Ketika rindu tumbuh tanpa akar,
Hampa rumah, sepi jiwa yang lapar.
Kehangatan cinta seperti bayang-bayang,
Datang tak pernah, hilang tak berbilang.
Aku kecil, menunggu di pintu yang sunyi,
Bayang-bayang mereka hanya ilusi.
Langit malam berbisik janji,
Namun pagi mengubur harapan ini.
Tak ada tangan yang mendekapku erat,
Hanya dingin yang jadi teman terhebat.
Apa arti tawa, jika itu semu?
Apa arti cinta, jika tak pernah kutemu?
Setiap cerita tentang keluarga,
Laksana belati mengoyak dada.
Mengapa mereka punya pelangi?
Sementara aku tenggelam dalam sunyi?
Amarahku bangkit, bukan karena benci,
Tapi iri pada takdir yang melukai.
Aku bertanya pada takdir yang bisu,
Seindah apa hari esok, hingga bebanku sebegitu?
Namun kini, biarlah semua terjadi,
Biar waktu melarutkan pedih yang abadi.
Di sini, dalam sunyi yang selalu menemani,
Biar ku tuangkan lara hati ini.
Kalam Awam
Yogyakarta, 06 Desember 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H