Mohon tunggu...
Sabarniaty Saragih
Sabarniaty Saragih Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu rumah tangga dengan tiga anak

Tampil apa adanya dan selalu berusaha melakukan yang terbaik

Selanjutnya

Tutup

Diary

Kematian Itu Indah

10 April 2022   09:29 Diperbarui: 10 April 2022   09:37 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Rasanya lebih baik aku mati saja", ucap ibu setiap kali dia merasa kesakitan.
"Silahkan jika memang sudah siap", kataku santai.
---
Mataku tidak henti menatap layar dimana nilai saturasi oksigen tertulis. Sementara ibu terlihat lemah dengan mulut agak menganga menahan perih akibat sariawan di seluruh bagian mulut dan lidahnya. Kakak laki-lakiku siap sedia disamping ibu untuk menyedot dahak yang tertahan di mulutnya. Untuk membuang dahak saja ibu sudah tak sanggup.

Ibu masih bisa diajak bicara dengan respon anggukan, gelengan atau dengan suara yang tidak jelas akibat mulutnya yang penuh sariawan. Matanya lebih banyak tertutup namun dia masih membuka matanya jika kita mengajaknya mengobrol. Ibu masih mengenali wajah kami yang berjaga di sampingnya.

Tiba-tiba nilai saturasi oksigen bergerak mundur dan semakin mundur. Secepatnya aku berlari ke ruangan suster. Bergegas dua orang suster datang ke ruangan ibu sementara kedua kakakku dan adikku terus menerus memanggil-manggil ibu. Masih sempat kulirik nilai saturasinya di angka 36 lalu aku fokus kepada dua orang suster yang sedang sibuk dengan ibu. Sementara Kakak laki-lakiku sibuk membersihkan dahak ibu.

Seorang suster yang mengukur tensi ibu terlihat kikuk, lalu tanyaku: "tensinya berapa Sus?"
Dijawabnya: "Sebentar ya Kak" lalu dia menyuruh suster yang satu lagi mengukur ulang tensi ibu. Mereka terlihat berbisik-bisik lalu aku bertanya lagi: "tensinya masih ada Sus?" Balasnya:"Kita panggil dokter jaga aja ya Kak" dan kami mengiyakan.

Segera dokter jaga datang dan memegang nadi ibu lalu keluar ruangan tanpa sepatah kata untuk kami, lalu salah seorang suster berkata: "Oppung sudah tidak ada ya Kak" dan kedua suster itu mulai mencopot satu persatu alat-alat medis yang terpasang di tubuh ibu.

Kedua kakak dan adikku langsung menangis, sementara aku masih tenang,  dalam hati berucap: "Inilah akhirnya. Yang kutakutkan selama ini terjadi. Tuhan pasti tahu kapan waktu yang terbaik" Saat itu benar-benar pasrah,  percaya saja bahwa Tuhan sudah atur sedemikian rupa.

Mendengar tangisan kakak laki-lakiku yang ketiga tiba-tiba muncul rasa kehilangan yang sangat dalam.  Airmataku mulai mengalir,  seolah-olah aku baru tersadar, ibuku sudah meninggal. Aku tidak punya ibu lagi,  tidak ada lagi rutinitas jam 6 pagi harus "memaksa" ibu minum obat,  tidak ada lagi rutinitas setiap Rabu dan Sabtu membawa ibu melakukan cuci darah,  tidak ada lagi bunyi bel tengah malam untuk ganti diapers, menggaruk,  memijit atau sekedar berjaga disamping ibu karena dia merasa takut sendiri. Semua kenangan tentang keseharian kami terlintas di kepalaku.

Yang menambah pilu ketika aku mengingat kakak laki-lakiku yang kedua. Dia baru seminggu lalu menjalani operasi otak di Surabaya dan tidak bisa pulang kampung sekedar menghadiri pemakaman ibu. Terbayang betapa sedihnya dia saat itu,  bahkan kamipun bingung bagaimana cara menyampaikan kabar duka ini kepadanya.

Aku mulai menangis terisak, mencium jasad ibu yang masih hangat. Entah berapa lama aku menangis lalu aku membuka mataku dan menatap wajah ibu. Wajah ibu terlihat cantik, bersih,  damai dan teduh. Tidak ada gurat kesakitan seperti yang terlihat selama ini. Aku tidak pernah melihat wajah ibu secantik dan seteduh itu.

Menyadari hal itu aku semakin menangis, kataku: "Kenapa wajah Mamak menjadi cantik? Mamak sudah sehat ya? Mamak senang ya?  Kaki mamak tidak sakit lagi? Mau aku pijitin tidak?" Dan semua kebiasaan yang selalu kami lakukan kuungkapkan dalam tangisan.
---
Ibu dengan kondisi stroke (tidak bisa menggerakkan badan sebelah kiri)  dan gagal ginjal dalam usia 68 tahun membuat kami anak-anaknya kalang kabut. Benar kata pepatah "seorang ibu mampu merawat sepuluh anak, namun sepuluh anak belum tentu mampu merawat seorang ibu"

Aku dan suami memutuskan pindah ke kampung halaman di sebuah desa di Sumatera Utara, tepatnya desa Sondi Raya, Simalungun. Ini menjadi salah satu keputusan besar yang kami buat selama 14 tahun berumahtangga dengan 3 orang anak. Ibu, dialah alasan utama kami meninggalkan kabupaten Bogor.

Tepatnya 30 Agustus 2020 aku dan anak-anak tiba di kampung halaman. Suami menyusul di bulan Desember 2020. Banyak perubahan dari rencana kepulangan kami disebabkan pandemi covid yang sudah merebak dari awal tahun, bahkan proses jual beli rumahpun belum selesai.

Kepulangan kami membawa sedikit kelegaan dalam hal perawatan ibu. Ibu tidak mau jika perawatannya diserahkan kepada orang lain.

Aku,  suami dan ketiga anakku tinggal di rumah ibu. Tidak perlu repot-repot memikirkan biaya hidup sehari-hari,  tugas utama kami hanya merawat dan menjaga ibu.

Rumah Sakit Harapan Pematang Siantar adalah rumah sakit tempat ibu melakukan cuci darah setiap hari Rabu dan Sabtu.  Jarak dari kampung ke rumah sakit bukan jarak yang dekat, sekitar 30 km dengan kondisi jalan yang rusak. Tak terbayang bagaimana rasa tidak nyamannya ibu setiap melintasi jalan itu.  Aku yang hampir setiap kali menemani ibu harus rela meletakkan telapak tanganku di bawah pantatnya untuk mengurangi rasa sakit di pantatnya. Sepanjang jalan mengeluh sakit, gatal dan capek.

Menghadapi orang yang sudah tua dengan kondisi sakit tidaklah mudah. Ibu jadi lebih gampang tersinggung,  merasa tidak berguna dan mungkin juga merasa kesepian.

"Kalian buang saja aku ke jurang biar kalian puas", kata ibu marah jika dia merasa kesakitan ketika aku membersihkan tubuhnya. Kakinya kaku dan tidak bisa diluruskan.

"Kalau kami ada niat, sudah dari dulu kami lakukan Mak", jawabku santai.

"Tolonglah pelan-pelan ngelapnya", balasnya dengan nada yang menurun.

"Siap Bos, ini sudah pelan banget", jawabku.

Ketika opnamepun ibu tidak pernah mau tubuhnya di bersihkan perawat. Katanya: "perawat tidak bisa pelan-pelan,  digeser kesana,  digeser kesini, sakit sekali rasanya".

Selama di opname, ibu selalu didampingi anak atau menantunya. Membersihkan badannya bahkan mengganti sprei menjadi tugas kami anak-anaknya. Karena kebiasaan ini para perawat di Pantai Hospital Penang mengucapkan terimakasih karena sudah sangat membantu mereka. Mereka bilang belum pernah menemukan keluarga pasien yang terlalu rajin seperti kami hehe..

Kami tidak pernah membiarkan ibu sendirian kecuali di ruang ICU. Salah satu dari kami harus siap sedia disamping ibu.
Ibu juga hanya mau dijagain oleh anak, menantu atau adiknya. Ibu bahkan marah ketika kami mengutarakan akan membayar seorang perawat untuk mengurusnya.
---
26 Februari 2019 kakak lelakiku yang kedua membawa ibu ke Penang untuk medical check up.  Ya, niatnya cuma periksa saja,  mengantisipasi jika ada gejala penyakit. Tak dinyata tanggal 28 Februari 2019 sekitar jam 1 malam waktu setempat ibu jatuh di kamar mandi hotel. Dinyatakan ada penyumbatan di otak dan gagal ginjal.

Jatuh sakit di negeri orang, melakukan serangkaian operasi otak, hampir sebulan di ruang ICU, benar-benar memporak-porandakan hati,  perasaan dan keuangan. Sulit dijelaskan bagaimana kala itu kami bisa melewati semua ini.  Biaya yang sangat besar untuk ukuran keluarga kami.

Total 48 hari di rumah sakit Penang,  tepat sehari setelah ibu merayakan ulang tahunnya yang ke 68, ibu diijinkan pulang ke kampung tetapi harus kontrol sebulan kemudian.  Begitulah setiap sebulan harus kontrol ke Penang sebelum pandemi.
---
Ibu meninggal hari Sabtu,  10 April 2021 di RS Harapan, Pematang Siantar sekitar jam 14.00 Wib. Kondisi ibu memang perlahan mulai drop sebulan sebelumnya.  Ibu tiba-tiba sering demam. Proses cuci darah juga tidak sampai tuntas karena ibu tidak kuat. Bahkan pernah dalam satu hari ibu kejang sampai 6 kali.

Ibu mengeluhkan rasa sakitnya, pergerakannya yang terbatas dan keharusan cuci darah 2 kali seminggu. Aku yang bersamanya sepanjang hari  juga merasa kasihan. Didudukkan salah, ditidurkan juga salah. Rasanya tak ada yang nyaman.

Ibu sering berkata, "Lebih baik aku mati saja. Aku tidak berguna lagi,  tidak bisa ngapa-ngapain,  cuma menyusahkan saja".

Awalnya aku selalu menjawab dengan marah, "Mamak tidak boleh ngomong seperti itu. Kalau Tuhan ijinkan Mamak hidup sampai sekarang berarti Mamak masih berguna".

Kadang dia terdiam, kadang dia menjawab: "Apa gunaku kalau sakit begini?  Bukankah aku hanya bisa menyusahkan kalian"

Jawabku lagi: "Apakah kami pernah mengatakan hal itu? Itu hanya perasaan Mamak. Pasti Tuhan punya maksud jika Ia masih mengijinkan mamak hidup sampai saat ini"

Katanya lagi: "Lalu menurutmu apa maksud Tuhan untukku?"

Balasku: "Yang tahu hanya mamak.  Mamak coba renungkan, tanya kata hati mamak. Minimal kalau mamak masih hidup, masih ada yang menasihati kami"

Pembicaraan seperti ini sering terjadi. Sejujurnya aku takut sekali kehilangan ibu. Selama ini ibu menjadi pelindung dan pengayom. Bersama ibu rasanya semua hal bisa dihadapi. Hingga dalam suatu perenungan aku melihat sisi lain. Aku merasa betapa egoisnya aku jika meminta ibu bertahan hidup demi kepentingan anak-anaknya,  demi perasaan nyaman anak-anaknya,  sementara dia harus merasa sakit sepanjang hari.
---
Sejak saat itu aku mulai mengarahkan ibu untuk mempersiapkan kematiannya sendiri, bagaimana juga suatu saat Tuhan mengatakan waktunya habis di dunia ini.

"Rasanya lebih baik aku mati, aku sudah tak berguna", ucap ibu setiap kali dia merasa kesakitan.
"Silahkan saja jika Mamak sudah siap", jawabku santai.
"Coba kau pikirkan,  bukankah tidak ada gunanya lagi aku hidup?  Hanya menyusahkan", kata ibu.
"Persoalannya bukan itu, yang lebih penting adalah kesiapan Mamak. Mamak tahu kemana Mamak pergi jika sudah meninggal?  Mamak percaya ada kehidupan sesudah kematian?", kataku.
"Kalau gitu bagaimana mempersiapkannya?", balasnya lagi.
"Sesuai iman percaya Mamak. Mengakui Tuhan Yesus sebagai juruselamat sesuai keyakinan Mamak. Membuang semua dendam jika masih ada", jawabku.
"Aku tidak ada dendam", balasnya.
"Yakin?  Kepada si A atau B (orang-orang yang aku tahu pernah menyakitinya) tidak marah? ", tanyaku.
"Tidak, aku tidak dendam ke siapapun", jawabnya.
"Bagus kalau gitu. Mamak bereskan dulu hati Mamak terhadap sesama. Jika Mamak merasa pernah menyakiti orang lain Mamak minta maaf,  buang dendam dan iri, fokus kepada hal-hal sorgawi", terangku.
"Oiya satu lagi. Mamak tidak usah kwatir sama kami,  anak Mamak yang 8 orang ini. Kami sudah besar dan berkeluarga. Kami pasti bisa menyekolahkan cucu-cucu Mamak", kataku menambahkan.
"Aku memang sudah tak sanggup memikirkan kalian. Memikirkan penyakitku ini saja aku tak mampu makanya lebih baik mati", katanya.
"Penyakit itu cuma remah-remah Mak,  bukan menu utama. Sakit artinya belajar bersabar dan semakin bergantung sama Tuhan, bukan langsung ingin mati", ocehku.
"Kau ngomong gitu karena bukan kau yang merasakan sakitnya", katanya mulai sewot.
"Memang aku tak mau sakit kayak Mamak kok", balasku sambil tertawa.

Sejak ibu mengalami kejang 6 kali dalam sehari, hati kecilku mulai takut. Takut ibu meninggal, bagaimana cara meninggalnya dan hal-hal lain seputar orang meninggal.
---
Tanggal 7 April 2020 kesehatan ibu makin buruk hingga harus opname.  Dokter memanggilku untuk membicarakan proses pengobatan ibu yang sedikit rumit karena penyakit ginjalnya.

Tanggal 10 April 2020 ibu masuk ruang cuci darah.  Proses cuci darah yang baru berlangsung sejam dari yang seharusnya 4 jam,  tiba-tiba dihentikan karena leukosit ibu rendah.  Hasil cek darah menuliskan leukosit ibu hanya 600, jauh dibawah normal yang harusnya diatas 5000. Dokter menyarankan tranfusi leukosit. 

Masalahnya adalah transfusi tidak bisa dilakukan di rumah sakit itu karena ketiadaan alat. Ibu di rujuk ke Medan. Jarak Pematang Siantar - Medan memakan waktu 2 jam perjalanan, belum lagi kita harus memastikan ketersediaan tempat disana. Kami semua bergerak mencari info agar secepat mungkin ibu dipindah ke Medan. Namun takdir berkata lain, ibu meninggal sebelum sempat pindah rumah sakit.
---
Aku sangat menikmati hari-hariku selama tinggal bersama ibu. Walaupun hanya 6 bulan menjaga ibu tetapi tidak pernah ada penyesalan. Sepeninggalan ibu, aku dan suami harus memulai semuanya dari nol.

Kematian ibu dan cara meninggalnya ibu menyadarkanku akan satu hal,  yakni kematian itu tidak menyeramkan.
Terlalu sering menonton film atau sinetron yang menggambarkan detik-detik terakhir menghembuskan nafas yang sangat menyakitkan sempat membuatku seram membayangkan kematian. 

Aku tidak melihat hal sehoror itu pada saat kematian ibu. Bahkan aku tidak sadar di detik mana hembusan nafas terakhir ibu. Yang kulihat ibu meninggal dengan tenang dan wajahnya berubah menjadi cantik sekali,  teduh dan damai. Tak terlihat sedikitpun guratan penderitaan.

Sesuai dengan iman percaya kita masing-masing, aku menyadari kematian adalah saat kita pulang kampung ke asal kita yaitu surga dan bertemu dengan Tuhan. Segala kesusahan dunia kita tinggalkan. Dulu setiap pulang kampung dari Bogor ke Sondi rasanya senang sekali,  mungkin begitulah gambaran ketika juga kembali dari dunia ke surga.  Pantas saja wajah ibu terlihat bahagia meninggalkan dunia ini.  

10 April 2021 - 10 April 2022 tepat satu tahun meninggalnya ibu kami tercinta Lestariah Sinaga, meninggalkan 8 orang anak,  8 orang menantu dan 20 orang cucu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun