Mohon tunggu...
Arkian Widi
Arkian Widi Mohon Tunggu... Freelancer - hello world

a wandering digital bedouin.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

"The Umbrella Academy" di Wisata Virtual KOMiK Kompasiana

11 Agustus 2020   21:04 Diperbarui: 14 Agustus 2020   18:19 438
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rekan Kompasianers, kapan pertama kali menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan 3 Stanza? Pertama kali saya menyanyikan lengkap Indonesian anthem karya Wage Rudolf Supratman itu saat mengikuti seminar di Badan Bahasa Kementerian Pendidkan dan Kebudayaan RI. 

Indonesia Raya 3 Stanza

Para peserta diberikan secarik kertas bercetak lirik lagu kebangsaan Indonesia full version. Bak Robert Langdon saya akhirnya menemukan potongan terakhir puzzle dari suatu karya agung. Untuk pertama kali saya melihat lukisan bernama Indonesia secara utuh. 

Saya jadi makin kagum kepada sosok yang menggubah lagu Indonesia Raya di usia baru 21 tahun itu.  Awalnya saya menganggap ada sesuatu yang nanggung dari lirik lagu monumental tersebut. Terlalu ringkas untuk ukuran sebuah lagu anthem. Ada sesuatu yang harusnya lebih dalam lagi disampaikan. 

Pertanyaan yang selama ini menggantung, kini terjawab sudah. Ternyata memang, aslinya 3 stanza. Entah kenapa sebelumnya lagu kebangsaan kita lebih populer dibawakan dengan versi lite.

Padahal jika kita membaca Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1958 Tentang Lagu Kebangsaan Indonesia Raya, Bab I Ketentuan Umum Pasal 2, ada pilihan untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya secara lengkap. 

Kemudian dalam UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan (UU Lambang Negara), ada menyebutkan lagu Indonesia Raya dengan 3 stanza. 

Hingga terbit Surat Edaran Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 21042/MPK/PR/2017 bertanggal 11 April 2017, di mana Mendikbud mengimbau kita menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan 3 stanza.

Memang, jika kita perhatikan seksama, seperti penuturan John De Rantau, sutradara film WAGE, biopik WR Supratman, tiap stanza memiliki muatan yang saling melengkapi. Kita harus menyanyikan keseluruhan stanza jika ingin memahami Indonesia sebagaimana adanya. Lagu Indonesia Raya dirangkai dengan struktur lirik yang kokoh dan irama yang menggerakkan.

Larik pertama adalah persaksian, ikrar, dan ekspresi kebanggaan. Semacam pengumuman penting kepada dunia, mukadimah tentang lahirnya suatu bangsa. 

Larik kedua merupakan ajakan kepada tiap anak bangsa untuk bersama bermunajat dan senantiasa bersyukur atas karunia negeri makmur yang telah diamanahkan. 

Stanza pamungkas adalah penegasan dari pertanggungjawaban rasa syukur yakni dengan selalu menjaga ibu pertiwi. Nuansa patriotisme begitu kental di bagian akhir lagu. 

Perhatikan pilihan diksi yang menarik di akhir tiap stanza, menguatkan sosok WR Supratman sebagai pribadi yang holistik. Ketika merangkai bait ke bait, ia mengesankan gagasan yang menyeluruh, tidak parsial atau setengah-setengah. Tapi memang karakter khas para founding fathers selalu detil dalam merumuskan fondasi awal. Bahwa berbangsa dan bernegara adalah keselarasan pikiran, ucapan, dan perbuatan.

Di Stanza 1: Bangunlah jiwanya. Bangunlah badannya. Suatu kapabilitas ideal dari upaya seorang manusia. Body and soul. Bahwa sesungguhnya modal utama membangun suatu bangsa bukanlah Sumber Daya Alam (SDA), tapi Sumber Daya manusia (SDM). 

Di Stanza 2: Sadarlah hatinya. Sadarlah budinya. Merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti pertama dari budi adalah "alat batin yang merupakan paduan akal dan perasaan untuk menimbang baik dan buruk".  Arti keempat adalah "daya upaya; ikhtiar". Klop, budi jadi pasangan hati. Doa dan ikhtiar.

Bayangkan. Begitu dahsyat larik yang pluralis dan kental nuansa spiritual ini. Apapun keyakinan kita, kemungkinan besar sepakat dengan nilai universal yang ditawarkan di stanza kedua tersebut. 

Dan akhirnya di Stanza 3: S'lamatlah rakyatnya. S'lamatlah putranya. Pulaunya, Lautnya. Semuanya. Suatu gambaran kedaulatan penuh dari arti suatu kemerdekaan yakni upaya selalu menjaga seluruh aset bangsa; SDM dan SDA,  fisik maupun non fisik.  Saya kerap menitikkan air mata, tiap kali tiba di bait penghabisan ini.   

Wisata Virtual "Tapak Tilas Film Nasional"

Kecil kemungkinan saya menggelora dalam mengupas kandungan makna di lagu Indonesia Raya, kalau saja saya luput dari mendaftar acara KINOtalks "Wisata Virtual Tapak Tilas Film Nasional", kolaborasi Kinokuniya, Wisata Kreatif Jakarta, dan KOMiK (Kompasianers Only Movie enthus(I)ast Klub) Komunitas Film Kompasiana.

Kinokuniya bookstore punya program Merdeka Literasi dalam memeriahkan Dirgahayu Kemerdekaan Indonesia . Jadi, selain bahas serba-serbi buku, Kinokuniya juga mendukung kegiatan-kegiatan literasi interaktif seperti wisata virtual kesejarahan yang kita ikuti ini. KINOtalks bertema variatif. Beberapa waktu lalu, Kinokuniya menggelar takshow tentang batik warisan bangsa.  

Berkat tur daring Wisata Kreatif Jakarta, bersama rekan-rekan pecinta sejarah, kami diajak sang tour guide Kak Ira Lathief menjelajah jejak-jejak perjuangan kemerdekaan dan menyingkap hidden gems di lokasi-lokasi bersejarah yang menggugah semangat nasionalisme.

Memang belajar sejarah paling asyik dipadu dengan film, dalam hal ini biopic dan dokumenter tema kemerdekaan seperti Soekarno: Indonesia Merdeka (2013), Pantja-Sila: Cita-Cita dan Realita (2016), dan Wage (2017). Kita terbantu dalam membangun imajinasi. Apalagi kak Ira piawai memantik naluri theater of mind peserta.

Misal, Kak Ira menceritakan bagaimana Jalan Kramat Raya 106 dulu disewa pelajar STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen) dan RHS (Rechts Hooge School) menjadi asrama. Walhasil, kediaman yang kini Museum Sumpah Pemuda itu menjadi tempat tongkrongan para aktivis muda saat itu. 

Saya membayangkan sensasi berada di tengah diskusi sengit para pemuda pelaku sejarah. Darah muda, penggenggam api idealisme, dengan segala keterbatasan, turut terjun dalam pergolakan merebut kemerdekaan. Sementara mata-mata kolonial yang bertebaran selalu mengintai di tiap sudut komunikasi, tiap saat bisa tetiba merangsek dan mencekal.    

Jadi, dari kamar, wisata virtual memungkinkan saya layaknya penjelajah waktu yang kembali ke masa lalu. Melompat kami dari satu peristiwa ke peristiwa, menyaksikan bagaimana bibit suatu bangsa yang kelak bernama Indonesia ini ditanam, tumbuh, dan disemai. 

Saya kembali ke masa Wage Rudolf Soepratman pertama kali memperdengarkan lagu Indonesia Raya di Kongres Pemuda 28 Oktober 1928, di Jalan Kramat Raya 106 Jakarta Pusat (kini Museum Sumpah Pemuda). Saya kembali ke masa Bung Besar berpidato mengenalkan konsep Pancasila (tanpa teks!) di sidang BPUPKI, 1 Juni 1945, di Jalan Pejambon 6 Jakarta Pusat (kini Gedung Pancasila).

Saya langsung teringat serial Netflix Original "the Umbrella Academy", di mana Five dan saudara-saudaranya bertualang melakukan time jump dan menghadapi keseruan demi keseruan yang kian greget di season kedua. Asli, passion saya ter-triggered oleh wisata virtual ini.

Meski sedang pandemi, tapi literasi sejarah harus terus berjalan. Apalagi menyambut hari kemerdekaan Indonesia ke-75. Kita segarkan memori tentang perjuangan para pendiri bangsa. Kita berkunjung ke Museum Sumpah Pemuda, Museum Naskah Proklamasi, Gedung Pancasila, dan Tugu Proklamasi. Saksi bisu perjuangan kemerdekaan Indonesia.

 Jadi tepat sekali acara ini digelar menyongsong HUT RI. Kegiatan yang kental peringatan hari kemerdekaan Indonesia ini juga lebih bermakna karena bertepatan hari ulang tahun; HUT KOMiK, atau hari jadi Komunitas Komik Kompasiana yang ke-6. Acara KOMiK ini merupakan suatu insiasi kaum muda dalam mengisi kemerdekaan yang membangkitkan semangat nasionalisme. Kita jadi mengevaluasi, apa kontribusi saya selama ini sebagai ahli waris kemerdekaan yang susah payah diperjuangkan para pendiri bangsa. 

Para pemandu di Wisata Kreatif Jakarta berlisensi dan berprestasi dengan berhasil memecahkan rekor MURI: Wisata Naik Transportasi Kota Dengan Peserta Terbanyak (670 orang) pada 31 Oktober 2019. Virtual tour dari Wisata Kreatif Jakarta menjadi jawaban kita untuk bisa tetap berkelana mengunjungi destinasi-destinasi bersejarah dan menarik, di dalam negeri bahkan internasional. Tidak lama lagi, saya pun akan diajak Wisata Kreatif Jakarta "mengunjungi" Roma Italy. How cool is that?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun