Ada yang bilang para penyair selalu memilih jalan sunyi. Sebagai bagian dari masyarakat Kota Pontianak, dan penikmat puisi tentunya, sangat tertarik mengintip tentang seperti apa "ruas-ruas jalan sunyi" yang ditempuh oleh para penyair di kota ini.
Seorang teman yang mengenal saya sebagai penulis puisi amatir (sungguh saya tak pernah memperkenalkan diri sebagai penyair atau apa pun) pernah bertanya kepada saya: "Memangnya menjadi penyair bisa menjamin dompetmu aman?"
Pertanyaan itu sangat sahih diajukan oleh seseorang yang skeptis tentang bagaimana seseorang bisa bertahan hidup di Pontianak sebagai penyair tanpa adanya pekerjaan lain.
Saya tidak punya data dan sumber yang tepat untuk menentukan pada generasi siapa penyair di Pontianak berhenti menjalani gaya hidup bohemian. Namun di masa kini, rasa-rasanya semua orang yang diberi gelar sebagai penyair di Kota Pontianak punya pekerjaan lain untuk menopang hidup.
Seharusnya, penyair dan seniman lain menempati posisi yang baik di masyarakat, sebagai orang-orang yang mampu menginspirasi dan menggali cahaya terpendam di sudut jiwa manusia. Faktanya di kota ini, saya belum menemukan institusi pemerintah maupun swasta yang berani mempekerjakan penyair atau seniman lain untuk menciptakan karya-karya seni secara khusus. Jika ada, mohon saya dikoreksi.
Masalahnya, jika pemerintah menjadi penyandang dana bagi para seniman, maka akuntabilitas yang terlibat menjadi lemah. Dalam artikel "Should The Arts Get Public Money?", diterbitkan oleh BBC News (2011), disebutkan bahwa: "When the goverment is not the paymaster, the key relationships are between the providers of the arts, those attending performances and those giving voluntary donations. Accountability is strong. When goverment is financing arts, bureaucratic attitudes will dominate."
Saya menafsirkan pernyataan tersebut dengan sudut pandang bahwa jika pemerintah mendanai, maka mereka akan menguasai dan berwenang untuk mengatur bagaimana dan untuk apa karya seni dibuat, dalam hal ini adalah propaganda. Tidak murni!
Maka cara yang paling sehat adalah kesenian, karya penyair khususnya, berinteraksi langsung dengan "end user". Akuntabilitas tetap terjaga. Tak ada yang namanya pesanan ini-itu. Intinya siapa suka boleh beli.
Kemudian masalahnya berlanjut: "Siapa yang mau menghargai karya para penyair Pontianak?"
Produk penyair berupa karya tulis. Sementara berdasarkan data UNESCO yang saya ambil dari artikel "Teknologi Masyarakat Indonesia: Malas Baca Tapi Cerewet di Medsos", diterbitkan oleh KOMINFO (2017), bahwa dari 1000 orang Indonesia, hanya 1 orang saja yang rajin membaca. Kabar buruk.
Sepanjang pengalaman saya, banyak sekali nama-nama penulis puisi yang sekarang berdomisili di Kota Pontianak. Beberapa sudah menelurkan sejumlah karya. Ada pula penyair senior, yang baru menelurkan satu buku puisi. Tapi masalahnya bukan kuantitas karya, melainkan seberapa peduli masyarakat kita yang malas membaca ini pada puisi. Kalau ini mimpi, tolong bangunkan saya.
"Apakah keadaan penyair di Kota Pontianak menggenaskan?" tanya saya kepada Pradono via teks Whatsapp.
Pradono, biasa disapa Bang Don, adalah seorang penyair senior yang sudah banyak makan asam-garam di Provinsi Kalimantan Barat ini.
"Menghargai seniman banyak cabang dan caranya. Misal ketika masih hidup dan eksis, berilah penghargaan. Jangan sudah mati baru sibuk dihargai dengan selembar piagam," jawab Bang Don.
Ia kemudian menambahkan, "Penyair Kalbar dikenal dan dihargai di luar daerahnya, tapi dianggap sebagai 'kucing kurap' di kampung sendiri."

Sejauh pengamatan saya, sayang sekali memang, penyair yang kompeten di Kota Pontianak, "paling tinggi" jadi juri acara puisi. Bukan bermaksud menghina, saya sendiri kesal dengan keadaan tersebut. Mereka berhak mendapatkan lebih!
Kemudian saya menanyakan hal yang sama kepada Pay Jarot Sujarwo. Beliau ini adalah seorang penulis yang di sejumlah brosur digital diperkenalkan sebagai sastrawan dari Kalimantan Barat. Ia berdomisili di Kota Pontianak.

Bang pay, panggilan Pay Jarot Sujarwo, juga menjelaskan penyair di Pontianak sudah cukup berperan dengan menghasilkan banyak karya. Namun ia belum terlalu yakin karya tersebut disambut positif oleh pembaca.
"Butuh analisa lebih dalam," pungkasnya.
Pernyataan pertama Bang Pay, cukup memperjelas bahwa rendahnya minat baca tidak hanya mengancam keberadaan penyair, namun juga penulis genre lain.
Saya mengutip teori Ian Watt mengenai konteks sosial pengarang, diambil dari artikel "Teori Pendekatan Sosiologi Sastra Menurut Ian Watt" yang diterbitkan oleh Tirto(dot)id. Ada beberapa hal yang menjadi poin penting:
- Bagaimana si pengarang mendapatkan mata pencahariannya. Apakah ia menerima bantuan dari pengayom atau masyarakat langsung, atau dari kerja rangkap.
- Profesionalisme: sejauh mana pengarang menganggap pekerjaannya sebagai suatu profesi.
- Hubungan antara pengarang dan masyarakat. Masyarakat yang dituju ikut menentukan bentuk karya dan isi karya sastra.
Merujuk pada keadaan Kota Pontianak, saya meyakini penyair menghidupi dirinya dengan melakukan pekerjaan lain. Lalu, saya juga belum pernah menemukan seseorang di kota ini yang memperkenalkan dirinya sebagai penyair profesional. Hal menarik pada poin ketiga. Barangkali sebagian orang di sini memberikan tepuk tangan paling meriah dan pujian indah kepada penyair setelah membacakan sebuah puisi di atas panggung. Namun begitu ditawarkan karya puisi untuk dibeli, belum tentu ada yang mau.
Maka jangan heran kalau semakin sedikit penyair di Kota Pontianak mengangkat tema-tema sosial. Kecewa-nya sudah akut, atau mungkin khawatir sia-sia.
Masa sekarang yang apa saja perlu duit memberikan tantangan tambahan kepada para penyair. Perut harus terisi, keluarga di rumah wajib makan, sementara puisi-puisi berdebu di bawah jendela kamar menunggu untuk dibacakan pada acara sastra yang entah kapan terselenggara lagi.
Mau menerbitkan buku puisi secara mandiri? Untuk makan sehari-hari saja sudah ngos-ngosan.
Bantuan dari pemerintah? Tak perlu kita bahas-lah, ya. Sekarang penyair-penyair Kota Pontianak jalan-nya tak lagi sunyi, sesak, bahkan keruh. Jalur penyair ini adalah tempat di mana sebagian manusia siap kesepian di tengah keramaian.
Jadi rasanya tidak berlebihan kalau saya sebut "elegi", bukan?
----
Dicky Armando, S.E. - Pontianak
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI