bukan menu utama. Sakit artinya belajar bersabar dan semakin bergantung sama Tuhan, bukan langsung ingin mati", ocehku.
"Kau ngomong gitu karena bukan kau yang merasakan sakitnya", katanya mulai sewot.
"Memang aku tak mau sakit kayak Mamak kok", balasku sambil tertawa.
Sejak ibu mengalami kejang 6 kali dalam sehari, hati kecilku mulai takut. Takut ibu meninggal, bagaimana cara meninggalnya dan hal-hal lain seputar orang meninggal.
---
Tanggal 7 April 2020 kesehatan ibu makin buruk hingga harus opname. Â Dokter memanggilku untuk membicarakan proses pengobatan ibu yang sedikit rumit karena penyakit ginjalnya.
Tanggal 10 April 2020 ibu masuk ruang cuci darah. Â Proses cuci darah yang baru berlangsung sejam dari yang seharusnya 4 jam, Â tiba-tiba dihentikan karena leukosit ibu rendah. Â Hasil cek darah menuliskan leukosit ibu hanya 600, jauh dibawah normal yang harusnya diatas 5000. Dokter menyarankan tranfusi leukosit.Â
Masalahnya adalah transfusi tidak bisa dilakukan di rumah sakit itu karena ketiadaan alat. Ibu di rujuk ke Medan. Jarak Pematang Siantar - Medan memakan waktu 2 jam perjalanan, belum lagi kita harus memastikan ketersediaan tempat disana. Kami semua bergerak mencari info agar secepat mungkin ibu dipindah ke Medan. Namun takdir berkata lain, ibu meninggal sebelum sempat pindah rumah sakit.
---
Aku sangat menikmati hari-hariku selama tinggal bersama ibu. Walaupun hanya 6 bulan menjaga ibu tetapi tidak pernah ada penyesalan. Sepeninggalan ibu, aku dan suami harus memulai semuanya dari nol.
Kematian ibu dan cara meninggalnya ibu menyadarkanku akan satu hal, Â yakni kematian itu tidak menyeramkan.
Terlalu sering menonton film atau sinetron yang menggambarkan detik-detik terakhir menghembuskan nafas yang sangat menyakitkan sempat membuatku seram membayangkan kematian.Â
Aku tidak melihat hal sehoror itu pada saat kematian ibu. Bahkan aku tidak sadar di detik mana hembusan nafas terakhir ibu. Yang kulihat ibu meninggal dengan tenang dan wajahnya berubah menjadi cantik sekali, Â teduh dan damai. Tak terlihat sedikitpun guratan penderitaan.
Sesuai dengan iman percaya kita masing-masing, aku menyadari kematian adalah saat kita pulang kampung ke asal kita yaitu surga dan bertemu dengan Tuhan. Segala kesusahan dunia kita tinggalkan. Dulu setiap pulang kampung dari Bogor ke Sondi rasanya senang sekali, Â mungkin begitulah gambaran ketika juga kembali dari dunia ke surga. Â Pantas saja wajah ibu terlihat bahagia meninggalkan dunia ini. Â
10 April 2021 - 10 April 2022 tepat satu tahun meninggalnya ibu kami tercinta Lestariah Sinaga, meninggalkan 8 orang anak, Â 8 orang menantu dan 20 orang cucu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H