Judul Buku : Penyakit Kelamin di Jawa 1812-1942
Penulis : Gani A. Jaelani
Penerbit : Syabas Books
Cetakan : I, 2013
Tebal : xviii+154 hlm
ISBN : 978-602-7813-06-9
Mendengar kata penyakit kelamin pasti membuat anda merinding, ngeri, takut, jijik, dan berbagai perasaan aneh lainnya. Penyakit kelamin memang menjadi momok bagi mereka yang gemar berpelesir. Bagi sebagian orang, penyakit ini adalah sebuah aib. Sebagian lagi beranggapan bahwa penyakit ini merupakan karma perilaku immoral. Nah, bagaimana sebenarnya penyakit kelamin bisa berkembang di Indonesia?
Gani A. Jaelani melalui bukunya yang berjudul “Penyakit Kelamin di Jawa 1812-1942” menelusuri jejak-jejak penyebaran penyakit ini di Jawa. Menurut Jaelani, penyakit kelamin merupakan sebuah “hadiah” pertama yang diberikan oleh peradaban Barat kepada tanah koloninya. Penyebab merebaknya penyakit ini adalah kebutuhan seksual kaum lelaki Barat, khususnya Belanda yang tidak terkendali. Ketiadaan istri di tanah koloni membuat mereka gemar menggundik dan mencari pelacur pribumi. Oleh sebab itu, pemerintah memberlakukan peraturan tentang pelacuran pada tahun 1852.
Sayangnya, peraturan tersebut justru semakin menunjukkan bahwa persoalan penyakit kelamin tidak luput dari persoalan gender. Ya, perempuanlah yang selalu disalahkan atas mewabahnya penyakit ini. Perempuan dianggap sebagai penggoda iman kaum lelaki. Perempuan, khususnya perempuan pribumi mendapat stigma tidak bermoral. Mereka dianggap gemar berbuat asusila. Perempuan pribumi dipandang sebagai pengisi kehampaan hidup di tanah Hindia Belanda yang dianggap kurang beradab.
Para lelaki ini hanya memandang perempuan pribumi sebagai pemuas nafsu semata. Jika mereka terinfeksi maka ini adalah salah kaum perempuan pribumi yang kotor. Perempuan pun dipandang sebagai sumber penyakit. Oleh sebab itu, penyakit ini juga dinamakan dengan penyakit perempuan. Ironisnya, kaum lelaki sering mengabaikan fakta bahwa merekalah yang justru menularkannya kepada kaum perempuan dan para pelacur (hlm. 132).
Ekspresi ini jelas timbul dari pandangan ketidaksetaraan gender antara laki-laki dan perempuan. Stigmatisasi penyakit ini kepada kaum perempuan sama saja dengan menjustifikasi bahwa semua perempuan itu tidak bermoral sehingga harus bertanggung jawab atas semua perilaku buruk dalam kehidupan. Sebaliknya, kaum laki-laki tidak pernah disalahkan sehingga orang terbiasa mengatakan penyakit ini sebagai penyakit perempuan (hlm. 136). Fakta bahwa jumlah perempuan yang terinfeksi lebih sedikit dibandingkan dengan kaum lelaki seringkali diabaikan.