"Bunda. Maya berangkat dulu" ucap Maya sembari mengecup kening ibunya. Beliau mengangguk lemah.
Maya berdiri di bawah rintik hujan di sana. Basahi tubuh jenjangnya. Telingkupi balutan minimnya yang makin menggigil. Ia kudu dapat banyak uang malam ini. Uang kuliah, biaya berobat ibu, uang kontrakan rumah, tunggakan lintah darat, dan bla bla bla yang selalu membikin Maya sinting. "Aaarrgghhh..." Maya nyaris gendeng.
"Hi nona..." ujar seorang pria menghampiri. Maya tersenyum semanis mungkin. "Iya bang..." "Lo perek ya?" Meya terdiam. Perek? Ya. Aku pelacur. Perek. Dongdot. Pecun. Wanita murahan. Jiwa Maya menangis. "Goyangan lo enak gak?" "Bisa dicoba bang..." "Kuat berapa ronde?" Pria itu terlalu banyak bertanya. Dari jauh, seorang lelaki berbadan gempal memperhatikan mereka. "Bang. Kalo gak mau sewa saya, mending cepet pergi. Nanti saya kena marah Boss" "Boss? Mucikari maksudmu?" Lalu lelaki berbadan gempal itu sinis menghampiri. Si mucikari senewen lihat mereka. "Cih. Sombong amat lo. Dasar sundel" sungut pria itu hendak berlalu pergi. Dan edannya, dia sempat ngeraba-ngeraba keras dada Maya. Lantas? Bukkk. Pria itu sempoyongan. Satu pukulan mengena telak di tengkuknya. "Goblok. Bayar. Maen selonong boy aja lo udah pegang-pegang toket cewek gue" sembur si mucikari. "Dan lo..." teriaknya ke Maya. Plakkk. Satu tamparan keras mampir di wajahnya yang ayu. Maya meringis. "Kalo mau ngobrol, sama emak lo aja di rumah. Ini tempat gawe. Gue cincang juga lo"
# # #
Siang ini, di kampus lumayan sepi. Mungkin orang-orangnya lagi sibuk dandan. Mau valentinan nanti malam. Kudu tampil se-oke mungkin biar pasangannya tambah kesengsem. Atau yang masih jomblo, moga-moga aja dapat pasangan, seenggaknya untuk malam ini saja. Di lorong satu fakultas, seorang mahasiswi terduduk lesu.
"Kenapa lo May? Ngelamun mulu" tanya seorang cowok. "Nggak Nda. Lagi mumet aja" jawab Maya. "Nih. Pake duit gue dulu aja" ujar si cowok sambil ngasih amplop putih. Isinya duit. "Apaan nih?" "Barusan aku denger. Kalo kamu gak bisa ikut ujian semester karena belom bayar uang kuliah. Pake aja duit itu dulu" "Nggak ah. Makasih Nda" Maya berdiri dan hendak beranjak pergi. Lalu tangannya cepat-cepat dipegang cowok itu. "Anggap aja ini pinjaman. Nanti kamu ganti kalo kamu udah punya uang. Inget May, yang penting kamu bisa ikut ujian dulu"
Maya tak menjawab. Ia menatap lekat wajah Andara. Cowok ganteng blesteran itu memang sahabat dekatnya. Meski ia anak orang kaya, tapi hidupnya sederhana banget. Maya suka cowok yang satu ini.
"Makasih Nda..." singkat Maya. "May. Aku sayang kamu..." Entah sudah kali keberapa Andara mengucap Love sama Maya. Tapi Mayanya cuek-cuek terus. "Makasih Nda..." jawab Maya. Ia tersenyum manis. Lalu segera berlari ke loket pembayaran.
# # #
Pagi hampir menyapa bumi. Langit yang masih hitam dan sisa hujan semalaman menelikung ufuk timur yang sebentar saja akan memerah. Tapi sampai saat itu, belum ada satupun hidung belang yang meninabobokan dirinya dengan tembang yang disuarakan balutan minim tubuh indah Maya.
Maya, mungkin tidak terlalu cantik. Namun wajahnya yang klasik, selalu bikin adem mata yang memandangnya. Bikin geregetan. Selalu ngangenin. Badannya juga bagus. Tinggi semampai dengan rambut panjang rada-rada ikal yang legamnya sehalus satin. Maya itu tipe cewek yang gak ngebosenin. Tapi? Maya mendengus kesal. Malam ini dia gak laku. Meski sekedar 'layanan kilat'.
"May. Aku dan Susi balik duluan ya. Sepi nih" ujar Diana. "Lha. Lo gak takut kena damprat Bang Joy?" Maya celingukan mencari si mucikari gempal yang nongkrongnya gak jauh dari tempat mangkal mereka.
"Hei. Jangan banyak ngerokok. Sakitmu nambah parah nantinya" teriak Diana.
Maya matikan rokok terakhirnya. Ia rogoh dompetnya. Isinya cuma lembar duit lima ribuan yang lecek. Ia menatap ke atas, matanya yang bulat titikan juta sendu. Maya tengah menghitung kepedihan. Tak ada dalam benak Maya sebelum ini, jika ia mesti cari makan lewat kerjaan yang kata orang sampah, kotor, najis, nista.
"Aaarrrghhhh...." Maya teriak sekeras-kerasnya. Toh, jalanan yang basah itu kini nyaris seperti kuburan. Sepi. Orang-orang memilih tengkurep ngelingker di bawah selimutnya.
"Tapi aku adalah selimut yang terhangat" gumamnya hampir putus asa. Ia pun menyerah sebelum sebuah motor besar berhenti di depannya. Maya tersenyum. Hatinya sedikit lega.
"Ikutlah denganku" ajak pria di balik helm tertutupnya. "Kita mau ke hotel mana mas?" "Kau lihat saja nanti. Naiklah" Lantas Maya menaiki jok belakang motor. Mereka berjalan menebus kegamangan fajar, menyusuri kejora yang kerlap-kerlip dan hilang di telan keheningan jalan.
###
"Sudah berapa lama kamu kerja di sana?" Maya menangis. Ia bulirkan guratan pedihnya yang tercampur perasaan yang sangat malu. Di sampingnya, terduduk Andara. Ia lah pria bermotor yang tadi membawanya. Kini, mereka berada di sebuah kafe tak terlalu jauh dari sana.
"Aku..." "May. Kamu tau kan kerjaan kayak gitu gak baik? Kamu tau kan resiko yang nanti kamu dapat?" "Iya Nda..." "Lantas? Kenapa kamu ngelakuin ini?" Maya menghela nafasnya panjang. Pertanyaan yang tak perlu dijawab sebenarnya. Semua orang juga tahu. "Nda. Kamu enak. Anak orang kaya. Sementara aku? Untuk makan saja susah. Ayahku udah gak ada. Ibu sering sakit-sakitan. Kuliahku keteteran karena gak ada biaya" "May. Sebelumnya kamu bisa bicara dulu sama aku" "Nda. Hutangku masih banyak sama mucikariku. Aku gak bisa lari gitu aja dari sana" "Berapa banyak?" "Lima juta..." ucap Maya lirih. Lagi-lagi ia menangis. Andara menatap wajah gadis yang selama ini ia cinta. Ia seka sisa tangis di sudut pelupuk Maya. Sebenarnya, Maya pun cinta cowok satu itu. Tapi dengan keadaannya, ia gak bisa labuhkan dirinya yang kotor. Cowok itu terlalu sempurna untuk Maya.
"Kamu tau dari mana aku kerja di sana?" tanya Maya kemudian. "May. Tiap malam aku menelponmu. Tapi tak pernah kamu angkat sekalipun. Lalu tadi, sengaja aku ke rumahmu. Ibumu bilang, kamu kerja. Lalu ada seorang yang bilang kamu kerja di sana..."
Lalu? "Heh bangsat. Ngapain lo enak-enakan di sini" umpat seseorang pria. Ia jambak keras rambut Maya. Gadis itu menjerit kesakitan. Pria itu Bang Joy, si mucikari. Rupanya tadi Susi men-servicenya di kafe ini. Sontak Andara berdiri. Ia emosi dan langsung meloncat ke arah si mucikari.
"Anjing. Lepasin tangan kotor lo" teriaknya. "Heh. Lo siapa? Oh. Jadi lo yang bawa dia ke sini. Bayar dulu kampret"
Dan? Bukkk. Satu pukulan telak di wajah si mucikari. Ia terhunyung sedikit. Namun Andara tak beri ia ampun. Sebentar saja, pukulan kedua mendarat di ulu hati si mucikari.
"Huekkk...." pekiknya. Ia sempoyongan dan menabrak meja. Pengunjung kafe lain cuma bisa menonton. Ada yang berusaha melerai, namun banyaknya diem. Andara mengambil dompet, lalu ia lemparkan lembaran banyak uang ratusan ribu.
"Gue kira, itu lebih dari cukup untuk membayar semua hutang Maya" ucapnya. "Dan jangan sekali lagi lo macem-macem sama dia. Sekarang dia bebas" Si mucikari terkekeh. Dalam ringisnya ia pungut lembaran duit itu. Andara menghampiri Maya.
"May. Kamu gak apa-apa?" "Nggak Nda. Aku..." Lalu Maya memeluk erat tubuh Andara. Ia kembali menangis sejadi-jadinya. Andara mengusap lembut dengan segala rasa cintanya. "May. Met Valentine. Aku selalu sayang kamu" Andara mengecup kening Maya. Namun Maya cuma berdiam. Tatapnya kosong. Tak lama tubuh Maya jadi makin berat dan hendak terjatuh. Ia gak sadarkan diri. "Mayaa..."
# # #
"Ayah. Menurutmu, aku bawa mainan yang mana? Robot atau pesawat?" "Robot itu bagus..." "Oke..."
Senja yang cerah. Lembayung yang jingga melipat puncak pohon oak, menggelayuti bibir bukit-bukit yang ranum tersungging. Di sekeliling, anak-anak bermain riang. Berlari bersama anjing-anjingnya di antara hamparan tulip dan gemercik air dalam pusaran kincir angin.
Ini tempat lahirnya Andara. Satu pedesaan bersih dan sejuk di pinggiran Belanda. Dan? Setelah lulus kuliah, Andara mutusin membawa istrinya, Maya sekaligus ibunya ke negara ini.
"Nenek. Aku juga bawa buku gambarku. Biar ibu tahu, kalo aku sudah jago gambar?"
Neneknya mengusap rambut cucunya, Billy. Rambut legam yang rada ikal itu punya Maya. Matanya yang bulat jernih itu juga milik Maya, anak gadis satu-satunya.
* * *
"Bunda. Aku datang. Lihat aku. Bersih dan tampan kan?" ucap Billy. Ia duduk di pembaringan Maya.
"Aku sekarang sudah pintar menggambar. Ayah yang mengajariku" lanjutnya. Ia buka satu persatu lembar yang banyak coretan warna-warna. Maya cuma diam, gak ngejawab.
"Aku juga bawa mainan baru. Bagus kan? Ayah yang belikan untukku" Billy berlari kesana-kemari.
"Maya. Bagaimana kabarmu hari ini?" tanya Andara. Ia berusaha tersenyum. Meski tak bisa disangkal, bulir tangisnya sedikit jatuh di atas pembaringan Maya. Ia simpan untaian tulip berwarna di sampingnya.
"Maya. Selamat hari kasih sayang. Dan selamat hari perkawinan kita" Andara mengusap pembaringan Maya, titik rindu bersemayam di sudut matanya. Lalu ia mengecup lembut pusara Maya. "Aku selalu sayang kamu"
"Ayah. Bunda lagi apa ya di sana? Pasti lagi maen-maen sama Tuhan?"
Maya memang sudah gak ada. Ia telah berjuang keras sendirian di antara sakarotul maut demi menyelamatkan kelahiran putra pertamanya. Unik memang, oleh sebab Maya yang terlalu sering sakit-sakitan divonis dokter bila Maya itu gak bisa hamil, meski akhirnya, tubuh Maya gak sanggup bertahan selepas melahirkan.
"Tentu saja. Bunda sedang tersenyum. Di dekatmu. Di dekat kita. Bersama Tuhan yang menjaganya" "Kapan aku bisa ketemu Bunda?"
.
.
.
Cinta Itu Bukan Cuma Punya Anak Punk
ARI JAKA - Sekar Mayang
(23)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H