Keluarga kami baru saja pindah ke desa ini. Tidak susah bagiku untuk menyesuaikan diri karena ini desa kelahiranku dan suami, tempat kami dibesarkan.
Namun tidak bagi ketiga anak kami. Lingkungan baru, sekolah baru, kebiasaan baru, dan segala keterbatasan yang ada di desa ini terkadang membuat mereka protes. "Mamaaaaa...ke siniiiiii", teriaknya dari kamar mandi.
"Ada apa?" kataku setelah berlari terburu-buru dari teras. Takut terjadi sesuatu dengannya.
"Mama menyuruh kami mandi pakai air got?" katanya lembut sambil melirik ke dalam ember.
"Itu bukan air got, itu air PAM," jawabku.
"Kenapa airnya keruh?" tanyanya.
"Karena habis hujan," jawabku singkat.
"Di sini setiap hari hujan, berarti setiap hari kita mandi pakai air seperti ini?" tanyanya lagi. Benar juga yang dia katakan, kalau aku beri alasan hujan berarti setiap hari air akan seperti itu selama musim hujan.
"Kemaren air PAM mati jadi kita terpaksa pakai air hujan. Sekarang sudah hidup tapi kotor," katanya meneruskan.
"Buka saja kerannya, hidupkan terus sampai air kotornya hilang," balasku santai.
"Memang yang kotor terbuang itu tidak dibayar?" tanyanya lagi.
"Dibayar" jawabku.
"Kita jadi rugi dong, air kotor dibayar. Kenapa sih di sini sering mati air? Tidak enak banget di kampung ini," protesnya.
"Dinikmati sajalah," jawabku datar.
"Siapa sih pemimpinnya?" katanya.
"Pemimpin apa?" jawabku.
"Bos yang mengatur air ini," jawabnya.
"Enggak tahu juga, kita kan masih baru di sini. Lagipula buat apa bosnya?" kataku lagi.
"Harusnya orang-orang di kampung ini datangi bosnya sambil bawa air ini, suruh bosnya minum atau mandi pakai air kotor ini, dia mau enggak? Jangan-jangan pemimpinnya tidak tahu," katanya sambil ngedumel.
"Pasti tahulah, sudah pernah ada yang protes kok. Dengar-dengar karena pipanya rusak, susah mengganti karena hutannya lebat. Kan airnya berasal dari hutan," kataku.
"Masa tidak ada yang bisa benarin? Apa gunanya pemimpin kalau tidak bisa benarin itu?" lanjutnya.
"Akh masa pemimpin yang benarin," jawabku asal dengan maksud supaya dia berhenti protes.
"Bukan dia, tapi cari orang ahli. Cari sampai ketemu," katanya tegas.
"Jangan berpikir jadi pemimpin itu enak-enak doang. Pemimpin itu harus punya misi," lanjutnya.
"What? Anak kecil ini bicara misi," kataku dalam hati.
"Waktu aku kelas 2 dan jadi ketua kelas aku punya misi, masa pemimpin PAM tidak punya?" lanjutnya sok dewasa.
"Emang misi kamu apa?" tanyaku penasaran. Aku jadi lebih tertarik membahas misinya ketika jadi ketua kelas daripada membahas air yang kotor. Apa sih yang diketahui anak kecil tentang kepemimpinan.
"Pertama: harus menertibkan kelas kalau guru sedang keluar. Kedua: harus mengenal orangtua semua teman-teman sekelasku, siapa yang biasa mengantar jemput mereka," katanya.
"Kenapa kamu harus kenal sama orangtua mereka?" tanyaku.
"Iya, jaga-jaga supaya mereka tidak diculik. Diam-diam aku lihatin mereka kalau dijemput, benar enggak yang jemput itu orangtuanya atau mbaknya. Temanku ada yang dijemput mbaknya juga," lanjutnya.
"Ohhhh," kataku membatin.
"Itu doang misinya?" tanyaku lagi.
"Ketiga: berusaha datang paling pagi dan tidak boleh terlambat," katanya.
"Tapi waktu itu kamu pernah terlambat dan tidak mau masuk padahal gurunya masih mau bukain gerbang," kataku mengingatkan kalau dia pernah diantar ke sekolah lalu ngotot minta pulang ke rumah lagi.
"Iya, karena aku sudah terlambat banget, tidak ada anak-anak yang di luar lagi. Nanti teman-temanku malah ikut-ikutan terlambat kayak ketua kelasnya. Aku harus jadi contoh, jadinya sekalian saja tidak usah masuk," katanya. "Duileee... bangga banget jadi ketua kelas," kataku dalam hati.
"Tapi kamu jadi ketinggalan pelajaran," kataku lagi.
"Pelajaran sehari doang, kan bisa aku pelajari di rumah daripada aku jadi contoh ketua kelas yang datang terlambat? Hayo mending mana?" lanjutnya.
"Oh.. jadi misinya ada 3?" tanyaku lagi.
"Masih ada. Keempat: ketua kelas harus bisa bawa doa," katanya.
"Doa gimana maksudnya?" tanyaku lagi.
"Jadi setiap pagi sebelum mulai pelajaran harus berdoa dulu. Ada loh temanku yang tidak mau disuruh memimpin doa. Jadinya ketua kelas yang menggantikan," jawabnya.
"Berarti ketua kelas disuruh-suruh dong? Tapi bukannya pemimpin itu harusnya menyuruh, kan bosnya," kataku memancing pendapatnya.
"Ketua kelas itu memimpin supaya kelasnya tertib. Jadi dia harus cari cara supaya bisa tertib," lanjutnya sok bijak.
"Termasuk memimpin doa kalau tidak ada yang mau?" tanyaku.
"Iya. Kan ada peraturan sebelum belajar dan sesudah belajar harus berdoa. Pemimpin tidak boleh melanggar peraturan," tambahnya lagi.
"Oh..." jawabku datar tanpa tahu harus berkata apa.
"Nanti Mama bilang sama pemimpin PAM supaya dia punya misi," lanjutnya sok tahu.
"Pasti dia punya," kataku.
"Iya, misinya membuat kampung ini menjadi kampung terbau di dunia karena orang-orangnya sering tidak mandi ha..ha..ha," katanya terbahak.
Akhirnya dia mandi memakai air yang sudah ditanak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H