Saya ingat dendang gembira itu mengalun pada suatu hari libur, pada pagi hari sekitar jam sepuluh (waktu Kota Pontianak). Macam-macam jenis lagu yang dibawakannya, kebanyakan genre rock.
Di sela-sela nyanyian, dia kadang bercakap, seperti sedang menyapa penonton. Dalam hati saya bertanya: "Apakah beliau sedang melakukan simulasi untuk konser?"
Maka, pada suatu kesempatan, saya memberanikan diri bertanya kepadanya perihal kegiatan tersebut. "Bang Angga biasa latihan musik di rumah? Atau mungkin sedang menggarap proyek sebagai kreator konten?"
Sebelum menjawab pertanyaan itu, ia dengan sopan meminta maaf kepada saya jika suaranya mengganggu. Rumah kami memang bersebelahan, persis. Tapi karena memang lagu yang dibawakannya apik sekaligus sonor, saya dan istri tidak ada masalah, lagipula suaranya terdengar samar saja.
Ternyata selama ini, Bang Angga sering membuat konten-konten musik yang dapat dinikmati oleh siapa saja. Karena sebelumnya saya belum pernah menulis artikel tentang musik atau pemusiknya, maka orang ini adalah punca yang tepat untuk ditanyai.
Sebagai informasi pembuka, pria bernama lengkap Angga Pancawijaya ini lahir di Kota Pontianak, pada tanggal 17 Agustus 1983. Ia memulai karir musiknya sejak masih bersekolah di jenjang SMP kelas 2.
Pada masa itu, penampilan pertamanya ia mengikuti kompetisi band slow rock untuk kategori umum. Namun sayang belum mendapatkan titel apa pun.
Namun pada kesempatan lain, Bang Angga pernah mendapatkan gelar juara dalam kontes cipta lagu pada tahun 2002 yang diselenggarakan pihak swasta. Sebagai pemusik handal, Bang Angga ternyata juga pacak memainkan alat musik selain gitar.
"Pertama kali, saat SMP, saya main gitar. Ketika SMA kelas 1, saya mulai memainkan alat musik bas," ujar Bang Angga.
Ia kemudian menambahkan tentang awal mula minatnya di dunia musik disebabkan karena pengaruh dari keluarga yang sangat menyukai musik. Ketika sampai pada fase dewasa, Bang Angga mampu menghasilkan uang dari keahliannya.
"Zaman kuliah dulu, tahun dua ribu lima, saya sudah main di kafe-kafe. Bayarannya untuk satu orang (format band) sekitar tujuh puluh ribu rupiah. Makan-minum gratis," kenang Bang Angga sembari memandangi langit malam di atas kami.
Kala itu, saya ngobrol santai dengan beliau sekitar jam 1 (satu) malam waktu Kota Pontianak. Maklum kami kan tetangga, jadi kalau ada waktu kosong pasti nongkrong bersama.
Seperti saya dan bapak-bapak lainnya di dunia ini, ternyata pada tahun 2023, intensitas hobi atau kesukaan seringkali harus tunduk kepada bentuk rutinitas yang mengepulkan dapur. Begitu pula Bang Angga, ia sudah jarang tampil bermusik seperti pada masa ketika ia masih prima.
Namun ia mengakui bahwa kalau bicara soal "angka", ia akan memilih untuk tampil di acara-acara pernikahan, karena uang yang dibawa pulang lebih besar. Mulai dari Rp350.000-Rp500.000/orang (format band).
Tapi kalau bicara soal "jiwa", Bang Angga lebih leluasa bermain di kafe, karena ia bisa membawakan warna musik miliknya sendiri. Berbeda dengan acara pernikahan yang harus sesuai tema atau permintaan dari pihak keluarga mempelai.
Sekarang ini, karena kesibukannya sebagai pengusaha kuliner, Bang Angga menyalurkan hobinya di TikTok (@angga_pancawijaya). Ia memilih media sosial tersebut karena dianggap lebih mudah berinteraksi dengan orang-orang dari luar pulau, dan fitur-fiturnya lebih mudah digunakan.
"Biasanya tampil jam berapa, Bang?" tanya saya penasaran.
"Kalau pagi jam sembilan sampai jam sebelas. Kalau malam mulai jam delapan sampai jam sepuluh," jawab Bang Angga.
Bang Angga lebih memilih lagu-lagu dari tahun sembilan puluhan, karena ia beranjak dewasa bersama tembang-tembang dari era tersebut. Menurutnya penjiwaan dalam bernyanyi lebih mudah bermanifestasi jika lebih sering didengar dan diulang.
Pada masa sekarang, secara pribadi ia menyayangkan pemusik di Kota Pontianak kekurangan wadah sehingga pergerakan dan perjuangan insan musik terkesan sporadis, meski jumlah pemusiknya semakin bertambah.
Bang Angga mendambakan suatu hari, Kota Pontianak memiliki tempat untuk seluruh pemusik agar bisa bersatu padu dan saling mendukung, tidak berdiri sendiri. Apalagi tempat seperti ini bisa digunakan pemusik kawakan untuk berbagi pengalaman, dan agar tidak putus komunikasi antar generasi.
Bicara soal "generasi", Bang Angga mengeklaim para pemusik yang dikenalnya dulu, tersisa hanya tiga puluh persen saja yang masih aktif. Kebanyakan disebabkan sudah tak fokus lagi di dunia musik, atau punya pekerjaan lain.
"Apakah sulit mencari sesuap nasi dari bermain musik di Kalimantan Barat, Bang?" tanya saya.
"Bisa jadi. Pontianak ini tempat hiburannya terbatas. Persaingan dengan oknum dari generasi muda juga menjadi tantangan tersendiri, misalnya mereka ini siap tampil tanpa dibayar atau dibayar murah. Istilahnya menjatuhkan harga pasar. Ini benar-benar terjadi."
Saya terperangah dan hanya bisa geleng-geleng kepala saja. Saya benar-benar tak sangka kalau ternyata setiap "dunia" punya "sisi gelap".
"Pesan saya untuk generasi muda yang sedang dalam proses bermusik adalah mari kita bersatu dalam suatu wadah agar tampak perjuangan kita," pungkas Bang Angga.
Ketika Bang Angga memberikan pernyataan penutup, saya melihat waktu telah sampai pada pukul 2 (dua) dini hari. Saya pamit dan ia pun kembali memetik dawai gitarnya di bawah sinar rembulan.***
----
Dicky Armando, S.E.--Pontianak
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI