***
Sudah dua mangkuk bakso saya habiskan. Awalnya hanya saya makan satu mangkok, tapi ketika tuan rumah mempersilakan untuk menambah, tak saya sia-siakan kesempatan itu.
Saya kemudian memperhatikan keadaan sekitar, semua rekan sedang khusyuk bertarung dengan makanan masing-masing. Tapi saya mulai khawatir ketika Bang Sat telah mengosongkan piringnya. Ia mulai lirik sana-sini. Setiap kali beradu pandang, ia selalu buang muka. Sepertinya ia menganggap saya musuh politik atau sejenisnya.
Akhirnya dia menemukan mangsa yang tepat. Gawat!
"Hun, kapan kau menikah? Lama-lama pacaran untuk apa? Zina?"
Mihun tersedak, sebutir bakso yang belum sempat digigit melompat keluar dari mulutnya. Pria brewok itu segera minum, namun tersedak lagi. Sistem motoriknya seakan terganggu.
Bang Sat kali ini sudah keterlaluan. Rekan-rekan lain akhirnya bereaksi.
"Memangnya kau sudah menikah, Sat?"
"Kau punya pacar-kah? Tak ada? Berarti kau tak laku!"
"Bantulah si Mihun bayar tenda untuk acara resepsi nanti, Sat!"
Saya sudah tak tahu lagi siapa saja yang kemudian memberondong si Bang Sat dengan pertanyaan. Hari itu ia bunuh diri. Paling penting adalah dia harus mengingat pengalaman buruk itu baik-baik.