Mohon tunggu...
Dicky Armando
Dicky Armando Mohon Tunggu... Administrasi - Orang Biasa

Hamba Allah subhanahu wa ta'alaa.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Elegi Penyair Pontianak

28 April 2021   15:02 Diperbarui: 28 April 2021   15:08 377
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pay Jarot Sujarwo. Sumber foto: FB Pay Jarot Sujarwo

Ada yang bilang para penyair selalu memilih jalan sunyi. Sebagai bagian dari masyarakat Kota Pontianak, dan penikmat puisi tentunya, sangat tertarik mengintip tentang seperti apa "ruas-ruas jalan sunyi" yang ditempuh oleh para penyair di kota ini.

Seorang teman yang mengenal saya sebagai penulis puisi amatir (sungguh saya tak pernah memperkenalkan diri sebagai penyair atau apa pun) pernah bertanya kepada saya: "Memangnya menjadi penyair bisa menjamin dompetmu aman?"

Pertanyaan itu sangat sahih diajukan oleh seseorang yang skeptis tentang bagaimana seseorang bisa bertahan hidup di Pontianak sebagai penyair tanpa adanya pekerjaan lain.

Saya tidak punya data dan sumber yang tepat untuk menentukan pada generasi siapa penyair di Pontianak berhenti menjalani gaya hidup bohemian. Namun di masa kini, rasa-rasanya semua orang yang diberi gelar sebagai penyair di Kota Pontianak punya pekerjaan lain untuk menopang hidup.

Seharusnya, penyair dan seniman lain menempati posisi yang baik di masyarakat, sebagai orang-orang yang mampu menginspirasi dan menggali cahaya terpendam di sudut jiwa manusia. Faktanya di kota ini, saya belum menemukan institusi pemerintah maupun swasta yang berani mempekerjakan penyair atau seniman lain untuk menciptakan karya-karya seni secara khusus. Jika ada, mohon saya dikoreksi.

Masalahnya, jika pemerintah menjadi penyandang dana bagi para seniman, maka akuntabilitas yang terlibat menjadi lemah. Dalam artikel "Should The Arts Get Public Money?", diterbitkan oleh BBC News (2011), disebutkan bahwa: "When the goverment is not the paymaster, the key relationships are between the providers of the arts, those attending performances and those giving voluntary donations. Accountability is strong. When goverment is financing arts, bureaucratic attitudes will dominate."

Saya menafsirkan pernyataan tersebut dengan sudut pandang bahwa jika pemerintah mendanai, maka mereka akan menguasai dan berwenang untuk mengatur bagaimana dan untuk apa karya seni dibuat, dalam hal ini adalah propaganda. Tidak murni!

Maka cara yang paling sehat adalah kesenian, karya penyair khususnya, berinteraksi langsung dengan "end user". Akuntabilitas tetap terjaga. Tak ada yang namanya pesanan ini-itu. Intinya siapa suka boleh beli.

Kemudian masalahnya berlanjut: "Siapa yang mau menghargai karya para penyair Pontianak?"

Produk penyair berupa karya tulis. Sementara berdasarkan data UNESCO yang saya ambil dari artikel "Teknologi Masyarakat Indonesia: Malas Baca Tapi Cerewet di Medsos", diterbitkan oleh KOMINFO (2017), bahwa dari 1000 orang Indonesia, hanya 1 orang saja yang rajin membaca. Kabar buruk.

Sepanjang pengalaman saya, banyak sekali nama-nama penulis puisi yang sekarang berdomisili di Kota Pontianak. Beberapa sudah menelurkan sejumlah karya. Ada pula penyair senior, yang baru menelurkan satu buku puisi. Tapi masalahnya bukan kuantitas karya, melainkan seberapa peduli masyarakat kita yang malas membaca ini pada puisi. Kalau ini mimpi, tolong bangunkan saya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun