“Wah kalau itu saya enggak tahu,itu urusan pusat.”
“Aku ini orang miskin Mas,suamiku dah mati,aku harus menanggung lima anak dan si mbok yang tua!”
“Maaf Mbak Poni,silahkan tanya ke kelurahan atau ke kantor Badan Pusat Statistik kabupaten. Kasihan yang antri di belakang.”
Lesu,pucat Poniyem menyingkir dari antrian. Ia tak sanggup berpikir lagi. Kok diblokir? Dimana salahnya? Ia meletakkan pantatnya di lantai tak dihiraukannya orang yang melintas menatapnya heran. Selintas terbayang senyum ke lima anaknya dan si mbok waktu mengantarkannya tadi pagi. Sejurus kemudian Poniyem berdiri,berjalan tegap menuju ruang kepala! Ia menerobos,nyelonong masuk berhadapan dengan pak Aldi. Pak Aldi kaget sejenak ia hendak marah. Namun begitu melihat wajah Poniyem yang memelas,lucu! make-upnya yang luntur berlepotan keseluruh wajahnya pak Aldi menahan tawa mempersilahkan Poniyem duduk menanyakan keperluannya.
“Pak,aku ini miskin,anakku lima,aku harus juga menanggung si mbok yang sudah tua suamiku sudah mati tiga tahun lalu. Mengapa kartuku diblokir?”
“Sebentar…” pak Aldi menyuruh petugas mengambil arsip Poniyem.
“Buk Iyem…”
“Maaf Pak panggil aku Mbak poni saja.”
“Mbak Poni dicatatan ini tertera.lantai rumah Mbak Poni sudah berkeramik Benar?”
Poniyem mengangguk.
“Di sini juga tertera Mbak sudah memiliki sepeda motor. Benar ?’