Mohon tunggu...
Jingga Kelana
Jingga Kelana Mohon Tunggu... Arkeolog -

Lulusan Program Studi Arkeologi, FIB Udayana

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Belajar Kesetiaan dari Sebuah Prasasti

18 Januari 2017   10:13 Diperbarui: 18 Januari 2017   13:40 998
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Prasasti Widodaren (Foto: Rakai Hino)

Salěmah kastari wěka cawěhha totohan dadiha kawula batur,

saputula mane samake muwah satebe

terjemahan :

Semua keengganan akan kekerasan menjadi nasihat untuk anak dari orang yang telah tiada karena yang menjadi taruhannya adalah menjadi hamba pelayan, yang mematahkan kecongkakan yang sama dengan menepuk diri sendiri pula.

Berdasarkan bukti-bukti tertulis di atas, nampak jelas bahwa pertengkaran di antara suami istri dalam sebuah rumah tangga sebenarnya tidak ada gunanya sama sekali, karena hal itu hanya akan membawa efek buruk bagi keduanya maupun orang sekitar (baca: anak dan masyarakat). Apabila sudah berkomitmen untuk melangkah ke jenjang pernikahan, hendanya ego masing-masing individu harus diturunkan (sumeleh). Namun pengendalian diri semacam itu tidaklah mudah jika tidak dibarengi dengan kesadaran. Hal ini ditekankan di dalam prasasti Damalung (1371 Ś/1449 M) berikut: … membebaskan diri dari semua hal yang dilarang sama sulitnya dengan berkata jujur. Jika ada yang berbuat demikian (baca: bertengkar) bagaikan puasa tanpa memiliki bekal untuk berbuka, ternak tanpa pakan, dan istri tujuh hajamatanpa membawa harta…

Prasasti Widodaren (Foto: Rakai Hino)
Prasasti Widodaren (Foto: Rakai Hino)
Setiap ngobrol dengan teman, saya selalu mengatakan bahwa cinta itu sebenarnya tidak butuh pengorbanan karena cinta manusia yang bersih dan suci selalu bersemayam dalam teratai putih milik Sang Penguasa Alam, berbalut bunga kemesraan jiwa; memberikan ilham pada jiwa yang setia dan bersahaja. Begitu banyaknya di dunia ini orang pacaran dan menikah, namun hanya segelintir saja yang sesungguhnya diberi kesempatan mengalami cinta.

Bila diperhatikan dengan agak cermat, sebetulnya tidak benar jika pernikahan harus didasarkan atas tinggi rendahnya suatu status sosial/keturunan (kasta). Teori itu dibantah oleh prasasti Hantang dan Jaring. Weda pun tidak pernah menganjurkan semacam itu, karena keberadaannya bukan stratifikasi sosial melainkan sekadar tuntutan profesionalitas dalam bekerja (varna). Yajur Veda XXX. 5 mengungkapkan :

Brahmaṇe brāhmaṇam, ksatrāya

Rājanyam, marudbhyo vaiśyam,

tapase śudram.

Terjemahan :

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun