Mohon tunggu...
Arman Batara
Arman Batara Mohon Tunggu... Editor - Penggiat Literasi Media

Tak ada manusia yang mampu menghindari dari kematian. Lantas, apa yang akan kamu sombongkan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Tak Tahan Menahan Rasa "Jomblo" Akhirnya Dia Menikah

24 Agustus 2020   01:35 Diperbarui: 24 Agustus 2020   03:01 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesibukan yang melanda pada waktu itu membuatnya menghiraukan bahwa 'dirinya' Renom akan menikah pada waktu yang sangat dekat. Padahal pernikahannya dengan perempuan (panggil saja Nurlela) yang sangat dicintainya itu tinggal satu hari lagi.

Namun, Renom masih di Jakarta ada apakah sebenarnya dengan Renom? Apakah pernikahan dianggapnya sebuah hal yang biasa? Kalau penulis melihat sebuah resepsi pernikahan adalah sesuatu hal yang sakral, biasanya kedua mempelai laki-laki dan perempuan akan mempersiapkan nya dengan matang.

Maka, ada istilah "Dipingit" (Calon pengantin baik laki-laki maupun perempuan tidak boleh keluar sampai resepsi pernikahan tiba) bahkan kedua keluarga akan mempersiapkan segala sesuatu nya dengan matang.

Entah apa yang dipikiran Renom? Padahal itu adalah sesuatau hal yang istimewa menurut penulis, mungkin manusia punya pemikiran yang sangat berbeda-beda. Entahlah, itu tak terpikirkan oleh penulis.

Renom sampai ke kampung halaman tempat akan berlangsungnya pernikahan, sekitar pukul 18: 30 WIB padahal keesokan harinya akan berlangsung sesuatu hal yang bermakna pada dirinya yaitu 'pernikahan'.

"Pernikahan adalah upacara pengikatan janji nikah yang dirayakan atau dilaksanakan oleh dua orang dengan maksud meresmikan ikatan perkawinan secara norma agama, norma hukum, dan norma sosial".

Menurut penulis, Pengesahan secara hukum suatu pernikahan biasanya terjadi pada saat dokumen tertulis yang mencatatkan pernikahan ditanda-tangani.

Upacara pernikahan sendiri itu  biasanya merupakan acara yang dilangsungkan untuk melakukan upacara berdasarkan adat-istiadat yang berlaku, dan kesempatan untuk merayakannya bersama teman dan keluarga.

Wanita dan pria yang sedang melangsungkan pernikahan dinamakan pengantin, dan setelah upacaranya selesai kemudian mereka dinamakan suami dan istri dalam ikatan perkawinan. Dan siap dah saling tindih menindih setiap kamis malam Jumat. Karena, orang berkata Kamis Malam Jumat adalah sunah rosul. Berarti hari-hari yang lainnya sebuah kewajiban heheh (intermezo) atau bahasa gaulnya "heureuy" becanda.

Dokpri
Dokpri

"Aku sudah nyampe rumah say," aku menyapa kekasih ku. Ya sudah baguslah kata sang pujaan hati istirahat biar besok fit lanjutnya.

"Oh ya bagaimana persiapan besok," kesasih ku balik bertanya seakan-seakan dia sudah tak tahan menanti hari esok.

Aku pun menjawab, ya aku sudah persiapkan sebaik mungkin.

"Ya sudah istirahat ya sayang semoga kita diberikan kelancaran," kekasihku seraya berucap sambil berharap Tuhan memberikan kebaikan.

Obrolan dimalam itu tak banyak kata yang terucap dari ku, begitupan dari calon istriku. Aku pun mencoba memejamkan mata sambil memikirkan esok yang akan terjadi. Karena sadar tidak sadar aku hanya bermodal nekat, hanya atas dorongan kewajiban sebagai Pria dewasa yang wajib memiliki istri.

Menurutku ini semua tak didukung dengan mental yang kuat. (Yang dimaksud 'Mental' aku tak mempersiapkan bagaimana mengahapal ijab qobul yang benar ataupun cara berhadapan dengan penghulu) aku hanya mempercayakan pada takdir.

Walaupun pikiran melayang entah kemana melayang nya, aku pun tetap tertidur pulas mungkin karena cape. perjalanan Jakarta - Sumedang atau lebih tepatnya ke kampung Cimungkal begitu amat sangat melelahkan.

Tak terasa suara adzan subuh terdengar nyaring ditelingaku, aku pun bangkit dari tempat tidurku sambil merasakan badan yang begitu 'ngereutek' pegel dan aku pun menuju kamar mandi.

Setelah mandi. Lalu, aku mengambil air wudhu dan aku langsung melaksanakan sholat subuh (suatu kewajiban bagi pemeluk Islam).

Setelah selesai berdoa aku langsung memakai pakaian rapih. Lalu tiba-tiba terdengar Ibuku tercinta memanggil, "Renom!," Iya Ma sahut ku menjawab.

"Coba atuh tanyaken ka Nurlela urang tidieu indit jam sabaraha?," dia berkata memakai bahasa Sunda, yang kalau diterjemahkan ke bahasa Indonesia seperti ini "Coba deh tanyain ke Nurlela kapan kita berangkat dari sini" seperti itulah kira-kira.

Saat ku SMS calon istriku pesan tak terkirim lalu lewat sambungan telpon pun tak diangkat hanya terdengar dari suara dari operator "Nomor yang ada  panggil sedang tidak aktip," berkali kali ku telpon dan berkali-kali juga suara operator dengan jawaban yang sama.

Dokpri
Dokpri

Sedikit perasaan panik karena hanya no calon istriku yang kumiliki, pada saat itu aku blum memiliki kontak calon mertuaku sendiri.

Lalau aku pun berdiskusi dengan kedua orang tuaku, lalu kami putuskan untuk berangkat. Ternyata ada juga sanak saudara yang mengatarku walau tak banyak. tapi cukup syarat untuk di katakan 'Seuseurahan'

Perjalan dari rumah Renom ke rumah Nurlela itu tak jauh, pakai mobil paling sekitar 10 menit.

Tak lama kemudian aku pun sampai ke rumah Nurlela, tak lama aku semua yang ada di mobil turun. Tiga menit aku turun, belom ada tanda-tanda sambutan dari keluarga Nurlela.

Hampir lima menit lewat menunggu, terlihat dari kejauhan lelaki setengah baya menghampiri aku dan keluargaku dan berkata "pagi benar," sambil menebar senyum. Blom siap paling 10 menit lagi, lanjut dia lalu menjelaskan keadaan calon istriku yang belom siap. Karena masih dandan dan ini itu.

Setelah 10 menit menunggu, sambutan pun datang, aku langsung bersiap bagaikan pangeran yang kesiangan aku di gandeng kedua orang tuaku. Lalu aku berhadapan dengan mertuaku karena dialah yang menjeputku.

Dag,, dig,, dug,, der,, jantungku hampir copot. Tapi boong,,  saat berhadapan dengan mertuaku maklum jarang ketemu..

Lalu aku digiring ke kamar bagaikan, sekali lagi, Pangeran yang kesiangan. Disitu terlihat ibu-ibu setengah baya 'perias' lalu dia meyuruhku untuk mengganti bajuku dengan baju pengantin.

Namun, begitu naas saat ku pakai pakean pengantin itu, gede banget aku seperti dimakan baju. Maklum aku begitu ceking dan kurus, pendek pula. Ya sudahlan yang penting jadi kawin tak usah hiraukan penampilan.

Setelah ganti pakaian suasana yang begitu mencekam pun hadir, harus berhadapan dengan penghulu. Dari awal aku tak pernah mempersiapkan mental bagaiman menghadapi penghulu dan bagaimana berucap mengucapkan Ijab Qobul yang baik dan benar.

Seebelum itu,  aku dipandu oleh penghulu mengucapkan Ijab Qobul sampai dua kali aku latihan pengucapan Ijab Qobul. Penghulu bertanya "Sudah siap," sudah jawabku dengan keyakinan tingkat tinggi.

Disitulah suasana yang begitu membuatku gemetaran, badan ku berasa panas dingin. jantungku sudah tak jelas apa dia sudah jatuh apa masih menempel, Saat aku dikatakan gagal atau tidak sah saat mengucapkan Ijab Qobul yang pertama.

Lalu aku pun bersiap-siap mengucapkan Ijab yang kedua kali, saat tek (sulit menuliskan saat jempol penghulu ada dijempolku) bla, bla, bla, (Ntah lupa pengucapan Ijab Qobul dalam pernikahan) lalu mengucapkan Ijab Qobul yang kedua dan itupun gagal atau tidak sah.

Seorang pemuka agama di kampungku  yang ada disebelah sisiku berkata "Jang nginum heula," (dalam bahasa Sunda) lalu aku pun minum. Sebelum dilanjut yang ketiga pemuka agama yang ada disisiku memberikan nasihat, ntah itu nasihat atau itu ancaman.

"Jang kalau yang ketiga kali ini gagal/tidak sah, kayanya Ujanh harus mandi dulu," kata pemuka agama tersebut berbicara didepan orang banyak dan didepan calon mertuaku.

Perasaanku semakin tak jelas, muka ku pun berubah merah, tau merah api apa gincu wah entahlah. Dalam pikirku bagaimana kalau yang ketiga ini gagal? pasti aku disuruh mandi wah bisa jadi omongan netizen Budiman satu negara se tanah air.

Mau ditaro dimana mukaku? (Emang muka bisa dipindah) gumam dalam hatiku bagaima perasaan orang tauku, perasaan Nurlela dan calon mertuaku kalau tidak sah yang ketiga kali.

Lalu ada seorang perempuan dari belakang berbisik kepadaku "Renom Istigfar Renom," lalu aku pun mengucapkan Astagfirelloh al adzim hampir sekitar tiga kali dan mengucapkan lapad Allah.

Dan ku sedot lagi air putih dari aqua gelas yang sengaja disedia kan untukku. Lalu aku pun kembali di pandu oleh penghulu, kali ini penghulu agak sedikit lambat tak seperti yang pertama dan kedua yang begitu cepat memanduku.

Lalu terdengar penghulu dengan ucapan seakan bertanya Syahh?? Syahh, syahh, syahh, jawab semua yang ada di ruangan  Mushola tersebut. Sambil disambut kata syukur kepada Tuhan alhamdulillah, , alhamdulillah.

Aku pun berhamdallah, suasana yang begitu mencekam dalam hidupku dapat kulewati. Kulihat senyum di bibir istriku yang baru aku halalkan bebearapa detik yang lalu, menjadi pengobat rasa yang tak karuan yang bergejolak yang tak jelas dalam hatiku.

Empat tahun sudah terlewati pernikahan Renom dan Nurlela, kini mereka sudah dikarunia dua orang anak laki-laki. Penulis pun ikut berbahagia dan hanya bisa berdoa semoga mereka langgeng sampai maut memisahkan mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun