Mohon tunggu...
Aldo Manalu
Aldo Manalu Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis

Lelaki kelahiran Bekasi, 11 Maret 1996. Menekuni bidang literasi terkhusus kepenulisan hingga sampai saat kini.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aretha (You Are My Real Dream)

10 Juli 2019   14:23 Diperbarui: 10 Juli 2019   14:36 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku menggenggam seluruh jemari wanita yang berada di sampingku. Lembut. Selembut pintalan benang sutra. Terbuai. Aku terbuai dalam ilusi yang terpancar lewat tatapan matanya. Aku dan dia berada di surga keabadian. Bersenda gurau begitu lepas seolah dunia tak lagi mengganggu kemesraan kami. Kubelai wajah suci tak bernoda kala aku dan dia larut dalam anggur cinta yang memabukkan akal pikiran. Tak kujumpai setitik cela dan noda di lengkungan wajah manis nan ayu. Apakah keindahan rupa yang membuatku terpikat padanya? Atau nafsu berahi yang begitu membara menginginkannya menjadi kasihku?

***

            Sudah ketiga kali aku mengerjapkan kelopak mataku. Mengajakku untuk bangkit dari tidur lelap sepanjang malam berlalu. Tapi tubuhku enggan beranjak dari sana ketika kulewati rangkaian mimpi indah yang terlalu sayang diakhiri. Namun, aku harus menjalani hari-hari pemberian sang Tuhan saat berkas sinar begitu keras menerpa mataku.

            Sebelum diriku benar-benar meninggalkan kamar, kulihat sebuah raga terkulai lemah di balik selimut putih. Dia sudah membuka kelopak mata dengan kornea hitam kecoklatan. Kudekati dan kusingkap sedikit selimut yang menudungi tubuhnya. Ketika hendak mengangkat selimut itu, dia memelototiku penuh murka. Aku tak tahu apa yang terjadi dengannya.Tapi yang pasti, aku sudah mengetahui alasan mengapa dia tak mau melepaskan selimut itu.

            "Mengapa dunia selalu memberikan duka kepada insan lemah? Tapi aku begitu bodoh, mengapa aku tak sanggup melawan? Apakah aku turut menikmati aliran cinta yang merasuk ke otakku? Apa racun yang disuntikkan ke dalam nadiku sehingga aku rela jatuh ke dalam peluk mautmu, kak Alvaro?" tanya Aretha dengan suara lirih.

            Aku tidak mengerti dengan apa yang dikatakan oleh Aretha. Aku bisa saja marah besar dengan perkataan adikku yang begitu menohok hati. Tapi, aku berusaha sabar meskipun batin bergejolak hebat bak lahar gunung berapi yang siap meledak.

            "Apa maksud perkataanmu, Adikku? Siapa yang mengatakan dirimu lemah? Siapa yang mengatakan kau bodoh? Dan perlu kautahu, tidak ada racun yang kucekok ke dalam nadimu." Aku duduk di samping Aretha yang masih terbaring dalam tudungan selimut.

            "Mengapa kau tega melakukan hal ini pada adik kandungmu sendiri, kak Alvaro?! Kenapa?! Tidakkah kau menyesal dengan apa yang kaulakukan? Tidakkah kau---"

            "CUKUP! Aku melakukan hal ini karena aku begitu menyayangimu, Aretha!"

            Emosiku melonjak drastis ketika adikku lagi-lagi mengatakan perkataan yang begitu nyeri di telinga. Mulut Aretha bungkam, tak bersuara melihat kemarahan kakaknya yang sudah berada di tiitik puncak. Aretha memalingkan pandangan ke kiri tak mau beradu tatap dengan Alvaro.

            "Aku ingin kau menjadi kekasihku, Aretha. Menemanimu sampai ajal menjemput sukma kita berdua. Aku tak ingin lelaki lain bersanding dengan dirimu. Aku terlanjur mencintaimu. Aku sangat menyayangimu lebih dari rasa sayang ibu yang melahirkan kita dan cinta kasih ayah kita padamu. Aku ingin meleburkan segala perasaan yang terpendam begitu lama di relung  hatiku. Dan ranjang suci ini, telah menjadi saksi bahwa kita telah mengikatkan hubungan lahir dan batin dilandasi dengan cinta kedua belah pihak. Yaitu kau dan aku, Aretha," jelasku panjang lebar.

            Saat aku mencoba menjamah pipi Aretha, sungguh tak kuduga cairan bening berbuih mendarat secepat kilat di wajah tampanku. Rasanya, aku seperti tidak bisa menahan getaran di tanganku untuk mendaratkan bogem mentah di wajah Aretha. Lagi-lagi, aku berusaha meredam emosiku. Aku tidak ingin kepalan tanganku menghancurkan wajah ayu pemberian sang Tuhan. Lewat tatapan mataku, aku ingin menyelami kedalaman pikiran adikku sekaligus mencari jawaban tepat mengapa dia bisa bertindak selancang itu padaku.

            "Kau gila, Alvaro! Kau gila!"

            Gumpalan kecil air mata mulai menggenang di pelupuk mata Aretha. Siap menetes, membasahi wajah yang berhiaskan ketegangan, tadi. Aku ingin menghapus air mata itu tapi Aretha malah menghardikku.

            "Pergi kau! Aku tidak ingin melihat wajahmu di tempat ini! PERGI!"

            Aretha menutup raut wajah yang sudah dibanjiri air mata dengan selimut yang digenggamnya. Sebenarnya, aku tak tega meninggalkan dirinya sendirian di sana. Tenggelam dalam kedukaan mendalam. Tapi melihat lontaran emosi yang terucap dari bibir tipisnya, mau tak mau aku, harus beranjak dari kamar.

            Mengapa kau tidak bisa melihat dalamnya cintaku padamu, Aretha? Apakah kebencian sudah menghanguskan seluruh benih-benih cinta yang kutanamkan dihatimu, adikku? Apakah rasa sayang yang kumiliki dan kupersembahkan padamu adalah salah besar bahkan dosa besar? Bukankah, cinta tidak mengenal siapa dan kapan dirinya akan singgah di hati seseorang? Kalau cinta itu salah momen dan salah insan, bisakah diriku menggugat kegilaan yang diberikan sang Tuhan padaku?

            Aku menepis semua prasangka buruk yang meliputi otakku. Aku yakin Aretha mencintaiku. Hanya butuh waktu agar Aretha bisa merasakan tulusnya kasihku padanya. Aku ingin mengganti kasih sayang ayah dan ibu yang telah lama dirantai belenggu karier. Mereka melupakan bahwa kami bukan hanya butuh materi tapi juga butuh kasih sayang. Tapi aku tak menyesali hal itu. Sebagai seorang kakak sekaligus kekasih, aku harus bisa mengayomi adik sekaligus kekasih hatiku, Aretha. Aku harus sanggup memanggul beban berat itu. Dan kutahu Tuhan pasti akan membantuku. Sekarang yang harus kulakukan adalah membuat sarapan dan mengantarkan pakaian Aretha ke kamarku. Akan tetapi, aku harus menyuruhnya mandi terlebih dahulu. Membasuh tubuhnya lembut dari sisa-sisa pergumulan tadi malam.

***

            Sepanjang hari mulutku terus terkatup, tak mau terbuka apabila aku sudah di hadapan Aretha. Aku bertanya dalam hati. Kenapa hal ini bisa terjadi? Ia masih terpekur di ranjang bergambar Hello Kitty berwarna pink. Aku tidak habis pikir darimana asal muasalnya yang kulakukan ini adalah dosa? Jika kalian bilang yang kulakukan ini biadab zaman dahulu anak-anak Lot meniduri ayah mereka sendiri dengan alasan takut tidak punya generasi penerus ayah mereka. Gila kan? Mana yang lebih gila daripada yang kulakukan? Sudah berulang kali kukatakan aku melakukan ini semua atas dasar kasih sayang. 

            Aku berusaha mendekati Aretha pelan-pelan yang masih duduk di atas ranjang. Aku mencoba memahami dirinya lewat tatap mata yang melalangbuana ke alam pikirannya. Sambil menatap adikku, ruang pikiranku sedang merangkai kata-kata yang sekiranya bisa dipahami oleh adikku.

            "Dik..." Dia masih enggan menatap wajahku.

            "Aku tidak tahu lagi apa yang mesti kukatakan agar kau bisa mengerti apa yang kulakukan. Aku melakukan ini semua atas dasar kasih sayang. Kasih sayang seorang kakak ke adik yang melebihi kasih sayang anak pada orang tua. Lebih dari kasih sayang sepasang kekasih." Aku tidak tahu lagi perkataan apa lagi yang bisa menjamah hati kecilnya. Aku sudah hampir menyerah.

            "Hari ini ayah dan ibu pulang ke rumah. Aku akan memberitahukan semua yang kau lakukan padaku selama ini!" 

            Kelopak mataku membeliak. Untuk sesaat, aku merasa seperti terkena serangan jantung hebat begitu mendengar kabar bahwa ayah dan ibu akan pulang hari ini. Tapi ini ganjil. Mengapa mereka tidak menghubungiku?

            "Kau mau mencoba mempermainkanku kan, Aretha? Kalau mereka akan pulang, tidak mungkin mereka tidak menghubungiku terlebih dulu."

            "Mereka menelepon ke handphone-ku. Dan alasan kenapa ayah dan ibu tidak menghubungimu karena kau sendiri yang membuat handphone-mu dalam mode pesawat ya kan?"

            Sialan! Memang aku sengaja membuat handphone-ku dalam mode pesawat agar tidak ada panggilan mengganggu masuk ke handpone-ku. Tapi hal seperti ini juga yang membuatku celaka. Di sinilah aku mulai mencari-cari akal tapi aku belum menemukan cara agar Aretha tidak membocorkan rahasia ini.

            "Aretha... Aretha, kita bisa bicarakan ini baik-baik," bujukku padanya. Tidak bisa kubayangkan bagaimana respons ayah ibu ketika mereka mendengar cerita Aretha. Kalau sudah dari mulut Aretha sendiri langsung menceritakan semuanya, sangat mustahil mereka berdua tidak akan tidak mempercayainya.

            "TIDAK! KAU AKAN TAMAT HARI, BAJINGAN!"

***

            Mereka berdua sudah tiba sejak pukul 19.07. Siapa lagi mereka kalau bukan orang tuaku. Aku masih mengurung diri dalam kamarku. Aku masih berada dalam tudungan selimut merah tua bermotif tanaman anggur. Aku tidak berani beranjak dari kasurku. Benar-benar ketakutan sudah menguasai hati dan pikiranku. Hingga aku mulai tidak bisa berpikiran jernih. Apa, apa yang harus kulakukan?! Ayah pasti akan menjebloskanku ke penjara lalu mereka berdua akan membawa Aretha pergi jauh dariku! Tidak akan kubiarkan mereka mengambil Aretha! Aretha milikku! Milikku!

***

            Ayah dan Ibu baru saja keluar dari kamar tidur mereka. Mereka menampakkan diri mereka dengan air muka yang masih terlihat lelah. Ada yang perlu kau ketahui dari mereka. Wajah mereka terlihat tak pernah tua dimakan usia.  Itu fakta. Ayahku sudah berusia 51 tahun dan Ibu 48 tahun. Mungkin, dengan uang yang mereka miliki, mereka bisa memperlambat kekuatan penuaan dengan merawat diri mereka. Tapi satu hal yang tidak bisa mereka lakukan dengan uang mereka. Merawat kami dengan kasih sayang. 

            Kau tahu, kami sudah lama tinggal di panti asuhan selama 7,5 tahun. Rata-rata teman-temanku di panti asuhan sudah menemukan orang tua asuh mereka. Kudengar kabarnya, mereka begitu disayang oleh orang tua asuh mereka. Mereka disayangi secara lahir batin. Mereka dipenuhi segala sesuatu yang mereka inginkan.

            Aku dan Aretha ialah makhluk malang yang cuma bisa iri melihat cerita-cerita kebahagiaan mereka. Kami ingin orang tua. Kami ingin merasakan kasih sayang seperti teman-temanku yang sudah mendapatkan orang tua asuh mereka.

            Tuhan sepertinya sudah menjabah doa kami. Setelah penantian yang begitu lama, sepasang suami istri dengan tampilan orang-orang kaya pada umumnya, datang menemui pemilik panti asuhan kami dan menyatakan, bahwa mereka ingin mengadopsi sepasang anak laki-laki dan perempuan dari panti asuhan ini. Dan pemilik panti asuhan menyodorkan kami untuk dijadikan anak angkat mereka.

            Begitu kami dibawa ke rumah mereka, awalnya kami diperlakukan istimewa. Kami diberikan pakaian baru. Diberikan makanan enak bahkan kami juga diberikan handphone. Aku cukup senang bisa berada di keluarga ini. Begitu juga Aretha. Tapi semuanya tidak berlangsung lama. Cuma berselang dua minggu dari peristiwa itu.

            "Kami akan pergi selama tiga tahun tiga bulan untuk kontrak kerja di Singapura. Kami menitipkan apa yang ada di rumah ini pada kalian. Ini juga sebagai bentuk balas budi kalian kepada kami. Jika kalian perlu uang, kalian bisa menghubungi kami," jelas ayah angkat kami pada kami berdua.

            Aku mengambil kesimpulan kalau mereka berdua mengadopsi kami hanya untuk dijadikan 'asisten rumah tangga' sekaligus mengusir rasa sepi di rumah besar mereka. Benar-benar tidak masuk akal. Tidak rasional jika kurenungkan perkataan mereka saat itu pada kami. Sampai saat ini aku masih tidak bisa menolerasi alasan mereka. Itulah awal mula kebencianku pada mereka.      

***

            Aku menyingkap sedikit daun pintu kamarku. Aku menampakkan sebelah mataku. Untuk melihat apakah mereka bertiga sudah tak lagi di sekitaran kamarku. Begitu keadaan kondusif, aku melebarkan pelan-pelan pintu kamarku lalu mengeluarkan badanku seluruhnya. Aku sudah menyiapkan sebilah pisau bermata satu di balik punggungku. Aku sudah memutuskan kalau mereka berdua harus mati dan kami berdua harus pergi meninggalkan rumah ini.

            Aku melihat mereka bertiga sedang menikmati santapan makan malam. Namun tingkah laku Aretha yang mengundang perhatianku. Dia sesekali mengunyah nasi dalam mulutnya sambil kedua bola matanya melirik kedua orang tua angkat kami. Dia pasti sedang menyusun momen yang tepat menceritakan semua yang terjadi selama kami ditinggalkan selama 3 tahun. Namun dia tidak memperkirakan kalau aku akan datang menghentikannya.

            Pelan-pelan aku melangkah menuju meja makan. Mereka bertiga sudah menghabiskan makanan yang disediakan di atas piring mereka. Yang pertama mengetahui keberadaanku yakni ibuku lalu dia menyapa 'Alvaro, kamu ketiduran tadi ya? Padahal Ibu tadi sudah ketok-ketok kamarmu'

            Aku tidak mempedulikan basa-basi dari ibu tapi yang kulihat sekilas respons Aretha begitu terkejut mengetahui aku ada di sana. Dia seolah tidak bisa menutupi rasa ngeri saat melihat diriku. Saat ayah sedang lengah, tanpa tendeng aling-aling aku langsung menghunus pisauku lalu menghunjamkannya ke bagian punggung ayahku.

            Mulutnya mengeluarkan rintihan kesakitan saat pisau yang kuhunjamkan menembus punggungnya. Aku mendaratkan pisauku berulang kali ke bagian punggungnya. Ayah merintih lebih keras ketika pisauku mendarat untuk ketiga kalinya. Ibu berusaha menghentikanku dengan mencoba membujukku tapi sayang. Aku menyabetkan pisau ke bagian perut Ibu. Lelehan darah memancar lalu merembes ke dalam serat kaus oblong yang dikenakan ibuku. Ayah dengan menahan rasa sakit di punggungnya mencoba mengunci pergerakan tanganku untuk mengambil pisau yang masih kukuasai.

              "Aretha tolong bantu aku! Bantu aku menghabisi mereka berdua!" perintahku padanya. Aku masih meronta-ronta agar kuncian ayah bisa sedikit longgar lalu memberikan serangan balik.

            Aretha masih bergeming. Ia terlihat belum berbuat apa-apa atau mengambil tindakan apapun.

            "ARETHA!" pekikku memanggil namanya.

            Perempuan berkulit putih itu tertunduk. Aku lagi-lagi tidak paham apa yang sebenarnya dia lakukan. Sambil menunggu respons Aretha, aku masih berusaha melepaskan diri dari ayahku. Sementara itu ibu memegangi luka sabetan yang masih mengeluarkan darah. Aku merasa kuncian ayah tidak sekencang pertama kali. Ia kelihatan sudah mulai kehilangan tenaga karena darah terus mengucur dari luka tusuk di punggung dan bahu.

            Aku mengangkat tungkai kakiku lalu mendaratkan tendangan belakang ke arah betis dan kemaluan ayah. Begitu ayah mengaduh kesakitan, aku menekukkan tangan kananku lalu mendaratkan sikutan tajam ke bagian rahang. Dan tentu saja badan ayah langsung ambruk ke samping. Ia tak mampu menahan keseimbangan. Aku harus memanfaatkan kesempatan emas ini untuk menghabisi ayah.

            Aku menyunggingkan senyum keangkuhan menyaksikan ayahku terbaring di atas lantai marmer. Aku mengangkat pisauku tinggi-tinggi. Seolah memperlihatkan bahwa nyawanya ditentukan oleh pisau yang kupegang saat ini.

            "Halo Pak Polisi. Saya melaporkan bahwa ada seorang lelaki bernama Alvaro sedang melakukan pembunuhan brutal pada kedua orang tua saya. Alamat rumah saya di jalan Kenanga nomor 7A. Saya harap pak polisi segera menuju ke sini. Saya---"

            "Aretha, apa yang kau lakukan?!" yang tadinya pisauku akan menembus jantung ayahku malah terhenti karena Aretha menelepon polisi, "kau tega membiarkan kakakmu yang menyayangimu membusuk di penjara, hah?!"

            "Lebih baik kau membusuk di penjara daripada aku harus hidup bersama obsesi gilamu untuk menyetubuhi adikmu dengan alasan kasih sayang!"

            "Aretha..."

            Pedih sekaligus nyeri luar bisa berkumpul di satu titik. Perut sebelah kanan sudah bersarang sebuah parang panjangnya 31 cm. Ujung parang itu berlumuran darah merah tua nan kental. Ia terus menetes ke ujung lantai. Setetes demi setetes.

            Mesti aku sekarat dan sebentar lagi mati, tapi aku senang bukan Aretha yang membunuhku. Tidak mungkin Aretha sebegitu teganya mau mencabut nyawaku. Dia adalah cintaku. Dia adalah mimpi nyataku. Dulu aku pernah bermimpi untuk menjadi kekasihnya walau kenyataannya dia masih tak bisa melihat betapa dalamnya cinta yang kutanamkan di hatinya. Tak masalah kalau polisi tiba di sini. Pasti para polisi akan mengira bahwa ibu yang sudah membunuh dan dia akan di penjara. Aku harap ayah juga ikut di penjara bersama dengan ibu. Kalau mereka berdua, mereka takkan bisa membawa Aretha pergi jauh dariku.

            Aku berharap ada seseorang yang akan menggantikan aku menjaga sekaligus mencintai dirinya. Kalau sampai penggantinya tidak sama sepertiku, aku akan hidup sebagai arwah dan mengganggu dia sampai seumur hidup.

            Selagi napasku tinggal sedikit lagi, aku berusaha mengingat-ingat masa-masa indah bersama Aretha selama aku hidup di dunia. Kelopak mataku perlahan menutup. Sudah waktunya pergi.    

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun