Kontradiksi dari kasus tindakan politik ini sekarang melewati proses penyelesaian hukum. Saya masih menggeledah dari berita media massa dan media sosial. Ada dua hal serius yg saya temukan, dan ini menggambarkan tindakan politik lanjutan. Pertama, peneguhan (dgn aroma pemaksaan) loyalitas vertikal dari kader kepada pimpinan. Surat edaran, ceramah sampai instruksi untuk taat kepada pimpinan beredar luas. Bahkan ada seruan kepada kader untuk tidak berkomunikasi dengan Fahri. Kedua, pernyataan tim hukum PKS bahwa aturan organisasi partai tidak bisa diintervensi oleh hukum positif (negara). Ini soal serius dan sangat serius. Apakah pernyataan ini mengungkap pandangan asli PKS bahwa negara bukan supra-sistim dari organisasi PKS?
2. Menjauh dari KMP.
Di awal kepemimpinan baru PKS, secara mengejutkan ada pertemuan pimpinan PKS dgn presiden Jokowi. Belakangan diketahui bahwa hal itu tidak pernah dibicarakan di KMP. Juga ada pernyataan bahwa KMP tidak banyak memberi kebaikan bagi PKS. Tetapi ketika isu ini jadi perdebatan di media, pimpinan PKS tidak pernah tegas menjelaskan soal keluar dari KMP dan bergabung dengan Jokowi.
3. Pilkada DKI
Secara mengejutkan, PKS tidak mengajukan calon pada pilkada DKI 2017. Padahal pada dua pilkada sebelumnya, PKS menjadi pemain penting di DKI. Ketika mendukung pasangan  Anis Baswedan-Sandiaga Uno, pimpinan PKS menjelaskan bahwa hal tsb sebagai bentuk kebesaran jiwa PKS dan orientasi untuk memenangkan kepentingan ummat.
Sebagai pengamat saya masygul dengan argumen ini. Apakah ada "kebesaran jiwa" dalam kontentasi politik. Definisi klasik politik adalah "who gets what" - siapa dapat apa? Atau apakah calon kader PKS dibarter dengan sesuatu yg lain? Dan anehnya PKS mendukung calon yang non-partisan dengan meninggalkan calon kadernya. Lalu alasan kepentingan ummat, ini tidak masuk akal. Mestinya kalau ingin mementingkan ummat, PKS memaksa Gerindra untuk bergabung dgn partai2 lainnya. Atau sebaliknya. Kalau pun tidak bisa, maka logika sederhananya PKS harusnya bergabung dgn partai2 Islam lain semisal PPP, PKB dan PAN.
4. Rangkap Jabatan
Salah satu tradisi baru dan terobosan penting PKS (sebelumnya) adalah tidak rangkap jabatan. Namun hak berbeda ditunjukkan oleh pimpinan PKS sekarang. Sohibul sbg presiden partai tetap menjabat sbg anggota DPR RI. Saya tidak tahu apakah Sohibul menjalankan tugas kedewanannya dengan baik? Hadir rapat2, mengikuti pembahasan RUU, mengikuti kunjungan ke daerah dan juga reses ke daerah pemilihan? Rangkap jabatan ini pastinya atas restu dari Ketua Majelis Syuro.
Ketiga faktor (performance, pemikiran dan tindakan) dari aktor kepemimpinan PKS di atas jika dianalisis bisa memberi gambaran tentang PKS saat ini dan ke depan.
PERTAMA: Saya menilai bahwa PKS sedang melakukan proses antitesa dari bangunan tesis sebelumnya. Apakah dialektika itu akan menghasilkan sintesa baru yg established nantinya? Atau proses dialektika itu malah menjebak PKS dalam lubang kontradiksi yg dalam dan panjang?
KEDUA: Namun proses dialektika ini dimulai dan didorong oleh kondisi2 dengan tingkat obyektivitas rendah. Artinya tidak ditemukan polemik yg serius pada masa sebelumnya ttg bangunan performance, pemikiran dan tindakan dakwah serta politik PKS. Malah buku2 yg diterbitkan PKS sendiri menunjukkan penguatan basis konsepsi perjuangan dakwah dan politik PKS di level negara. Sebaliknya tingkat subyektivitas sangat tinggi mewarnai proses dialektika ini. Situasi ini bisa menggiring PKS terjebak ke dalam labirin "asal bukan".
KETIGA: Dinamika PKS justru terlihat berjalan ke arah menurun. Banyak sumber daya sbg energi positif dgn beragam capaian sebelumnya, dikesampingkan dan diganti dengan sesuatu yg masih dalam wujud norma. PKS juga mulai sepi dari pergaulan politik elit. Makin lemah resonansi medianya. Di basis sosial, performance baru yg puritan ala habib juga dikhawatirkan malah mengkerdilkan landskap akses dan dukungan sosialnya.
KEEMPAT: jika kontradiksi2 yg bermunculan tidak mampu dikelola dan diselesaikan, PKS akan tenggelam dalam turbulensi internal. Sementara pemilu 2019 hanya berjarak dua-setengah tahun lagi. Gaya kepemimpinan PKS, semisal Salim, Hidayat maupun Sohibul - belum tampil sebagai aktor solidarity maker, aktor mobilisator dan aktor net-worker yg sangat dibutuhkan oleh sebuah partai politik.
KELIMA: mencermati poin2 pemikiran PKS saat ini, sebagai pengamat saya khawatir bahwa PKS akan tergiring ke ruang fundamentalisme baru dengan dorongan puritanisasi organisasi. Kader2 PKS pegiat medsos misalnya sangat gencar perang propaganda bernuansa SARA dalam konteks Pilkada DKI. Mungkin Salim juga sedang menghadapi dilema. Karena kalangan habaib ada di front terdepan "memerangi" Ahok. Apakah PKS akan terjun ke arena tsb setelah menampilkan wajah puritannya?