"Apakah keadaan penyair di Kota Pontianak menggenaskan?" tanya saya kepada Pradono via teks Whatsapp.
Pradono, biasa disapa Bang Don, adalah seorang penyair senior yang sudah banyak makan asam-garam di Provinsi Kalimantan Barat ini.
"Menghargai seniman banyak cabang dan caranya. Misal ketika masih hidup dan eksis, berilah penghargaan. Jangan sudah mati baru sibuk dihargai dengan selembar piagam," jawab Bang Don.
Ia kemudian menambahkan, "Penyair Kalbar dikenal dan dihargai di luar daerahnya, tapi dianggap sebagai 'kucing kurap' di kampung sendiri."
Sejauh pengamatan saya, sayang sekali memang, penyair yang kompeten di Kota Pontianak, "paling tinggi" jadi juri acara puisi. Bukan bermaksud menghina, saya sendiri kesal dengan keadaan tersebut. Mereka berhak mendapatkan lebih!
Kemudian saya menanyakan hal yang sama kepada Pay Jarot Sujarwo. Beliau ini adalah seorang penulis yang di sejumlah brosur digital diperkenalkan sebagai sastrawan dari Kalimantan Barat. Ia berdomisili di Kota Pontianak.
Bang pay, panggilan Pay Jarot Sujarwo, juga menjelaskan penyair di Pontianak sudah cukup berperan dengan menghasilkan banyak karya. Namun ia belum terlalu yakin karya tersebut disambut positif oleh pembaca.
"Butuh analisa lebih dalam," pungkasnya.
Pernyataan pertama Bang Pay, cukup memperjelas bahwa rendahnya minat baca tidak hanya mengancam keberadaan penyair, namun juga penulis genre lain.