"Aretha..."
      Pedih sekaligus nyeri luar bisa berkumpul di satu titik. Perut sebelah kanan sudah bersarang sebuah parang panjangnya 31 cm. Ujung parang itu berlumuran darah merah tua nan kental. Ia terus menetes ke ujung lantai. Setetes demi setetes.
      Mesti aku sekarat dan sebentar lagi mati, tapi aku senang bukan Aretha yang membunuhku. Tidak mungkin Aretha sebegitu teganya mau mencabut nyawaku. Dia adalah cintaku. Dia adalah mimpi nyataku. Dulu aku pernah bermimpi untuk menjadi kekasihnya walau kenyataannya dia masih tak bisa melihat betapa dalamnya cinta yang kutanamkan di hatinya. Tak masalah kalau polisi tiba di sini. Pasti para polisi akan mengira bahwa ibu yang sudah membunuh dan dia akan di penjara. Aku harap ayah juga ikut di penjara bersama dengan ibu. Kalau mereka berdua, mereka takkan bisa membawa Aretha pergi jauh dariku.
      Aku berharap ada seseorang yang akan menggantikan aku menjaga sekaligus mencintai dirinya. Kalau sampai penggantinya tidak sama sepertiku, aku akan hidup sebagai arwah dan mengganggu dia sampai seumur hidup.
      Selagi napasku tinggal sedikit lagi, aku berusaha mengingat-ingat masa-masa indah bersama Aretha selama aku hidup di dunia. Kelopak mataku perlahan menutup. Sudah waktunya pergi.  Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H