Mohon tunggu...
Arnold Japutra
Arnold Japutra Mohon Tunggu... Dosen - Edukator

Pemerhati dunia pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Apakah Ini Negeri Preman? Bahkan di Dunia Pendidikan?

30 September 2017   23:37 Diperbarui: 30 September 2017   23:40 782
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Premanisme...seringkah anda mengalami ini? Banyak sekali bentuk dari premanisme yang terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari. Mulai dari hal kecil sampai hal besar. Saya menuliskan artikel ini karena terpicu berita mengenai preman penguasa parkiran Gelora Bung Karno (GBK) di sebuah media cetak. Polisi menyatakan tak mampu membasmi karena tidak ada yang melaporkan tindakan para preman ini. 

Jadi teringat tentang wacana dari Wakil Gubernur terpilih Jakarta untuk menjadikan para preman sebagai debt collector (penagih utang). Apakah ini dapat menyelesaikan premanisme yang ada di Indonesia? Seperti biasa, saya akan mencoba mengulas masalah ini dari sudut pandang yang sedikit berbeda dan tentunya dengan konteks yang berbeda, yaitu dalam konteks dunia pendidikan, terutama peruguran tinggi (PT). 

Premanisme terjadi dimana-mana ... Benarkah?

Preman penguasa parkiran. Rasanya ini tidak hanya terjadi di GBK saja namun di banyak tempat di kota Jakarta. Setiap bulan Juni, menjelang dirgahayu kota Jakarta, pemerintah daerah (Pemda) menyelenggarakan acara Jakarta Fair atau kita kenal dengan sebutan Pekan Raya Jakarta (PRJ). Pernahkah anda diminta untuk membayar uang parkiran di areal parkir PRJ padahal anda sudah membayar di loket resmi? 

Jadi anda diharuskan membayar dua kali untuk penyewaan lahan parkir. Baru-baru ini juga saya mendengar acara di radio dimana penyiar radio tersebut memarkir kendaraan tersebut di sekitar areal Menara Imperium Kuningan. Apa yang terjadi? Penyiar tersebut suatu ketika mendapati kendaraannya dikempeskan oleh petugas. Pada saat itu, apakah dapat ditemui para "juru parkir" yang biasanya meminta uang? Sama sekali tidak. Namun biasanya pasti muncul para "juru parkir" ini untuk menagih uang untuk penyewaan lahan parkir. 

Penyiar tersebut menceritakan bahwa dia tidak melihat tanda dilarang parkir dan memastikan dengan menanyakan kepada para "juru parkir" ini apakah diperbolehkan untuk parkir kendaraannya. Tentunya dijawab dengan "Boleh...saya jamin aman". Memang ini tidak terlepas juga dari kesalahan penyiar tersebut dikarenakan kurang mengenal rambu lalu lintas. Areal yang tidak memiliki tanda dilarang parkir belum tentu diperbolehkan parkir. Untuk mengetahui pastinya, seharusnya jika diperbolehkan parkir, maka akan ada tanda yang dipasang (yaitu "P" biru). 

Preman di dunia pendidikan. Hal ini mungkin menjadi pertanyaan di benak para pembaca. Apakah yang dimaksud ada preman yang juga menguasai parkiran di areal kampus? Tidak, bukan ini maksud saya, walaupun sebenarnya praktik "juru parkir" juga masih ada di beberapa kampus di Jakarta. Saya rasa sebaiknya tidak perlu saya sebutkan disini. Namun saya lebih tertarik membahas bentuk "premanisme" lainnya di dunia PT. Apa sih bentuknya? Bagaimana modusnya? Siapa pelakunya? Apakah ini premanisme?

Dunia PT mengenal dosen "home base". Dosen "home base" PT X adalah dimana dosen tersebut memiliki Nomor Induk Dosen Nasional (NIDN) pada PT X. Jadi dosen tersebut dianggap sebagai dosen tetap pada PT X dimana dosen tersebut menerima gaji pokok. Dosen tersebut dapat menjadi dosen terbatas pada PT lainnya dan mendapatkan imbal jasa hanya atas waktu pengajaran saja. Hal ini dilakukan mengingat kecilnya gaji yang diterima para dosen (silakan membaca artikel saya sebelumnya mengenai hal ini).

Dosen tersebut juga memiliki jabatan fungsional dosen (JFD) dimana capaian teratas adalah mencapai JFD sebagai "Guru Besar/Profesor". JFD ini hanya bisa diurus pada PT dimana dosen tersebut menjadikan PT tersebut sebagai "home base" mereka. Namun harus diingat bahwa di negeri ini, JFD di-assess dan diberikan oleh pemerintah melalui Kopertis, walaupun untuk menjadi "Guru Besar" ada senat PT yang melakukan asesmen dan kemudian diajukan ke Kopertis. Hal ini berbeda dengan universitas-universitas di Amerika, Eropa dan Australia dimana JFD diberikan oleh PT melalui senat PT. 

Yang seringkali menjadi masalah adalah pada saat dosen yang bersangkutan ingin mencari karir yang lebih baik di PT yang berbeda. Ternyata mengajukkan surat pengunduran tinggi saja tidak cukup. Untuk benar-benar pindah ke PT lain, seorang dosen perlu juga memperoleh surat "lolos butuh" yang harus ditandatangani oleh pimpinan PT (yaitu: Rektor). Hal inilah yang seringkali menjadi masalah. Ketika dosen tersebut sudah pindah ke PT baru, ternyata surat "lolos butuh" belum juga dikeluarkan. 

Apa akibatnya? Jika ternyata dosen tidak mendapatkan surat tersebut, maka dosen tersebut tidak bisa mengurus JFD mereka. Ada beberapa dosen yang menceritakan bahwa mereka harus memulai JFD dari awal kembali dikarenakan NIDN mereka masih "nyangkut" di PT yang lama. Padahal bagian HR PT tinggal mengklik beberapa tombol untuk mengurus kepindahan dosen tersebut. Tetapi, seringkali surat ini tidak dikeluarkan oleh PT yang lama dengan berbagai alasan. Padahal ini adalah hak dari si dosen dan juga menyangkut kehidupan dari seorang dosen. Banyak dosen yang baru menerima surat tersebut setelah pindah ke PT yang baru selama beberapa tahun. Bukankah ini juga bentuk dari premanisme? 

Di sebuah grup akademik, ada beberapa dosen yang menanyakan bagaimana mereka bisa mengurus JFD mereka di tempat yang baru tanpa harus mendapatkan surat tersebut dari PT lama. Jawaban dari beberapa dosen menyatakan bahwa hal ini tidak mungkin dilakukan. Mereka menyarankan untuk menjaga hubungan dengan PT lama dan kalau bisa keluar dengan baik-baik untuk mempermudah hal ini. 

Tetapi bagaimana kalau seorang dosen ingin pindah dikarenakan mendapatkan tawaran yang lebih baik dan ketika dia menyatakan keinginan ini ke PT lama dan tidak diperbolehkan. Kalau memaksa pindah artinya hubungan menjadi tidak baik dan PT yang lama, sebagian besar, tidak rela untuk menyamakan imbal jasa yang akan diberikan oleh PT yang baru. Bagaimana caranya keluar dengan baik-baik kalau dengan kita keluar kita akan dianggap sebagai pengkhianat? 

Jalan keluar dari aksi "premanisme"

Ketika membaca wacana menjadikan preman sebagai "debt collector", saya rasa ini tidak akan menjelaskan masalah. Apakah tidak mungkin bahwa ketika menjadi "debt collector" maka cara-cara yang digunakan juga tidak terlepas dari aksi premanisme? Tentunya perlu solusi yang lebih baik untuk mengatasi masalah preman ini. Banyak yang bilang bahwa pendidikan diperlukan agar aksi premanisme tidak terjadi. Lalu, bagaimana jika dunia pendidikan pun tidak terlepas dari aksi premanisme?

Untuk dunia pendidikan, tentunya ada cara yang sangat mudah untuk menyelesaikan aksi premanisme tersebut. Kunci dari permasalahan ini ada di tangan pemerintah, terutama Dikti dan Kopertis. Kenapa harus dibuat sistem yang mengharuskan dosen untuk pindah dan meminta surat "lolos butuh" dari PT yang lama? Tentunya Dikti dan Kopertis harus terlibat secara aktif dalam memuluskan perpindahan seorang dosen dari PT X ke PT Y. Ingat, kesejahteraan hidup seorang dosen seringkali terganggu dikarenakan hal ini. 

Selain itu, perlu juga diterbitkan aturan baru yang lebih mendukung terjadinya perlindungan kepada seorang dosen. Ini sama dengan masalah preman di GBK. Kenapa tidak ada yang mao melapor? Hal ini dikarenakan butuh banyak pengorbanan (waktu dan materi) untuk melaksanakannya. Selain itu, siapa yang akan menjamin bahwa orang pelapor akan terlindungi. Dalam kasus dosen, bisa saja dosen tersebut menggugat PT lama, namun banyak yang harus dipikirkan dan dikorbankan. Belum lagi PT mempunyai kekuatan yang lebih besar dalam hal materi dibandingkan dosen tersebut. Jangan dilupakan, pendidikan moral juga diperlukan. Kenapa banyak yang tidak sadar bahwa menahan surat "lolos butuh" membuat hidup dosen menjadi semakin merana? 

Terakhir, dibutuhkan juga kepedulian dan peran dari para dosen lainnya. Tanggalkan pola pikir dimana kita berpikir "Saya tidak mengalami hal tersebut, kenapa saya harus peduli?". Coba rubah pola pikir menjadi sebaliknya dimana kita berpikir "Bagaimana kalau hal ini terjadi pada saya?". Mudah-mudahan "premanisme" jauh dari dunia pendidikan.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun