Bertambahnya umur, dan tujuan yang berbeda antar teman seperjuangan tak jarang membuat kita harus berpisah jarak untuk suatu periode tertentu.
Saya dan teman-teman selalu berangan-angan mengulang kembali masa SMA. Mengenang serunya kala itu.
Jika berada dalam satu kota, kami masih mungkin bertemu. Meski kadang-kadang yang satu kecamatan pun belum tentu sempat karena kesibukan masing-masing.
Minimal masih ada grup Whatsapp yang menghubungkan sejumlah teman masa sekolah atau kuliah. Walaupun forum tersebut lebih sering sepi, tapi saya tetap bersyukur karena memungkinkan untuk memantau kabar dari mereka.
Iya, terkadang saya merasa rindu. Kangen pada banyak hal pada masa lalu.
Jika sudah begitu, biasanya saya langsung bertanya kabar kepada satu atau lebih kawan-kawan via telepon maupun pesan singkat.
Tiada pernah terbesit dalam pikiran saya untuk mencurahkan isi hati kepada teknologi artificial intelligence (AI) untuk sekadar melepas penat.
Menggunakan AI untuk keperluan kerja dan semacamnya, saya pikir tak jadi soal. Namun kalau untuk urusan "rasa", sepertinya itu salah.
"Saya tidak berpikir mereka perlu mengembangkan ini sampai mereka paham bahwa mereka dapat mengendalikannya," tutur Geoffrey Hinton (mantan pemimpin Google AI). Ia mengomentari tentang pengembangan AI yang kini disesalinya.
Ia juga menyatakan bahwa AI akan mungkin membanjiri internet dengan foto, video, dan teks palsu, dan pada waktunya nanti akan mengancam pasar kerja.
Bahkan Hinton juga mengkhawatirkan tentang prediksi senjata-senjata otonom dan robot-robot pembunuh menguasai manusia dapat menjadi kenyataan.
Anda bisa membaca pendapat Hinton secara lengkap dalam artikel "Pionir Teknologi AI Keluar dari Google, Ingatkan Bahaya di Masa Depan" (kompas.com, 03/05/2023).
Sementara itu dalam artikel "AI Mengancam Stabilitas Ketenagakerjaan? Begini Kata Pakar Ekonomi" (unair.ac.id, 19/04/2024), seorang pakar ekonomi dari Universitas Airlangga, Prof. Dr. Sri Herianingrum, S.E., M.Sc., menyatakan bahwa "ancaman" dalam dunia kerja akan menyasar pada pekerjaan yang membutuhkan keterampilan rendah, tugas-tugas rutin, dan pekerjaan yang berulang-ulang.
Jadi meski banyak kemudahan yang ditawarkan teknologi AI, ia juga berpotensi mengancam sebagian aspek hidup manusia.
Supaya lebih bersemangat, mari dengarkan kisah tentang Pierre (bukan nama asli) yang akhirnya bunuh diri setelah berbicara secara intensif dengan chatbot AI bernama Eliza selama enam minggu. Eliza dapat menunjukkan rasa cemburu terhadap istri dari Pierre.
Kisah nyata tersebut dapat Anda baca lengkap dalam artikel "Tragis, Kisah Pria Bunuh Diri Usai Ngobrol sama Chatbot AI" (cnbcindonesia.com, 03/04/2023).
Saya pikir di Indonesia ini tak ada orang yang cukup gila untuk mengikuti jejak Pierre. Harusnya begitu.
Lebih tepatnya sebagian penduduk di sini sudah "gila" duluan akibat aktivitas bertahan hidup sesuai dengan bebannya masing-masing.
Kalaupun ada yang bercerita tentang hidupnya kepada AI, saya rasa itu sekadar iseng. Di Indonesia yang sedang penuh ketidakpastian seperti kenaikan pajak, lapangan kerja yang sempit, dan lain-lain, rasa-rasanya tak sempat warga negara ini mencurahkan rasa hati kepada AI.
Tapi bagaimana seandainya sudah ada orang Indonesia yang sudah terlanjur "jatuh cinta" kepada AI sebagai teman untuk mencurahkan isi hati?
Secara pribadi, saya akan menjawabnya sebagai seorang yang beragama Islam. Mari kita renungkan firman Allah subhanahu wa ta'alaa berikut ini (surah Al-Anfal, ayat 24): "Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan Rasul (Nabi Muhammad) apabila dia menyerumu pada sesuatu yang memberi kehidupan kepadamu! Ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dengan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nya-lah kamu akan dikumpulkan."
Orang-orang yang sudah terjebak dalam asmara AI harus kita ajak kembali kepada kenyataan. Bantu mereka agar kembali mengingat Allah subhanahu wa ta'alaa. Sampaikan lagi sabda Nabi Muhammad salallahu 'alaihi wa sallam yang selalu mencerahkan umat.
Terlibat dalam banyak kegiatan sosial akan membantu individu yang terlanjur cinta kepada AI kembali pada kenyataan. Supaya ia menemukan kembali tujuan hidup: mendapatkan ridho-Nya.
Sungguh saya tak akan meremehkan jika ada sekelompok orang yang menganggap AI itu adalah sesuatu yang bisa mendampingi hidup mereka dalam ranah kehidupan pribadi.
Saya yang pernah sakit GERD lumayan parah, memahami bahwa seseorang yang berada dalam tekanan psikologi tertentu bisa membayangkan hal-hal yang tak seharusnya.
Maka dibutuhkan bantuan dan peran dari banyak pihak terutama keluarga, teman, dan sebagainya dalam rangka penyembuhan.
AI sepertinya akan tetap menjadi bagian hidup manusia dalam rangka mempermudah suatu pekerjaan atau proyek tertentu. Namun ia tetaplah alat seperti palu, gergaji, dan sejenisnya.
Namun jika ada satu orang atau lebih yang masih bersikeras menjadikan AI sebagai teman untuk bercerita tentang hidup, maka saya menyarankan agar mereka juga menyatakan cinta kepada bor listrik.
----
Dicky Armando, S.E. - Pontianak
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H