Sebenarnya saya sangat sibuk dan hampir tak ada waktu buat kembali menulis di Kompasiana. Namun baru saja inbox email saya menunjukkan sebuah notifikasi sebuah email dari seorang kawan mengenai prahara di internal PKS. Setelah mendapat ijin dari yang bersangkutan untuk dipublikasikan segera saya posting di Kompasiana. Lebih lanjut dan selengkap silakan dibaca artikel dibawah ini....
#SavePKS
Menarik untuk mencermati perkembangan di tubuh PKS paska pergantian kepemimpinan. Di bawah pimpinan tertinggi Habib Dr Salim Segaf Al-Jufri, banyak mata mencoba menelisik apa, bagaimana dan kemana arah perjalanan PKS selanjutnya. Â
PKS secara organisasi menganut model kepemimpinan kolektif. Selain Ketua Majelis Syuro, di tingkat eksekutif ada Presiden DPP (Dr Mohamad Sohibul Iman) yg dibantu Sekjen dan jajaran pengurus berbagai bidang. Juga ada Ketua MPP (Suharna Surapranata) yang dibantu banyak tokoh senior. Juga ada Ketua DSP (Dr Surahman Hidayat) yg memimpin tokoh2 berlatar-belakang ilmu syariat.
Jika ditelisik latarbelakang dan sejarah tokoh2 pimpinan teras PKS, nampak sekali Dr Salim Segaf Al-Jufri menjadi tokoh sentral dan paling berpengaruh. Selain berlatarbelakang ilmu syariat dari universitas timur-tengah, sosok Salim juga tercatat sebagai salah seorang pendiri awal PKS - yang pertama kali muncul sbg parpol di tahun 1999, bernama Partai Keadilan. Salim juga pernah memimpin DSP PKS. Juga dilihat dari pengalaman jabatan publiknya, Salim pernah dipercaya sebagai Dubes RI untuk Saudi Arabia dan kemudian menjabat Menteri Sosial. Kedua posisi tsb didapat tatkala PKS berkoalisi dengan pemerintahan Presiden SBY. Secara personal, Salim juga secara usia jauh lebih tua dibanding jajaran pimpinan lainnya. Faktor2 ini menjadikan Salim sbg tokoh sentral dan sangat berpengaruh secara psiko-politik di lingkungan partai kader ini.
Jika kita menggunakan pendekatan Teori Aktor untuk membedah tema di atas, maka memetakan pemikiran, sikap dan langkah politik Salim menjadi penting untuk membaca PKS saat ini dan ke depan.
Tetapi sebelum itu, kita perlu memeta ulang potret PKS dan perjalanan sejarahnya di masa kepemimpinan sebelumnya. Awal berdiri, PK - saat itu yg kemudian berubah nama menjadi PKS - menisbatkan diri sebagai parpol Islam modern yg dimotori kaum muda perkotaan. Nurmahmudi Ismail - doktor lulusan Amerika Serikat - didaulat menjadi Presiden pertama. Dengan sekjen Anis Matta, yg sering dijuluki sekjen teh sosro: "siapapun presidennya, Anis Matta sekjennya", PKS makin meneguhkan genre dan posisinya sebagai partai Islam modern dan moderat. Sebagai representasi kalangan muda, Anis Matta meski berlatarpendidikan ilmu syariat, namun lebih menonjol pemikiran dan gaya kepemimpinannya sebagai metro-politician.
Berbagai studi dan riset ttg PKS, menunjukkan pemikiran, sikap dan langkah politik Anis Matta sebagai sekjen dari 4 (empat) presiden PKS, sangat dominan dalam mengarahkan eksistensi, kiprah, posisi dan brand-image PKS. Anis dikenal memiliki akseptabilitas di berbagai kalangan politisi, pebisnis, dan juga dunia internasional. Meski sepanjang kiprahnya, Anis Matta tunduk pada sang guru besar, Hilmi Aminuddin, tetapi ia mampu menterjemahkan dan juga memodifikasi konsepsi dakwah PKS di tataran politik keumatan dan kenegaraan.
Puncak prestasi kepemimpinan Anis Matta terjadi tatkala ia didaulat menggantikan Luthfi Hasan Ishaq menjadi Presiden PKS ke-5. Dengan kasus korupsi LHI, banyak kalangan memprediksi PKS sudah sampai di titik kemunduran bahkan kematiannya. Namun ajaibnya, PKS dalam Pemilu 2014 mampu bertahan dan bahkan meningkat sedikit jumlah popular vote-nya. Keberhasilan ini menunjukkan kualitas kepemimpinan Anis dalam membawa PKS keluar dari suasana tekanan dan demoralisasi yg luar biasa hebat. Partai Demokrat - sebagai pembanding - tidak mampu mempertahankan popular vote-nya pada Pemilu 2014, sebagai partai yg berkuasa selama 10 tahun.
Kepiawaian Anis Matta sebagai nahkoda baru PKS berlanjut pada peran kuat dan pentingnya dalam Koalisi Merah Putih. Meski tidak berhasil mengantarkan Prabowo sebagai presiden dalam Pilpres 2014, KMP menjadi kekuatan oposisi yg sangat solid dan diperhitungkan. Duduknya Fahri Hamzah sbg Wakil Ketua DPR dan Hidayat Nurwahid sbg Wakil Ketua MPR, tak lepas dari kepiawaian politik Anis Matta.
Catatan lain yg tak kalah penting adalah keberhasilan PKS di bawah pimpinan Anis Matta untuk memenangkan dua pertarungan pilkada yg sangat besar magnitude politiknya, yaitu pilgub Sumatera Utara dan pilgub Jawa Barat. Kedua pilkada tsb berlangsung di saat-saat kritis gempuran publik dan media thd kasus korupsi LHI, mantan presiden PKS.
Ketika Musyawarah Majelis Syura PKS dilaksanakan pada 2015, banyak orang meyakini Anis Matta akan lanjut menjabat Presiden PKS. Kalaupun ada pergantian, perkiraan banyak kalangan terjadi pada posisi Ketua Majelis Syuro. Hal ini dikarenakan sosok Hilmi Aminudin dipandang sudah terlalu lama menjabat posisi tsb, secara usia sudah sepuh dan berbagai pemberitaan negatif terkait abuse of power juga mewarnai kiprahnya sbg the god father of PKS.
Namun tanpa disangka - entah dinamika apa yg terjadi - Anis Matta tersingkir (banyak kalangan pengamat menyebutnya disingkirkan) dari jabatan tsb. Salim sbg Ketua Majelis Syuro - didampingi Hidayat sbg Wakil Ketua - memilih Mohamad Sohibul Iman sbg presiden baru PKS. Belakangan, Taufik Ridha pun mundur dari jabatan Sekjen digantikan Mustafa Kamal.
Bisik-bisik di kalangan wartawan yg sempat berdiskusi dgn saya mensinyalir bahwa Anis Matta menjadi "korban" lengsernya Hilmi Aminuddin. Sebelumnya dikabarkan bahwa antara Salim, Hidayat dan Anis sudah ada kesamaan pandangan tentang regenerasi kepemimpinan di tubuh PKS. Salim disepakati sebagai Ketua Majelis Syura, Hidayat menduduki pos Ketua MPP dan Anis Matta lanjut sbg Presiden PKS. Namun kesamaan - atau mungkin juga kesepakatan - antara ketiga tokoh tsb buyar begitu Hilmi Aminudin tersingkir dari posisi sucinya sbg ketua Majelis Syuro. Bisik-bisik di luaran menyebut bahwa Hilmi tidak rela Anis menjabat lagi sbg presiden. Hilmi mau menerima kekalahan dalam pemilihan di majelis syuro tetapi dgn memaksakan "orang-orang dekatnya" menduduki posisi strategis. Maka ditunjuklah Suharna dan Sohibul sebagai Ketua MPP dan Presiden DPP. Entah apa yg terjadi sehingga Salim dan Hidayat tidak mampu mempertahankan Anis Matta. Bahkan sepertinya Anis disingkirkan jauh-jauh dari PKS.
Fakta tersingkirnya Anis menjadi salah satu faktor analisis kepemimpinan PKS saat ini. Kembali dilihat dari teori aktor, yaitu pada bagaimana sosok Salim sbg tokoh sentral menyikapi keadaan yg ada di PKS.
Menurut saya ada dua penjelasan terhadap hal ini. Pertama, Salim - bersama Hidayat - sebagai pimpinan baru tidak mampu membangun positioning barunya di hadapan tokoh lama seperti Hilmi. Ewuh-pakewuh terhadap "senior" memang menjadi sub-kultur di PKS. Ini satu bentuk paradok pada organisasi modern. Namun hal ini bisa dibaca dari nilai-nilai tradisi pengkaderan ala PKS yg menekankan loyalitas vertikal. Jika benar, Salim dan juga Hidayat tidak mampu menolak tekanan Hilmi untuk mendudukkan orang-orang dekatnya dengan menyingkirkan Anis Matta, maka ini indikasi liabilitas kepemimpinan baru PKS. Artinya kepemimpinan baru tetap berjalan di bawah bayang-bayang aktor lama. Dualisme gaya kepemimpinan dan kebijakan organisasi menjadi terbuka lebar peluangnya.
Kedua, meski sebelumnya ada persamaan atau bahkan kesepakatan antara Salim, Hidayat dan Anis ttg regenerasi kepemimpinan PKS, tidak dipertahankannya Anis oleh Salim dan Hidayat didorong (juga) oleh perbedaan pandangan dan pemikiran ttg partai dakwah ini. Sangat mungkin pada tataran latennya, Salim dan Hidayat tidak sepenuhnya sejalan dgn Anis. Sehingga munculnya tekanan dari Hilmi dijadikan sebagai faktor koinsiden untuk mementahkan kesepakatan sebelumnya.
Nah, pada faktor ini akan menjadi penting dan menarik untuk melihat konsepsi apa yg akan ditampilkan oleh Salim - sebagai tokoh sentral baru - dalam mengarahkan perjalanan PKS ke depan.
Hal lain sebagai implikasi dari proses yg sudah berlangsung, muncul pertanyaan krusial. Bagaimana Salim mengelola dinamika internal PKS di tengah berbagai kontradiksi. Yg saya maksud dgn kontradiksi di sini adalah situasi2 yg bertidak-kesesuaian antara kemauan dan realitas yg pada gilirannya menciptakan ketegangan dan konflik. Misalnya kontradiksi antara Salim sbg tokoh sentral baru dgn "pengaruh" Hilmi sbg tokoh sentral lama. Lalu kontradiksi akibat dari penyingkiran Anis - yg diyakini banyak memiliki pendukung. Belum lagi jika Salim mengambil langkah politik lanjutan untuk "membersihkan" barisan pendukung Anis. Juga kontradiksi lingkungan politik yg "terputus" dari yg semula dibangun Anis dgn desain lingkungan baru yg akan dibangun Salim. Lalu kontradiksi antara lembaga Majelis Syuro, DPP, MPP dan DSP yg dikomandani aktor beragam "aliran".
Melakukan pemetaan dgn menggeledah semua faktor dan pertanyaan di atas, menjadi permasalahan untuk menemukan potret PKS saat ini dan ke depan. Saya akan tetap menggunakan pendekatan teori aktor, dengan deskripsi yg ilmiah populer saja.
A. Performance Aktor
Brand image suatu organisasi juga dibangun dan dilihat dari performace aktor sentralnya. Jika diikuti perjalanannya, seringkali Salim - secara sadar - menampilkan sosok kepemimpinan relijiusnya sebagai "habib". Berkostum jubah panjang, sorban hijau, berjenggot lebat dan lengkap dengan kain sarung. Penampilan ini secara konsisten dilakukan dalam kegiatan di dalam dan di luar lingkungan partai. Penampilan baru ini mengundang kontradiksi baru terhadap brand-image PKS sbg partai modern yg dimotori orang muda perkotaan. Bahkan ada semacam tradisi baru yg dikenalkan oleh Salim. Misalnya ziyarah kubur, maulid, dan haul.
Menarik untuk dianalisis, apakah penampilan baru ini didorong oleh personal interest atau social interest. Maksudnya, apakah karena Salim berlatarbelakang habib atau ini sbg respon thd fenomena menguatnya peran dakwah para habaib di banyak daerah. Namun irisan keduanya sangat mungkin menggiring PKS menumbuhkan kultur arabisme (baca: hadhromi).
B. Pemikiran Aktor
Membaca arah organisasi secara sahih melalui bacaan pemikirannya. Saya mengikuti banyak ceramah2 Salim sbg Ketua Majelis Syuro di hadapan kader yg tersebar luas di media sosial.
Ada banyak poin penting yg mendeferensiasi PKS dulu dan sekarang. Beberapa poin pemikiran yg coba saya petakan antara lain;
1. PKS harus menjadikan dakwah sebagai panglima.
Pemikiran ini nampak jelas sbg antitesa dari persepsi Salim ttg realitas perjalanan PKS yg dinilainya terlalu didominasi oleh politik. Pemikiran ini sejak awal menampakkan kontradiksinya bila dihadapkan dgn banyak pemikiran PKS yg sudah dibukukan. Misalnya politik adalah bagian inheren dan integral dari dakwah. Tahapan perjuangan dakwah PKS sudah memasuki tahapan perjuangan politik. Lalu prinsip partisipasi (istilah PKS sbg musyarakah) politik masuk dan menyatukan diri dengan negara. Juga keterlibatan langsung PKS dalam semua pemilu legislatif, pilpres, pilkada dan di beberapa tempat saya melihat PKS ikut kontestasi pemilihan kepala desa. Muncul pertanyaan, apakah pemikiran antitesa ini sbg reorientasi PKS atau manajemen baru aktivitas dakwah dan politik PKS?
2. Perjuangan politik bukan berorientasi kepada kemenangan tetapi keberkahan.
Dalam salah satu buku terbitan PKS, saya menemukan salah satu prinsip dalam kontestasi politik yg dijalankan PKS, yaitu: memunculkan/mendukung calon yg paling besar peluang kemenangannya. Apakah ini reorientasi baru perjuangan politik PKS atau denial (penolakan) PKS thd praktek politik demokrasi yg dinilai tidak puritan?
3. Menghindari pembiayaan dakwah dan politik dari pengusaha.
Pemikiran ini cukup berulang saya temukan. Nampaknya pemikiran ini sbg respon thd kasus korupsi yg melibatkan beberapa tokoh PKS. Dalam praktek, politik dan ekonomi adalah dua sisi dari koin. Tak bisa dipisahkan. Pemikiran baru ini apakah reorientasi PKS untuk menciptakan sumber2 finansial baru dari internal partai? Membersihkan politik dari komitmen dan transaksi - yg mungkin masih bisa tergolong legal? Tapi anehnya Salim masih berkantor di gedung yg - kabarnya - didanai pembangunannya oleh pengusaha. Di sejumlah pilkada, PKS juga mendukung calon dari kalangan pengusaha.
Luas diketahui bahwa PKS memiliki jaringan lembaga zakat yg menghimpun dana dari masyarakat, termasuk pengusaha. Sangat mungkin PKS memanfaatkan sebagian dana ini untuk kepentingan partainya. Apakah ini bukan praktek membiayai partai melalui dana pengusaha?
4. PKS - melalui pernyataan presiden Sohibul - mengusulkan sistem pemilu legislatif proporsional tertutup (berdasarkan nomor urut).
Sistem yg dipraktekkan Orde Baru ini telah direformasi sesuai dengan prinsip demokrasi yg terbuka. Sistem proporsional terbuka - meski berbiaya tinggi - telah meningkatkan tingkat representasi, dan memaksa wakil rakyat terjun aktif ke grass-root. Apakah PKS ingin memutar balik jarum sejarah? Atau ini sbg indikasi ketidakmampuan dan ketidaktahanan PKS dalam menghadapi kompetisi secara terbuka? Memang jika dikaitkan dengan pemikiran poin 1, 2 dan 3 maka bisa dipastikan kapasitas dan kapabilitas PKS dalam kompetisi terbuka akan melemah.
Ada beberapa poin pemikiran baru lainnya yg bisa kita identifikasi dan analisis. Tapi saya cukup mengambil empat poin di atas.
C. Tindakan Politik
Performance dan pemikiran aktor akan dimanifestasikan ke dalam tindakan. Jika di awal saya menyiratkan hipotesis kontradiksi yg (mungkin) terjadi, bagaimanakah tindakan politik PKS saat ini?
1. Pemecatan Fahri Hamzah.
Kasus ini menarik karena ia bisa membawa kita menemukan satu potret penting. Pemecatan yg diawali oleh permintaan mundur dari posisi wakil ketua DPR, dilakukan oleh Salim melalui komunikasi personal dgn Fahri. Kalau pun ada mekanisme organisasi, nampak sekali proses mekanistik tsb dipersiapkan kemudian dan secara "serampangan".
Kasus ini menjelaskan bagaimana Salim menampilkan performance sbg aktor sentral dgn cara personal non-organisatoris untuk memutuskan kebijakan organisasi. Lalu keputusan tsb terhadap sosok yg "dipandang berbeda" secara pemikiran. Jika ditarik ke atas, maka ditemukan indikasi bahwa Salim terus ditekan oleh kekuatan aktor lama. Ketika menghadapi resistensi, maka Salim menggunakan power organisasi - yg celakanya baru diatur kemudian.
Kontradiksi dari kasus tindakan politik ini sekarang melewati proses penyelesaian hukum. Saya masih menggeledah dari berita media massa dan media sosial. Ada dua hal serius yg saya temukan, dan ini menggambarkan tindakan politik lanjutan. Pertama, peneguhan (dgn aroma pemaksaan) loyalitas vertikal dari kader kepada pimpinan. Surat edaran, ceramah sampai instruksi untuk taat kepada pimpinan beredar luas. Bahkan ada seruan kepada kader untuk tidak berkomunikasi dengan Fahri. Kedua, pernyataan tim hukum PKS bahwa aturan organisasi partai tidak bisa diintervensi oleh hukum positif (negara). Ini soal serius dan sangat serius. Apakah pernyataan ini mengungkap pandangan asli PKS bahwa negara bukan supra-sistim dari organisasi PKS?
2. Menjauh dari KMP.
Di awal kepemimpinan baru PKS, secara mengejutkan ada pertemuan pimpinan PKS dgn presiden Jokowi. Belakangan diketahui bahwa hal itu tidak pernah dibicarakan di KMP. Juga ada pernyataan bahwa KMP tidak banyak memberi kebaikan bagi PKS. Tetapi ketika isu ini jadi perdebatan di media, pimpinan PKS tidak pernah tegas menjelaskan soal keluar dari KMP dan bergabung dengan Jokowi.
3. Pilkada DKI
Secara mengejutkan, PKS tidak mengajukan calon pada pilkada DKI 2017. Padahal pada dua pilkada sebelumnya, PKS menjadi pemain penting di DKI. Ketika mendukung pasangan  Anis Baswedan-Sandiaga Uno, pimpinan PKS menjelaskan bahwa hal tsb sebagai bentuk kebesaran jiwa PKS dan orientasi untuk memenangkan kepentingan ummat.
Sebagai pengamat saya masygul dengan argumen ini. Apakah ada "kebesaran jiwa" dalam kontentasi politik. Definisi klasik politik adalah "who gets what" - siapa dapat apa? Atau apakah calon kader PKS dibarter dengan sesuatu yg lain? Dan anehnya PKS mendukung calon yang non-partisan dengan meninggalkan calon kadernya. Lalu alasan kepentingan ummat, ini tidak masuk akal. Mestinya kalau ingin mementingkan ummat, PKS memaksa Gerindra untuk bergabung dgn partai2 lainnya. Atau sebaliknya. Kalau pun tidak bisa, maka logika sederhananya PKS harusnya bergabung dgn partai2 Islam lain semisal PPP, PKB dan PAN.
4. Rangkap Jabatan
Salah satu tradisi baru dan terobosan penting PKS (sebelumnya) adalah tidak rangkap jabatan. Namun hak berbeda ditunjukkan oleh pimpinan PKS sekarang. Sohibul sbg presiden partai tetap menjabat sbg anggota DPR RI. Saya tidak tahu apakah Sohibul menjalankan tugas kedewanannya dengan baik? Hadir rapat2, mengikuti pembahasan RUU, mengikuti kunjungan ke daerah dan juga reses ke daerah pemilihan? Rangkap jabatan ini pastinya atas restu dari Ketua Majelis Syuro.
Ketiga faktor (performance, pemikiran dan tindakan) dari aktor kepemimpinan PKS di atas jika dianalisis bisa memberi gambaran tentang PKS saat ini dan ke depan.
PERTAMA: Saya menilai bahwa PKS sedang melakukan proses antitesa dari bangunan tesis sebelumnya. Apakah dialektika itu akan menghasilkan sintesa baru yg established nantinya? Atau proses dialektika itu malah menjebak PKS dalam lubang kontradiksi yg dalam dan panjang?
KEDUA: Namun proses dialektika ini dimulai dan didorong oleh kondisi2 dengan tingkat obyektivitas rendah. Artinya tidak ditemukan polemik yg serius pada masa sebelumnya ttg bangunan performance, pemikiran dan tindakan dakwah serta politik PKS. Malah buku2 yg diterbitkan PKS sendiri menunjukkan penguatan basis konsepsi perjuangan dakwah dan politik PKS di level negara. Sebaliknya tingkat subyektivitas sangat tinggi mewarnai proses dialektika ini. Situasi ini bisa menggiring PKS terjebak ke dalam labirin "asal bukan".
KETIGA: Dinamika PKS justru terlihat berjalan ke arah menurun. Banyak sumber daya sbg energi positif dgn beragam capaian sebelumnya, dikesampingkan dan diganti dengan sesuatu yg masih dalam wujud norma. PKS juga mulai sepi dari pergaulan politik elit. Makin lemah resonansi medianya. Di basis sosial, performance baru yg puritan ala habib juga dikhawatirkan malah mengkerdilkan landskap akses dan dukungan sosialnya.
KEEMPAT: jika kontradiksi2 yg bermunculan tidak mampu dikelola dan diselesaikan, PKS akan tenggelam dalam turbulensi internal. Sementara pemilu 2019 hanya berjarak dua-setengah tahun lagi. Gaya kepemimpinan PKS, semisal Salim, Hidayat maupun Sohibul - belum tampil sebagai aktor solidarity maker, aktor mobilisator dan aktor net-worker yg sangat dibutuhkan oleh sebuah partai politik.
KELIMA: mencermati poin2 pemikiran PKS saat ini, sebagai pengamat saya khawatir bahwa PKS akan tergiring ke ruang fundamentalisme baru dengan dorongan puritanisasi organisasi. Kader2 PKS pegiat medsos misalnya sangat gencar perang propaganda bernuansa SARA dalam konteks Pilkada DKI. Mungkin Salim juga sedang menghadapi dilema. Karena kalangan habaib ada di front terdepan "memerangi" Ahok. Apakah PKS akan terjun ke arena tsb setelah menampilkan wajah puritannya?
Akhirnya tulisan ini hanya melihat dan menganalisis dari luar dengan data dan fakta yg ada di dalan PKS. Di era informasi yg terbuka, semua fakta dan data itu berserak di berbagai sumber dan media. Menutup ini saya hanya punya saran: PKS harus segera menyelamatkan diri atau PKS harus segera diselamatkan.
Jogja, medio Oktober 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H