Di sebuah grup akademik, ada beberapa dosen yang menanyakan bagaimana mereka bisa mengurus JFD mereka di tempat yang baru tanpa harus mendapatkan surat tersebut dari PT lama. Jawaban dari beberapa dosen menyatakan bahwa hal ini tidak mungkin dilakukan. Mereka menyarankan untuk menjaga hubungan dengan PT lama dan kalau bisa keluar dengan baik-baik untuk mempermudah hal ini.Â
Tetapi bagaimana kalau seorang dosen ingin pindah dikarenakan mendapatkan tawaran yang lebih baik dan ketika dia menyatakan keinginan ini ke PT lama dan tidak diperbolehkan. Kalau memaksa pindah artinya hubungan menjadi tidak baik dan PT yang lama, sebagian besar, tidak rela untuk menyamakan imbal jasa yang akan diberikan oleh PT yang baru. Bagaimana caranya keluar dengan baik-baik kalau dengan kita keluar kita akan dianggap sebagai pengkhianat?Â
Jalan keluar dari aksi "premanisme"
Ketika membaca wacana menjadikan preman sebagai "debt collector", saya rasa ini tidak akan menjelaskan masalah. Apakah tidak mungkin bahwa ketika menjadi "debt collector" maka cara-cara yang digunakan juga tidak terlepas dari aksi premanisme? Tentunya perlu solusi yang lebih baik untuk mengatasi masalah preman ini. Banyak yang bilang bahwa pendidikan diperlukan agar aksi premanisme tidak terjadi. Lalu, bagaimana jika dunia pendidikan pun tidak terlepas dari aksi premanisme?
Untuk dunia pendidikan, tentunya ada cara yang sangat mudah untuk menyelesaikan aksi premanisme tersebut. Kunci dari permasalahan ini ada di tangan pemerintah, terutama Dikti dan Kopertis. Kenapa harus dibuat sistem yang mengharuskan dosen untuk pindah dan meminta surat "lolos butuh" dari PT yang lama? Tentunya Dikti dan Kopertis harus terlibat secara aktif dalam memuluskan perpindahan seorang dosen dari PT X ke PT Y. Ingat, kesejahteraan hidup seorang dosen seringkali terganggu dikarenakan hal ini.Â
Selain itu, perlu juga diterbitkan aturan baru yang lebih mendukung terjadinya perlindungan kepada seorang dosen. Ini sama dengan masalah preman di GBK. Kenapa tidak ada yang mao melapor? Hal ini dikarenakan butuh banyak pengorbanan (waktu dan materi) untuk melaksanakannya. Selain itu, siapa yang akan menjamin bahwa orang pelapor akan terlindungi. Dalam kasus dosen, bisa saja dosen tersebut menggugat PT lama, namun banyak yang harus dipikirkan dan dikorbankan. Belum lagi PT mempunyai kekuatan yang lebih besar dalam hal materi dibandingkan dosen tersebut. Jangan dilupakan, pendidikan moral juga diperlukan. Kenapa banyak yang tidak sadar bahwa menahan surat "lolos butuh" membuat hidup dosen menjadi semakin merana?Â
Terakhir, dibutuhkan juga kepedulian dan peran dari para dosen lainnya. Tanggalkan pola pikir dimana kita berpikir "Saya tidak mengalami hal tersebut, kenapa saya harus peduli?". Coba rubah pola pikir menjadi sebaliknya dimana kita berpikir "Bagaimana kalau hal ini terjadi pada saya?". Mudah-mudahan "premanisme" jauh dari dunia pendidikan. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H