Ketika Musyawarah Majelis Syura PKS dilaksanakan pada 2015, banyak orang meyakini Anis Matta akan lanjut menjabat Presiden PKS. Kalaupun ada pergantian, perkiraan banyak kalangan terjadi pada posisi Ketua Majelis Syuro. Hal ini dikarenakan sosok Hilmi Aminudin dipandang sudah terlalu lama menjabat posisi tsb, secara usia sudah sepuh dan berbagai pemberitaan negatif terkait abuse of power juga mewarnai kiprahnya sbg the god father of PKS.
Namun tanpa disangka - entah dinamika apa yg terjadi - Anis Matta tersingkir (banyak kalangan pengamat menyebutnya disingkirkan) dari jabatan tsb. Salim sbg Ketua Majelis Syuro - didampingi Hidayat sbg Wakil Ketua - memilih Mohamad Sohibul Iman sbg presiden baru PKS. Belakangan, Taufik Ridha pun mundur dari jabatan Sekjen digantikan Mustafa Kamal.
Bisik-bisik di kalangan wartawan yg sempat berdiskusi dgn saya mensinyalir bahwa Anis Matta menjadi "korban" lengsernya Hilmi Aminuddin. Sebelumnya dikabarkan bahwa antara Salim, Hidayat dan Anis sudah ada kesamaan pandangan tentang regenerasi kepemimpinan di tubuh PKS. Salim disepakati sebagai Ketua Majelis Syura, Hidayat menduduki pos Ketua MPP dan Anis Matta lanjut sbg Presiden PKS. Namun kesamaan - atau mungkin juga kesepakatan - antara ketiga tokoh tsb buyar begitu Hilmi Aminudin tersingkir dari posisi sucinya sbg ketua Majelis Syuro. Bisik-bisik di luaran menyebut bahwa Hilmi tidak rela Anis menjabat lagi sbg presiden. Hilmi mau menerima kekalahan dalam pemilihan di majelis syuro tetapi dgn memaksakan "orang-orang dekatnya" menduduki posisi strategis. Maka ditunjuklah Suharna dan Sohibul sebagai Ketua MPP dan Presiden DPP. Entah apa yg terjadi sehingga Salim dan Hidayat tidak mampu mempertahankan Anis Matta. Bahkan sepertinya Anis disingkirkan jauh-jauh dari PKS.
Fakta tersingkirnya Anis menjadi salah satu faktor analisis kepemimpinan PKS saat ini. Kembali dilihat dari teori aktor, yaitu pada bagaimana sosok Salim sbg tokoh sentral menyikapi keadaan yg ada di PKS.
Menurut saya ada dua penjelasan terhadap hal ini. Pertama, Salim - bersama Hidayat - sebagai pimpinan baru tidak mampu membangun positioning barunya di hadapan tokoh lama seperti Hilmi. Ewuh-pakewuh terhadap "senior" memang menjadi sub-kultur di PKS. Ini satu bentuk paradok pada organisasi modern. Namun hal ini bisa dibaca dari nilai-nilai tradisi pengkaderan ala PKS yg menekankan loyalitas vertikal. Jika benar, Salim dan juga Hidayat tidak mampu menolak tekanan Hilmi untuk mendudukkan orang-orang dekatnya dengan menyingkirkan Anis Matta, maka ini indikasi liabilitas kepemimpinan baru PKS. Artinya kepemimpinan baru tetap berjalan di bawah bayang-bayang aktor lama. Dualisme gaya kepemimpinan dan kebijakan organisasi menjadi terbuka lebar peluangnya.
Kedua, meski sebelumnya ada persamaan atau bahkan kesepakatan antara Salim, Hidayat dan Anis ttg regenerasi kepemimpinan PKS, tidak dipertahankannya Anis oleh Salim dan Hidayat didorong (juga) oleh perbedaan pandangan dan pemikiran ttg partai dakwah ini. Sangat mungkin pada tataran latennya, Salim dan Hidayat tidak sepenuhnya sejalan dgn Anis. Sehingga munculnya tekanan dari Hilmi dijadikan sebagai faktor koinsiden untuk mementahkan kesepakatan sebelumnya.
Nah, pada faktor ini akan menjadi penting dan menarik untuk melihat konsepsi apa yg akan ditampilkan oleh Salim - sebagai tokoh sentral baru - dalam mengarahkan perjalanan PKS ke depan.
Hal lain sebagai implikasi dari proses yg sudah berlangsung, muncul pertanyaan krusial. Bagaimana Salim mengelola dinamika internal PKS di tengah berbagai kontradiksi. Yg saya maksud dgn kontradiksi di sini adalah situasi2 yg bertidak-kesesuaian antara kemauan dan realitas yg pada gilirannya menciptakan ketegangan dan konflik. Misalnya kontradiksi antara Salim sbg tokoh sentral baru dgn "pengaruh" Hilmi sbg tokoh sentral lama. Lalu kontradiksi akibat dari penyingkiran Anis - yg diyakini banyak memiliki pendukung. Belum lagi jika Salim mengambil langkah politik lanjutan untuk "membersihkan" barisan pendukung Anis. Juga kontradiksi lingkungan politik yg "terputus" dari yg semula dibangun Anis dgn desain lingkungan baru yg akan dibangun Salim. Lalu kontradiksi antara lembaga Majelis Syuro, DPP, MPP dan DSP yg dikomandani aktor beragam "aliran".
Melakukan pemetaan dgn menggeledah semua faktor dan pertanyaan di atas, menjadi permasalahan untuk menemukan potret PKS saat ini dan ke depan. Saya akan tetap menggunakan pendekatan teori aktor, dengan deskripsi yg ilmiah populer saja.
A. Performance Aktor
Brand image suatu organisasi juga dibangun dan dilihat dari performace aktor sentralnya. Jika diikuti perjalanannya, seringkali Salim - secara sadar - menampilkan sosok kepemimpinan relijiusnya sebagai "habib". Berkostum jubah panjang, sorban hijau, berjenggot lebat dan lengkap dengan kain sarung. Penampilan ini secara konsisten dilakukan dalam kegiatan di dalam dan di luar lingkungan partai. Penampilan baru ini mengundang kontradiksi baru terhadap brand-image PKS sbg partai modern yg dimotori orang muda perkotaan. Bahkan ada semacam tradisi baru yg dikenalkan oleh Salim. Misalnya ziyarah kubur, maulid, dan haul.
Menarik untuk dianalisis, apakah penampilan baru ini didorong oleh personal interest atau social interest. Maksudnya, apakah karena Salim berlatarbelakang habib atau ini sbg respon thd fenomena menguatnya peran dakwah para habaib di banyak daerah. Namun irisan keduanya sangat mungkin menggiring PKS menumbuhkan kultur arabisme (baca: hadhromi).