Saya sebagai seorang muda masih belum sepenuhnya mengerti, kenapa hampir di setiap rumah tangga selalu ada pertengkaran. Tidak jarang, pertengkaran itu dapat berujung perpisahan yang menyakitkan. Padahal rumah tangga dipandang sakral dalam agama Hindu karena merupakan salah satu bagian dari tingkatan hidup yang harus dijalani oleh seseorang.
Saya belajar dari tradisi pernikahan ala Jawa yang sudah ada. Ketika kedua mempelai berhasil dipertemukan melalui prosesi panggih, selanjutnya diajak ke pelaminan oleh bapak dan ibu pengantin dengan cara digendong menggunakan kain sindur. Sesampainya di sana, keduanya dipangku oleh sang bapak dan terjadilah percakapan antara bapak dan ibu pengantin perempuan, yang intinya menyatakan kedua mempelai sudah “seimbang” dan siap menjalani kehidupan baru sebagai pasangan suami istri.
Sering sekali terdengar argumentasi yang menyatakan, kalau tidak ribut itu namanya bukan rumah tangga. Jika hal itu dibenarkan, lantas mengapa ada tingkatan Grehasta dalam Catur Asrama? Mengapa ada prosesi timbangan dalam pernikahan ala Jawa? Bukankah Rg Veda X. 85. 47 telah mengatakan bahwa semoga para dewata dan apah mempersatukan hati kami, suami istri?
Saya (dan mungkin kawan-kawan muda) sekarang sudah mulai kehabisan contoh figur teladan, bagaimana sebenarnya keluarga yang sukinah itu. Pada titik ini terasa ada “kekosongan” yang tak terduga. Ketika hal tersebut terjadi, maka kami pun memutuskan untuk back to Veda dan back to old Javanese traditions.
Manavadharmaśāstra menyatakan bahwa tujuan utama sebuah pernikahan itu adalah melaksanakan dharma (dharmasampatti). Agar dapat melaksanakan dharma di dalam pernikahan dan berumah tangga maka harus ada persiapan (jasmani dan rohani) yang mapan. Hal inilah alasannya mengapa agama Hindu menganggap pernikahan (gṛhastha) itu termasuk salah satu tingkatan hidup yang suci.
Berkaitan dengan hal dimaksud, kita dapat belajar dari perjalanan hidup seorang Mahatma Gandhi bersama Kasturbai, istrinya. Seringkali perbedaan pendapat di antara mereka sering menjadi begitu sengit, sehingga Kasturbai akhirnya menangis, yang hanya membuat Gandhi semakin jengkel. Namun, seiring tahun-tahun yang berlalu dan badai di antara mereka terus berlanjut, ia mulai menyadari derita seperti apa yang ia timbulkan kepada istrinya dengan sikap yang keras itu. Gandhi kemudian mengakui bahwa istrinyalah yang mengajarkan bagaimana cara mencintai yang benar.
Melalui teladan pribadinya, Kasturbai menunjukkan jalan bagaimana cara menghilangkan rasa marah dan persaingan yang mengikis pernikahan mereka. Bukan dengan cara saling membalas dan memperparah keadaan, melainkan dengan selalu mendukung Gandhi dan tetap berada di sisinya, sambil selalu berfokus pada kebaikan dalam diri Gandhi. Diam-diam, Kasturbai mendorongnya agar menjadi pria terhormat. Lambat laun, Gandhi mulai menyadari bahwa setiap hari istrinya telah mempraktikkan apa yang ia kagumi sebagai idealisme teoretis.
“Aku tidak punya apa-apa untuk diajarkan kepada dunia karena kebenaran dan nirkekerasan setua pegunungan. Cinta tidak pernah meminta, ia selalu memberi. Cinta selalu menderita, tidak pernah membenci, tidak pernah membalas dendam demi dirinya sendiri. Ya, keyakinanku akan membantuku menemukan kebenaran-kebenaran baru di setiap harinya,” ucap Gandhi dalam sebuah kesempatan.
***
Menengok ke sejumlah prasasti dari masa Jawa Kuna, kesucian pernikahan sangat diperhatikan oleh raja. Hal ini diketahui pada saat penetapan status sīma di suatu daerah. Status sīma diberikan oleh seorang raja atau pejabat tertentu sebagai anugerah, dimana penerima anugerah tersebut mendapat sejumlah keuntungan, di antaranya hak-hak yang biasanya hanya diperkenankan bagi raja. Prasasti Hantang (1057 Ś/1135 M) dan Jaring (1103 Ś/1181 M) menyebutkan bahwa seorang pejabat (raja) berhak memperistri dayang atau pelayan perempuan (marabya dayang).
Prasasti Gerba menyebutkan bahwa tulus-tuluslah bila berumah tangga seperti beratnya langit dengan bumi (kadi boting akasa lawan prtiwi), dan sebenarnya para leluhur tidak menghendaki adanya kekerasan di antara suami-istri karena hal itu dapat berbuah karmaphala, sebagaimana termaktub di dalam prasasti Widodaren :
Salěmah kastari wěka cawěhha totohan dadiha kawula batur,
saputula mane samake muwah satebe
terjemahan :
Semua keengganan akan kekerasan menjadi nasihat untuk anak dari orang yang telah tiada karena yang menjadi taruhannya adalah menjadi hamba pelayan, yang mematahkan kecongkakan yang sama dengan menepuk diri sendiri pula.
Berdasarkan bukti-bukti tertulis di atas, nampak jelas bahwa pertengkaran di antara suami istri dalam sebuah rumah tangga sebenarnya tidak ada gunanya sama sekali, karena hal itu hanya akan membawa efek buruk bagi keduanya maupun orang sekitar (baca: anak dan masyarakat). Apabila sudah berkomitmen untuk melangkah ke jenjang pernikahan, hendanya ego masing-masing individu harus diturunkan (sumeleh). Namun pengendalian diri semacam itu tidaklah mudah jika tidak dibarengi dengan kesadaran. Hal ini ditekankan di dalam prasasti Damalung (1371 Ś/1449 M) berikut: … membebaskan diri dari semua hal yang dilarang sama sulitnya dengan berkata jujur. Jika ada yang berbuat demikian (baca: bertengkar) bagaikan puasa tanpa memiliki bekal untuk berbuka, ternak tanpa pakan, dan istri tujuh hajamatanpa membawa harta…
Bila diperhatikan dengan agak cermat, sebetulnya tidak benar jika pernikahan harus didasarkan atas tinggi rendahnya suatu status sosial/keturunan (kasta). Teori itu dibantah oleh prasasti Hantang dan Jaring. Weda pun tidak pernah menganjurkan semacam itu, karena keberadaannya bukan stratifikasi sosial melainkan sekadar tuntutan profesionalitas dalam bekerja (varna). Yajur Veda XXX. 5 mengungkapkan :
Brahmaṇe brāhmaṇam, ksatrāya
Rājanyam, marudbhyo vaiśyam,
tapase śudram.
Terjemahan :
Ya, Tuhan Yang Maha Esa telah menciptakan brāhmaṇa untuk pengetahuan, para ksatrīa untuk perlindungan, para vaiṣya untuk perdagangan, dan para śudra untuk pekerjaan jasmaniah.
Sampai detik ini memang di beberapa daerah apabila akan melaksanakan pernikahan masih memperhitungkan keberadaan kasta dalam keluarganya, karena (mungkin saja) local geniusmereka dari dulu memang sudah seperti itu, dan tidak bisa dipungkiri begitu saja. Tetapi hal itu juga tidak bisa dikaitkan, apalagi diklaim secara serampangan bahwa aturan tersebut memang anjuran agama Hindu secara keseluruhan (Hindu Dharma di Indonesia dalam konteks kekinian).
Contoh kasusnya di Bali, pembagian kasta terlihat lebih jelas sejak masa pemerintahan Anak Wungsu (1049 M-1077 M). Sehingga timbul dua golongan besar dalam masyarakat, yaitu golongan catur kastadan kelompok kahulaatau kalula. Pembagian golongan semacam itu terlihat pada bagian kutukan (sapatha) prasasti Bila (995 Ś/1073 M).
Terlepas dari unsur otonomi sosial yang sudah sejak dulu dimiliki oleh kerajaan di Jawa maupun Bali, intinya pertengkaran antara suami dan istri di dalam keluarga sangat terlarang! Sebagai bagian akhir tulisan ini, ada nasihat dari prasasti Pasrujambe XIX yang patut direnungkan ketika sebuah keluarga/orangtua (guru rupaka) masih sering bertengkar hingga berujung pada perpisahan. Iki pangestu yang mami guru guru yen arabi den kadi boting akasa lawan pṛtiwi papa kabuktiha (restu dari dewa, kami para guru jika menikah agar menjadi seperti beratnya langit dengan bumi. Kemalangan akan terbukti bagi yang melanggar).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H