Mohon tunggu...
Humaniora

Penyakit Kelamin dan Persoalan Gender

5 September 2016   17:19 Diperbarui: 5 September 2016   17:25 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Judul Buku   : Penyakit Kelamin di Jawa 1812-1942

Penulis          : Gani A. Jaelani

Penerbit        : Syabas Books 

Cetakan        : I, 2013

Tebal             : xviii+154 hlm

ISBN              : 978-602-7813-06-9

Mendengar kata penyakit kelamin pasti membuat anda merinding, ngeri, takut, jijik, dan berbagai perasaan aneh lainnya. Penyakit kelamin memang menjadi momok bagi mereka yang gemar berpelesir. Bagi sebagian orang, penyakit ini adalah sebuah aib. Sebagian lagi beranggapan bahwa penyakit ini merupakan karma perilaku immoral. Nah, bagaimana sebenarnya penyakit kelamin bisa berkembang di Indonesia? 

Gani A. Jaelani melalui bukunya yang berjudul “Penyakit Kelamin di Jawa 1812-1942” menelusuri jejak-jejak penyebaran penyakit ini di Jawa. Menurut Jaelani, penyakit kelamin merupakan sebuah “hadiah” pertama yang diberikan oleh peradaban Barat kepada tanah koloninya. Penyebab merebaknya penyakit ini adalah kebutuhan seksual kaum lelaki Barat, khususnya Belanda yang tidak terkendali. Ketiadaan istri di tanah koloni membuat mereka gemar menggundik dan mencari pelacur pribumi. Oleh sebab itu, pemerintah memberlakukan peraturan tentang pelacuran pada tahun 1852.

Sayangnya, peraturan tersebut justru semakin menunjukkan bahwa persoalan penyakit kelamin tidak luput dari persoalan gender. Ya, perempuanlah yang selalu disalahkan atas mewabahnya penyakit ini. Perempuan dianggap sebagai penggoda iman kaum lelaki. Perempuan, khususnya perempuan pribumi mendapat stigma tidak bermoral. Mereka dianggap gemar berbuat asusila. Perempuan pribumi dipandang sebagai pengisi kehampaan hidup di tanah Hindia Belanda yang dianggap kurang beradab.

 Para lelaki ini hanya memandang perempuan pribumi sebagai pemuas nafsu semata. Jika mereka terinfeksi maka ini adalah salah kaum perempuan pribumi yang kotor. Perempuan pun dipandang sebagai sumber penyakit. Oleh sebab itu, penyakit ini juga dinamakan dengan penyakit perempuan. Ironisnya, kaum lelaki sering mengabaikan fakta bahwa merekalah yang justru menularkannya kepada kaum perempuan dan para pelacur (hlm. 132).

Ekspresi ini jelas timbul dari pandangan ketidaksetaraan gender antara laki-laki dan perempuan. Stigmatisasi penyakit ini kepada kaum perempuan sama saja dengan menjustifikasi bahwa semua perempuan itu tidak bermoral sehingga harus bertanggung jawab atas semua perilaku buruk dalam kehidupan. Sebaliknya, kaum laki-laki tidak pernah disalahkan sehingga orang terbiasa mengatakan penyakit ini sebagai penyakit perempuan (hlm. 136). Fakta bahwa jumlah perempuan yang terinfeksi lebih sedikit dibandingkan dengan kaum lelaki seringkali diabaikan.

Buku ini telah menunjukkan bahwa moralitas Barat ketika itu persifat paradoks. Mereka selalu mengangung-agungkan peradabannya lebih tinggi daripada peradaban Jawa, padahal kenyataan berkata lain. Moralitas Barat ternyata hanyalah sebuah wacana. Wacana yang dikonstruksi untuk meraih legitimasi dari kaum pribumi. Wacana yang memberi mereka hak untuk mengumbar syahwatnya kepada kaum pribumi, khususnya perempuan pribumi. Itulah wajah moralitas Barat sesungguhnya.

Sebagai sebuah buku yang menelusuri sisi-sisi lain dari era kolonial, Jaelani, seorang sejarawan Sunda, berhasil menelanjangi topeng moralitas Barat di tanah koloninya. Apalagi, buku ini kaya dengan arsip sezaman yang diinterpretasi secara cermat dan dirangkai dalam sebuah narasi yang enak dibaca. Buku ini pun disusun secara tematik sehingga memudahkan pembaca dalam menangkap makna pada setiap tulisan. Ia juga menggunakan beberapa media massa yang terbit sezaman sebagai sumber lokal.

Sayangnya, ia tidak banyak menggunakan karya sastra lokal yang mungkin saja memuat kasus-kasus atau penanganan penyakit sejenis. Malahan, ia tidak menggunakan sastra lokal semisal babad yang banyak tersimpan dalam perpustakaan keraton Jawa. Misalnya saja Babad Kartasura yang suatu kali mengisahkan seorang Dipati yang mengalami sakit pada alat kelaminnya akibat sering berganti perempuan rampasan perang. Selain itu, sumber lokal juga dapat digunakan untuk menguji tesisnya tentang asal usul penyakit ini di Jawa.

Cukup disayangkan juga buku ini tidak didukung foto, gambar, dan ilustrasi yang dapat membantu pembaca dalam berimajinasi. Buku ini juga kurang cocok dibaca oleh orang yang belum cukup umur. Namun, kelemahan-kelemahan yang dimiliki buku ini tidak mengurangi esensi utama yang ingin disampaikan penulisnya. Oleh sebab itu, buku ini sangat layak dibaca oleh kalangan akademisi dan masyarakat yang tertarik dengan tema-tema sejarah kesehatan.

Buku ini pun mampu membuka mata kita mengenai bahaya sebuah penyakit bagi sebuah bangsa dan diskriminasi yang ditimbulkannya. Buku ini juga dapat digunakan sebagai acuan para pengambil kebijakan terkait penanganan masalah pelacuran dan penyakit kelamin di era kekinian. Apalagi, masalah pelacuran menjadi masalah abadi yang tidak kunjung tuntas di negeri kita tercinta. Selain itu, karya ini menggugah kita untuk menjelajahi lebih lanjut belantara masalah sosial dan kesehatan yang terjadi di masa lalu. Sebuah belantara permasalahan yang menjadi kaca benggala untuk masa depan yang lebih baik. Selamat membaca.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun