Mampus kau, Sat!
***
Lebaran dewasa ini, setidaknya di lingkungan pergaulan saya, mengalami banyak pergeseran makna.
Seharusnya lebaran itu tentang rekonsiliasi, cinta, dan datangnya pertolongan. Nabi Muhammad SAW pernah bersabda: "Barangsiapa yang ingin dilapangkan rezeki-nya dan dipanjangkan umurnya, hendaklah ia bersilaturahmi." (Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim)
Memang tidak selalu terjadi, tapi lebaran di masa sekarang dihiasi tingkah dari orang-orang yang ingin pamer, merendahkan orang lain, dan sejenisnya.
Biasanya orang-orang seperti itu menjalani puasa yang hanya lapar dan haus saja. Tidak meresapi makna. Makanya setelah lebaran tak mendapatkan apa-apa kecuali rasa rakus yang ia tahan selama satu bulan lamanya. Ironis.
Saya yang lahir dan hidup di Kota Pontianak, sejak saya paham apa artinya simpati dan empati, pada akhirnya menyadari bahwa sebagian orang di sini memang secara sengaja atau pun tidak telah memelihara "budaya kebodohan" sebagai pembuka pembicaraan, perkenalan, dan sejenisnya. Celakanya, biasanya pertanyaan yang berpotensi menyakiti itu adalah sebuah gerbang bagi canda-tawa.
Penyebab utama, dalam sudut pandang saya tentunya, adalah kurangnya literasi khususnya tentang agama.
Apa pun nama kitab suci Anda, saya yakin tidak ada "BAB Cara Menyakiti Orang Lain" dalam lembar pertama sampai terakhirnya.
Anggaplah Anda tidak punya agama. Tapi sudah seharusnya kita berprinsip: "Kesedihan orang lain tidak boleh berasal dari tawa saya". Sederhana, bukan?
Belajar bahasa asing itu sangat keren. Namun ketika lebaran, kita hanya perlu satu: bahasa cinta.