Salěmah kastari wěka cawěhha totohan dadiha kawula batur,
saputula mane samake muwah satebe
terjemahan :
Semua keengganan akan kekerasan menjadi nasihat untuk anak dari orang yang telah tiada karena yang menjadi taruhannya adalah menjadi hamba pelayan, yang mematahkan kecongkakan yang sama dengan menepuk diri sendiri pula.
Berdasarkan bukti-bukti tertulis di atas, nampak jelas bahwa pertengkaran di antara suami istri dalam sebuah rumah tangga sebenarnya tidak ada gunanya sama sekali, karena hal itu hanya akan membawa efek buruk bagi keduanya maupun orang sekitar (baca: anak dan masyarakat). Apabila sudah berkomitmen untuk melangkah ke jenjang pernikahan, hendanya ego masing-masing individu harus diturunkan (sumeleh). Namun pengendalian diri semacam itu tidaklah mudah jika tidak dibarengi dengan kesadaran. Hal ini ditekankan di dalam prasasti Damalung (1371 Ś/1449 M) berikut: … membebaskan diri dari semua hal yang dilarang sama sulitnya dengan berkata jujur. Jika ada yang berbuat demikian (baca: bertengkar) bagaikan puasa tanpa memiliki bekal untuk berbuka, ternak tanpa pakan, dan istri tujuh hajamatanpa membawa harta…
Bila diperhatikan dengan agak cermat, sebetulnya tidak benar jika pernikahan harus didasarkan atas tinggi rendahnya suatu status sosial/keturunan (kasta). Teori itu dibantah oleh prasasti Hantang dan Jaring. Weda pun tidak pernah menganjurkan semacam itu, karena keberadaannya bukan stratifikasi sosial melainkan sekadar tuntutan profesionalitas dalam bekerja (varna). Yajur Veda XXX. 5 mengungkapkan :
Brahmaṇe brāhmaṇam, ksatrāya
Rājanyam, marudbhyo vaiśyam,
tapase śudram.
Terjemahan :