Mohon tunggu...
Aldo Manalu
Aldo Manalu Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis

Lelaki kelahiran Bekasi, 11 Maret 1996. Menekuni bidang literasi terkhusus kepenulisan hingga sampai saat kini.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Tumbal Arwah Jelangkung - 6

22 Februari 2016   18:43 Diperbarui: 22 Februari 2016   19:02 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jam sembilan malam. Shanti dan sepeda motornya baru saja tiba di rumah. Jarak rumah Shanti memang lebih jauh daripada Lina. Setiap harinya, ia harus menempuh jarak 15 km dari rumah menuju ke sekolahnya. Baginya, 15 km bukanlah jarak yang jauh,malah terlalu dekat untuk sebuah perjalanan.

Srik! Srik!

Suara gemerisik sekilas mengusik perhatian Shanti. Ia mengamati sekelilingnya. Tak ada apapun. Suara gemerisik itu cuma lewat saja tanpa memperlihatkan wujud. Shanti mendecak pelan sambil membuka pintu rumahnya. Ia berusaha menyingkir gambaran ketakutan di dalam kepalanya.

Kreeitt!

Daun pintu berderit ketika Shanti mendorongnya. Sebelumnya, ia terlebih dahulu membuka sepatu dan kaus kakinya di depan keset. Meletakkannya di rak sepatu yang disediakan. Ia juga menaruh sepeda motornya di dalam ruang tamu. Shanti mencari sakelar lampu kemudian menekan tombolnya. Lampu menyala. Sinaran lampu menerangi seisi ruang tamu tapitak ia temukan seseorang di sana.

“Ayah... Ibu... kalian di mana?“

Shanti memanggil-manggil orang tuanya, namun, ia tak mendapatkanbalasan dari panggilannya. Entah ke mana semuanya pergi. Dia sendirian di dalam rumah.

Ia bingung harus berbuat apa. Biasanya, jika ayah atau ibunya pergi secara mendadak, minimal, mereka akan memberitahukan padanya melalui SMS atau telepon. Tapi, dari tadi sore sampai malam ini, tak ada satu pun SMS atau telepon yang masuk ke Handphone-nya. Yang ada hanya SMS dari pacarnya, Ricco, yang tak sempat dibalasnya.

“Ayah... ibu...“ panggilnya sekali lagi dengan meninggikan volume suaranya.

Tak kunjung mendapat sahutan dari ayah dan ibunya, Shanti berinisiatif mencari orang tuanya di kamarnya. Mungkin kedua orang tuanya sedang tidur pulas hingga dirinya pulang pun mereka tak mengetahuinya.

Shanti tinggal bersama dengan orang tuanya. Desita, kakaknya, sudah menikah setahun lalu dan kini tinggal bersama suaminya di Bandung. Azwar, abangnya, sedang menyelesaikan studi Teknik Sipil di ITB. Kini, hanya dirinya saja yang tinggal bersama orang tuanya, membantu usaha jajanan kaki lima yang ditekuni ayahnya.

Saking sunyinya, derap langkah kakinya terdengar jelas oleh telinganya. Perlahan tapi pasti, Shanti sudah berada di depan pintu kamar.

Jantungnya berdegup pelan saat tangannya akan menjamah gagang pintu. Ia menarik napas, mengeluarkannya dalam satu helaan saja. Pelan-pelan, keberanian Shanti mulai ditantang ketika tangannya sudah menggenggam gagang. Ia menekannya ke bawah.

Terbuka.

Shanti mendorong daun pintu dengan lemah. Tersingkaplah apa yang yang ada di dalamnya—kegelapan. Tapi tak berlangsung lama ketika ia menekan sakelar lampu kamar—kosong. Ia tak melihat ayah dan ibunya di sana, hanya bantal dan selimut yang tersusun rapi di atas kasur. Semua tampak sudah disusun rapi oleh pemilik kamar. Mungkin sudah lama mereka meninggalkan kamar itu..

“Jadi, di mana mereka?!“

Shanti menggaruk pelan kepalanya. Bukan karena gatal, tapi ia bingung, ke mana lagi ia harus mencari orang tuanya yang tak kunjung memberikan kabar padanya. Sekilas bayangan putih melintas cepat dari belakang. Shanti mengerjap. Lalu, dipalingkan badannya ke belakang.

Tidak ada.

Ia tak melihat apapun di sana. Hanya dia sendiri. Rambut-rambut tipis di kedua tangannya meremang. Nuasana mistis lambat laun semakin kuat, terasa di dalam rumah. Gelagat buruk sepertinya akan datang pada saat ini. Shanti berlari ke dapur mengambil seteguk air. Ia bergegas meninggalkan kamar orang tuanya.

Sesampainya di dapur, Shanti mengambil cangkir kecil yang tersusun di dalam rak piring. Ia menuangkan air ke dalam gelasnya. Gelas sudah terisi penuh. Shanti langsung menghabiskan dalam sekali tenggak. Ia meletakkan gelasnya ke tempat cucian piring yang berada di sebelahnya. Shanti hendak berbalik sesudah rasa dahaga di tenggorokan telah terobati.

Mata Shanti terbeliak ketika sesosok makhluk halus berada tepat di wajahnya. Hanya berjarak beberapa senti saja. Shanti sontak terkejut. Dirinya terperenyak menyaksikan makhluk itu tengah menatap dirinya penuh amarah dan dendam di kedua sorot matanya. Badannya kaku sejenak. Giginya gemetaran. Shanti tak menyadari air matanya meleleh membasahi pipinya.

Sementara Shanti masih mematung, tangan makhluk itu berusaha menjangkau leher Shanti. Ia ingin mencekik Shanti. Shanti tak hentinya menitikkan air mata dari sela kelopak matanya. Shanti setengah mati menggerakkan tubuhnya tapi tak satu pun gerakan yang bisa dilakukan. Sementara, tangan makhluk itu kian dekat. Kulit tangannya yang dingin mulai menyentuh lehernya yang mulus. Dalam hati, tak henti-hentinya, ia berdoa agar bisa lepas dari cengkraman makhluk mengerikan itu.

Tuhan Maha Kuasa mendengarkan doanya. Secara ajaib, ia sudah bisa menggerakkan anggota tubuhnya, semuanya. Shanti tunggang langgang meninggalkan dapurnya, tempat makhluk itu berdiri. Ketakutan luar bisa membuat kecepatan larinya meningkat. Dalam waktu 15 detik, ia sudah berada di depan kamarnya. Ia mengobok-obok kantong celana jeans-nya, mencari kunci kamarnya. Kunci itu berada di kantong belakang sebelah kiri. Shanti buru-buru menariknya. Ia menoleh ke belakang. Makhluk itu sedang menyusul Shanti. Ia melayang pelan sambil menatap Shanti dengan bola matanya yang kosong. Ia semakin dekat, hanya tinggal 10 meter lagi.

Tangan Shanti menggigil tak karuan ketika mencoba memasukkan kunci ke dalam lubang pemutar. Makhluk itu tertawa cekikikan melihat Shanti bergeletar memandangnya. Shanti menarik napas pendek kemudian memutar-mutar kunci dan terbuka. Ia menyelinap, cepat-cepat menutup pintunya. Ia mengunci rapat dan segera bersembunyi di bawah selimutnya. Dalam selimutnya, mulut Shanti bekomat-kamit, memanjatkan doa agar makhluk halus enyah dari hadapannya.

Keadaan tidak terlalu mencekam. Shanti mulai keluar dari selimutnya. Ia beringsut dari tempat tidurnya, mengendap-endap menuju pintu. Ia memperhatikan langkah kakinya agar tak menginjak sesuatu yang mencurigakan. Tangannya memegang ujung gagang pintu. Shanti menyembulkan kepalanya, melihat keadaan sekitar. Bola matanya mengedar ke kiri dan ke kanan. Semuanya kosong. Cuma keremangan dan kesunyian yang mendominasi di sana.

Shanti bisa bernapas lega. Akhirnya, makhlukitu sudah pergi. Ia mengalihkan pandangannya menuju meja belajar. Seperti biasa, ia akan melaksanakan kewajibannya sebagai seorang siswa. Saat melangkah, Shanti merasakan sesuatu sedang memegangi pergelangan kakinya. Menahan pergerakannya. Shanti berusaha memberanikan diri, memalingkan kepalanya.

Makhluk itu kembali memberikan senyumannya yang mengerikan. Shanti memekik keras. Ia berontak dengan menggoyang-goyangkan kakinya, menendang wajah dan tangan makhluk itu. Bukannya dilepas, ia malah menguatkan cengkeramannya dan menangkap kaki kiri Shanti, sehingga wajahnya terjerembab mencium lantai. Saat dirinya menengadahkan wajah, ia mendengar gumaman samar makhluk itu.

“Kau takkan kulepaskan...“

Shanti putus asa. Ia pasrah. Ia tidak kuat lagi menghadapi makhluk ini. Tenaga dan energinya habis terkuras meloloskan diri dari cengkeraman makhluk itu. Kelopak mata Shanti tertutup pelan-pelan. Ia tak sadarkan diri.

Malam panjang beralih pagi. Panitia OSIS sedang bersiap memanggil para pemain basket untuk segera datang menuju ke lapangan basket.

Sesuai yang diumumkan pak Brahman, OSIS SMA 1 dan SMA 2, berencana mengadakan pertandingan basket dan bola voli untuk bidang non akademik. Dan lomba pidato dan baca puisi untuk akademik, tanpa pungutan biaya pada siswa. Para siswa yang mengikuti perlombaan akademik berkumpul di aula sekolah dan perlombaan non akademik berkumpul di lapangan basket dan voli.

Lina sudah keluar bersama Fanny dan teman sekelasnya, Inar. Mereka bertiga duduk di depan taman kelas sambil memandangi para pemain basket yang sebentar lagi akan bertanding. Sebenarnya, Lina ingin menunggu Shanti, tapi karena ajakan Fanny dan Inar, dia memilih menuruti ajakan mereka sambil berharap Shanti akan datang.

Dari banyaknya para pemain basket yang berkumpul, Linna melihat Donni di sana. Ia mengenakan kaus oblong panjang tanpa lengan abu-abu dengan logo NBA tersablon di depan kausnya. Sepatu Nikeyang dipakai di kakinya, menambah kesan bahwa ia adalah seorang pemain basket handal. Donni juga memakai bando untuk merapikan rambutnya yang tebal.

“Selamat bertanding, Donni.” ujar batin Lina.

Pertandingan kali ini akan dipimpin oleh wasit dari seksi olahraga, Dicky Santoso. Tangan kiri Santoso sudah memegang bola dan siap dilambungkan. Bola telah dilambungkan. Adi sebagai forward, melompat sambil mendekap bola kemudian dioper pada Donni. Usai mendapatkan bola, Donni men-dribble bola sambil mencari celah melewati solidnya blocking tim rival, William.

Donni mengoper bola pada Sakti yang kebetulan berada di sebelah kirinya. Bola itu kini berada di tangan Sakti. William sebagai forward, mengomando teman-temannya untuk memblok Sakti. Mereka tahu, Sakti jagonya men-shoot bola ke dalam ring meskipun banyak yang menghalanginya.

Sakti mengamati ada sedikit celah untuk shoot, menaikkan bola dan dilemparnya ke arah ring. Rebound. Bola itu terpental dari ring dan ditangkap oleh Budi. Ia membawa bola itu jauh dari ring dan dioper balik pada Donni. Donni melihat ada celah lebar begitu tim rival melebarkan pertahanan. Kakinya berjinjit lalu bola diarahkan ke ring.

Masuk!

Bola terhentak kerassaat memasuki ring. Para penonton yang kebanyakan perempuan bersorak riuh. Lingkungan sekolah mendadak ramai, setelah Donni, the shooting guard mencetak poin. Skor dua untuk tim SMA 1 dan nol untuk SMA 2. Tim SMA 1 memimpin jalannya pertandingan. Ketinggalan dua poin, William mengubah peta pertahanan permainannya dan lebih memusatkan pada Donni.

Cukup berhasil. Tim Adi dari SMA 1 agak kewalahan menghadapi strategi mereka. Tim SMA 2 juga mempunyai shooter handal yang mereka tempatkan di bagian Center, Juan. Tubuhnya yang tinggi dan luwes,mampu menerobos block yang dipasang Adi dan teman-temannya. Kini, Juan sudah bersiap men-shoot. Ia melemparkan bola tepat di atas lubang ring.

Masuk!

Three point untuk tim William. Mereka berada di atas tim Adi dengan selisih satu poin saja. Waktu yang tersisa untuk quarter pertama tinggal dua menit lagi. Waktu yang singkat untuk mengimbangi kedudukan. Kali ini, Tim Adi akan meningkatkan pola penyerangan dan pertahanan, tapi lebih memprioritaskan penyerangan.

Pertandingan semakin sengit. Kedua tim sama-sama meningkatkan pola permainan mereka. Saling rebut, saling umpan balik. Taktik yang setidaknya masih berguna dalam situasi ini. Sonny mencoba mengambil bola dari Irwan. Irwan tak bisa bergeser dari posisinya. Badan gempal Sonny mampu menghalangi umpan untuk Donni yang sedari tadi melambai-lambai padanya.

Sonny yang tidak sabar, menubruk badan Irwan dan membuat bola yang berada dalam dekapannya terlepas. Bola terlepas diikuti tubuh kurus Irwan yang menghempas semen lapangan. Irwan emosi langsung bangkit dan menggenggam baju Sonny. Ia tak gentar menghadapi Sonny yang berbadan besar, tapi untungnya wasit bisa melerainya. Wasit juga memutuskan untuk memberikan penalti pada tim Adi.

Bola itu sudah dipegang oleh sang kapten, Adi. Namun, ia memilih memanggil Donni.

“Don, aku serahkan ini padamu.“ ungkap Adi penuh kepercayaan sambil menyerahkan bola yang berada dalam genggamannya pada Donni.

Adi mundur. Sekarang, bola berada dalam genggaman Donni. Ada ras cemas dan khawatir ketika ia menggenggam bola itu. Tapi, Adi sudah mempercayakan bola itu padanya. Ia tak boleh gugup apalagi ragu.

Donni menarik napas dan dihelakan panjang. Dia sudah siap melakukan shooting. Ia memantulkan bola itu sebanyak dua kali dan didekap lagi di tangannya. Donni memincingkan matanya guna mengukur akurasi tembakan bola dengan jarak ring. Donni langsung meluncurkan bola ke ring setelah ia menemukan angle yang pas untuk bidikannya. Bola itu meluncur gesit di udara. Ring besi bergetar, menerima hentakan keras dari lemparan bola Donni.

Masuukkkk!

Sekali lagi, sorakan dan tepuk tangan riuh para penonton membahana di area sekolah. Jeritan histeris terdengar dari lantai dua gedung sekolah. Banyak para perempuan memuji-muji nama Donni bak pemain basket internasional. Tak habis-habisnya, Donni dielu-elukan seluruh teman-temannya. Ia sangat bangga sekali pada saat itu.

Namun dari kejauhan, Donni melihat sekilas, seorang perempuan tersenyum padanya. Manis sekali. Ia hanya membalas senyuman itu kemudian berpaling dari hadapannya. Ia mengenali gadis yang tersenyum itu—Lina. Rupanya, gadis itu tak sengaja mencuri perhatiannya. Diam-diam, Donni juga menaruh hati pada Lina.

“Hey kawan, good job.“ puji Adi yang muncul dari belakang.

“Nevermind.“ balas Donni.

Hati Lina berbunga-bunga begitu Donni membalas senyumannya. Sangking bahagianya, Lina mengahyal jika Donni akan berlari dan memeluk dirinya mesra. Khayalan yang begitu sempurna sampai membuatnya senyum sendiri. Namun, khayalan tetaplah khayalan. Butuh waktu dan keajaiban untuk mewujudkannya menjadi kenyataan.

Lamunan indahnya seketika buyar melihat Shanti sudah menuju ruang kelasnya .

“Shanti.” ujarnya dalam hati.

Tapi ada yang berbeda dengan Shanti. Air mukanya pucat memutih seperti tisu. Ia melangkah dengan nafas terengah-engah. Bola matanya sedikit cekung menatap ruang kelas yang akan dimasukinya.

“Ada apa dengan Shanti hari ini?” Lina membatin. Dirinya mencemaskan kondisi Shanti.

Shanti memasuki ruangan kelas disusul oleh Lina. Ia telah berpamitan dengan Fanny dan Inar. Ia menemukan Shanti sudah duduk di tempatnya. Lina juga mengambil kursi yang berada di sebelah Shanti dan duduk bersamanya.

“Shanti, kamu kenapa? Kamu sakit?“ tanya Lina.

“Aku hanya tidak enak badan.“ ujar Shanti lemas.

“Kau yakin?“ tanya Lina memastikan.

“Ya.“ pungkasnya singkat.

Walaupun sudah mendengar jawaban yang disampaikan temannya, ia masih merasa tidak yakin. Ada sesuatu yang disembunyikan temannya. Sesuatu yang mengguncang jiwanya. Entah mungkin masalah keluarga atau mungkin asmara. Lina tak mau menerka-nerka terlalu jauh. Tapi, sorot matanya yang cekung dan dingin, membuat Shanti tampak menakutkan sekaligus membingungkan Lina. Baru pertama kali kondisi Shanti aneh seperti ini.

“Kau mau kubawakan air hangat?“ Lina coba menawarkan bantuan.

“Boleh.“sahutnya.

Lina beranjak dari sana menuju kantin. Ia meminta kepada petugas kantin untuk dibuatkan air hangat dalam sebuah gelas. Mereka memberikannya. Lina langsung bergegas dari kantin. Ia tak mau sahabatnya menunggu lama.

Ternyata, Shanti masih berada di sana. Matanya tak henti menatap lurus ke arah papan tulis. Entah apa yang dilihatnya di sana. Sekali lagi, ia tak mau berpikir macam-macam. Lina langsung saja memberikan air itu pada Shanti.

Shanti meminumnya tersendat-sendat. Ia tak langsung menghabiskan air itu dalam satu teguk, tapi air itu sengaja ditahan di kerongkongannya. Gelas itu masih melekat di bibirnya, tak mau dilepaskannya.

“Shanti, Shanti kamu kenapa, Shan?“ tanya Lina panik.

Gelas yang dipegang oleh Shanti terjatuh. Air didalamnya tumpah. Lina tercekat. Ia mulai was-was ketika Shanti memelototi dirinya. Seolah ia ingin sekali melumat-lumat tubuhnya. Shanti melemparkan seringai lebar pada Lina yang berada di depannya. Wajah Shanti tampak menyeramkan dengan seringai yang ditorehkannya. Lina mundur dua langkah dari hadapan Shanti

“Kau takkan bisa lari...“ desis Shanti lemah.

Shanti secepat kilat mencengkeram leher Lina. Ia shock.. Lina kesulitan mengatur irama napasnya. Mulutnya megap. Rasa sesak terbakar mulai menjepit dadanya.

“Shanti hentikan... Uhuuukk... Uhuuukk,“ Lina mencoba mencari celah bernapas tetapi ia malah kesulitan dibuat Shanti.

Beberapa siswa yang mendengar rontaan lemah Lina, berbondong-bondong menuju kelas. Dua siswa laki-laki kesulitan melepaskan cengkeraman Shanti dari leher Lina. Tenaga Shanti cukup kuat. Sekali hentakan tangan, mereka semua terlempar. Sementara itu, Lina masih mencoba bertahan dari cekikan Shanti. Namun, usaha mereka tidak sia-sia, begitu tujuh orang siswa laki-laki serempak menarik tubuh Shanti. Mereka berhasil.

Lina terbebas. Ia masih trauma dengan kejadian yang dialaminya. Wajahnya pucat pias. Pikirannya masih menebak-nebak apa yang sebenarnya terjadi dengan sahabatnya.Entahlah. Matanya berkunang-kunang. Sesak masih menghimpit dadanya. Diliriknya ke depan, Shanti sudah tak sadarkan diri.

Lina sudah dibawa ke ruang UKS. Seorang anggota PMR memberikannya segelas air hangat. Lina langsung menyambutnya. Sekali tenggak saja, air itu sudah habis ditelan.

“Apa yang terjadi dengan Shanti, Lin?“ tanya Erlina sambil menaruh gelas yang diberikan oleh Lina.

“Aku sendiri pun tidak tahu, Er. Semuanya terjadi dengan cepat.” ujar Lina. Wajahnya masih saja pucat meskipun keadaannya sudah membaik.

“Bagaimana keadaan Shanti?“ sambung Lina.

“Pihak sekolah sudah menelepon orang tuanya. Dan, ia sudah dipulangkan guna menghindari kejadian tadi terulang lagi pada siswa yang lain.“ pungkas Erlina sambil memakai dinas PMR-nya lagi.

Meskipun masih diliputi ketakutan, Lina tetap menghawatirkan keadaan Shanti. Sejak mereka bermain jelangkung, teror demi teror, terus saja menghantui dan menghabisi nyawa mereka satu per satu. Ia juga tak tahu kapan teror itu akan berakhir dan siapa lagi yang akan menjadi korban selanjutnya.

Sinar bulan purnama memendar lemah, menerangi alam sekitar. Namun, gadis ini tetap saja terlelap dalam tidurnya. Ia tertidur pulas walau hawa dingin yang menguar di kamarnya, terus meraba tengkuknya. Wajah ovalnya terlihat letih sekali. Kelopak matanya tertutup rapat seolah tak ingin terbuka, sekedip pun.

Akan tetapi, sayup-sayup suara halus mendelikkan matanya. Daun telinganya yang kecil menangkap suara yang entah dari mana asalnya, sedang memanggil dirinya. Ia bangkit dari tempat tidurnya, mendapati seorang wanita bergaun hitam memandangi dirinya.

“Ikutlah denganku.“ gumamnya lembut.

Wanita itu membalikkan badannya lalu melayang perlahan. Shanti mengikutinya dari belakang. Dia sudah keluar terlebih dahulu hanya dengan menembus pintu kamar Shanti. Shantiyang masih dalam keadaan sleep walking, menekan gagang pintu dan keluar. Dia berdiri di belakang Shanti. Kakinya tak menapaki tanah.

Wanita itu terus membawanya pergi jauh meninggalkan rumahnya. Malam semakin mencekam. Shanti terus saja melangkah walau dinginnya malam mulai menyengat kulit sawo matangnya. Wanita itu menghentikan langkahnya tepat di sebuah jalan raya yang sepi.

“Tunggu di sini.“ Wanita bergaun hitam itu menghilang dari hadapannya. Shanti mencelikkan matanya pelan-pelan. Hanya saja, tatapan itu redup dan kosong. Tak ada rasa kehidupan di dalamnya. Ia termangut, menunggu apa yang selanjutnya akan terjadi pada dirinya.

TIIITTT! TIIIITTTTTT!!!

Diliriknya jam tangan yang melekat di tangannya. Sudah setengah jam, Sofia berpisah dengan suaminya. Rasa rindu terendap di dadanya begitu dirinya melambaikan tangan tanda perpisahan untuk beberapa minggu, mungkin beberapa bulan lamanya. Ia berdoa agar pesawat terbang yang ditumpangi suaminya, selamat sampai tujuan. Sofia beranjak pergi dari ruang tunggu pesawat menuju tempat parkir.

Butuh waktu lima belas menit, berjalan dari ruang tunggu menuju tempat parkir. Bandara berlantai tiga ini dihubungkan dengan eskalator dan lift. Ruang tunggu pesawat berada di lantai tiga. Sofia memilih menuruni eskalator. Ia sekilas mengamati bangunan megah yang terdapat di dalam bandara. Pilar-pilar kokoh dan cukup kuat sanggup menahan pondasi lantai yang dilapisi beton. Bagian dalam bandara memiliki ruangan ekstra luas. Banyak sekali toko-toko dan kafe yang dibangun oleh pihak bandara. Taman kecil terdapat di bagian tengah setiap koridor bandara.

Untunglah, suasana tempat parkir tidak terlalu ramai. Sofia memarkirkan mobilnya di antara himpitan empat mobil Kijang dan Sport. Sofia memasuki sebuah mobil Xenia hitam berplat BK 596 TAT kemudian menjauh dari sana. Ia tak menyadari, sepasang mata mengawasinya dari kejauhan saat ia keluar dari tempat parkir.

“Kau akan pergi menyusul anakmu, Sofia.“

Wanita yang berada di dalam mobil Avanza putih, menyimpulkan senyuman culas seraya mendorong persneling, menyusul mobil Sofia.

Untuk mengusir rasa sepi, Sofia memasukkan flashdisk ke dalam USB untuk memutar musik. Lagu-lagu lawas yang ditembangkan penyanyi terkenal di zamannya, membuat keresahan yang memenuhi hatinya hilang sesaat. Ia tampak menikmati alunan nada indah sambil menyetir mobilnya. Sofia melihat sekilas kaca spion kanannya. Sebuah mobil Avanza APV putih berada di belakangnya. Ia tak mau memperdulikannya dan tetap berkonsentrasi pada kemudinya.

Lama-kelamaan, Sofia mulai menyadari bahwa mobil yang berada di belakangnya itu, terus saja mengikuti dan mengejar dirinya. Ia menambah kecepatan mobilnya, menaikkan tuas persneling menjadi empat speed. Sofia cemas jikalau orang yang berada di belakangnya adalah perampok atau penculik.

Mobil itu terus saja melaju cepat mendahului mobil Sofia. Dan, ia sudah berada di sampingnya. Sang pengemudi misterius membuka setengah kaca mobilnya. Ia menampakkan dirinya di hadapan Sofia.

“Siapa kamu? Kenapa kamu mengikutiku?!“ tanya Sofia keras. Ia harus membagi dua perhatiannya—ke arah jalan dan ke arah pengemudi misterius.

Sang pengemudi melepas kacamata hitam dan babushaka yang menutupi wajahnya.

“Kamu...“

Sofia tersentak. Dirinya benar-benar terperanjat. Ia tak sanggup melepaskan pandangan ke arah pengemudi. Sementara Sofia terkejut, sang pengemudi memanfaatkan celah untuk membuat incarannya panik.

Sang pengemudi menabrak sisi samping mobil hingga mobil Sofia hilang keseimbangan. Dibenturkannya sekali lagi. Sofia semakin kesulitan mengontrol setirnya. Ban mobilnya menimbulkan bekas gesekan yang memanjang di atas aspal.

Sang pengemudi terus saja memojokkan mobil Sofia. Ia menabrak sisi samping mobil berkali-kali sampai bagian luar mobil penyok dan meninggalkan lecet parah. Konsentrasi Sofia hilang. Dalam kekacauan, ia membanting setirnya ke arah kanan.

BRRRAAAAKKK!!!

Suara benturan keras memecah keheningan. Sang pengemudi mengamati sejenak targetnya. Sofia tak sadarkan diri dengan kondisi kepala berdarah di depan kemudinya. Ujung mobilnya menabrak pembatas jalan hingga bengkok. Ia mengulas senyum licik, berlalu pergi dari sana. Ia berharap tak ada saksi mata melihatnya dalam insiden itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun