Ya, Tuhan Yang Maha Esa telah menciptakan brāhmaṇa untuk pengetahuan, para ksatrīa untuk perlindungan, para vaiṣya untuk perdagangan, dan para śudra untuk pekerjaan jasmaniah.
Sampai detik ini memang di beberapa daerah apabila akan melaksanakan pernikahan masih memperhitungkan keberadaan kasta dalam keluarganya, karena (mungkin saja) local geniusmereka dari dulu memang sudah seperti itu, dan tidak bisa dipungkiri begitu saja. Tetapi hal itu juga tidak bisa dikaitkan, apalagi diklaim secara serampangan bahwa aturan tersebut memang anjuran agama Hindu secara keseluruhan (Hindu Dharma di Indonesia dalam konteks kekinian).
Contoh kasusnya di Bali, pembagian kasta terlihat lebih jelas sejak masa pemerintahan Anak Wungsu (1049 M-1077 M). Sehingga timbul dua golongan besar dalam masyarakat, yaitu golongan catur kastadan kelompok kahulaatau kalula. Pembagian golongan semacam itu terlihat pada bagian kutukan (sapatha) prasasti Bila (995 Ś/1073 M).
Terlepas dari unsur otonomi sosial yang sudah sejak dulu dimiliki oleh kerajaan di Jawa maupun Bali, intinya pertengkaran antara suami dan istri di dalam keluarga sangat terlarang! Sebagai bagian akhir tulisan ini, ada nasihat dari prasasti Pasrujambe XIX yang patut direnungkan ketika sebuah keluarga/orangtua (guru rupaka) masih sering bertengkar hingga berujung pada perpisahan. Iki pangestu yang mami guru guru yen arabi den kadi boting akasa lawan pṛtiwi papa kabuktiha (restu dari dewa, kami para guru jika menikah agar menjadi seperti beratnya langit dengan bumi. Kemalangan akan terbukti bagi yang melanggar).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H