Maya, mungkin tidak terlalu cantik. Namun wajahnya yang klasik, selalu bikin adem mata yang memandangnya. Bikin geregetan. Selalu ngangenin. Badannya juga bagus. Tinggi semampai dengan rambut panjang rada-rada ikal yang legamnya sehalus satin. Maya itu tipe cewek yang gak ngebosenin. Tapi? Maya mendengus kesal. Malam ini dia gak laku. Meski sekedar 'layanan kilat'.
"May. Aku dan Susi balik duluan ya. Sepi nih" ujar Diana. "Lha. Lo gak takut kena damprat Bang Joy?" Maya celingukan mencari si mucikari gempal yang nongkrongnya gak jauh dari tempat mangkal mereka.
"Hei. Jangan banyak ngerokok. Sakitmu nambah parah nantinya" teriak Diana.
Maya matikan rokok terakhirnya. Ia rogoh dompetnya. Isinya cuma lembar duit lima ribuan yang lecek. Ia menatap ke atas, matanya yang bulat titikan juta sendu. Maya tengah menghitung kepedihan. Tak ada dalam benak Maya sebelum ini, jika ia mesti cari makan lewat kerjaan yang kata orang sampah, kotor, najis, nista.
"Aaarrrghhhh...." Maya teriak sekeras-kerasnya. Toh, jalanan yang basah itu kini nyaris seperti kuburan. Sepi. Orang-orang memilih tengkurep ngelingker di bawah selimutnya.
"Tapi aku adalah selimut yang terhangat" gumamnya hampir putus asa. Ia pun menyerah sebelum sebuah motor besar berhenti di depannya. Maya tersenyum. Hatinya sedikit lega.
"Ikutlah denganku" ajak pria di balik helm tertutupnya. "Kita mau ke hotel mana mas?" "Kau lihat saja nanti. Naiklah" Lantas Maya menaiki jok belakang motor. Mereka berjalan menebus kegamangan fajar, menyusuri kejora yang kerlap-kerlip dan hilang di telan keheningan jalan.
###
"Sudah berapa lama kamu kerja di sana?" Maya menangis. Ia bulirkan guratan pedihnya yang tercampur perasaan yang sangat malu. Di sampingnya, terduduk Andara. Ia lah pria bermotor yang tadi membawanya. Kini, mereka berada di sebuah kafe tak terlalu jauh dari sana.
"Aku..." "May. Kamu tau kan kerjaan kayak gitu gak baik? Kamu tau kan resiko yang nanti kamu dapat?" "Iya Nda..." "Lantas? Kenapa kamu ngelakuin ini?" Maya menghela nafasnya panjang. Pertanyaan yang tak perlu dijawab sebenarnya. Semua orang juga tahu. "Nda. Kamu enak. Anak orang kaya. Sementara aku? Untuk makan saja susah. Ayahku udah gak ada. Ibu sering sakit-sakitan. Kuliahku keteteran karena gak ada biaya" "May. Sebelumnya kamu bisa bicara dulu sama aku" "Nda. Hutangku masih banyak sama mucikariku. Aku gak bisa lari gitu aja dari sana" "Berapa banyak?" "Lima juta..." ucap Maya lirih. Lagi-lagi ia menangis. Andara menatap wajah gadis yang selama ini ia cinta. Ia seka sisa tangis di sudut pelupuk Maya. Sebenarnya, Maya pun cinta cowok satu itu. Tapi dengan keadaannya, ia gak bisa labuhkan dirinya yang kotor. Cowok itu terlalu sempurna untuk Maya.
"Kamu tau dari mana aku kerja di sana?" tanya Maya kemudian. "May. Tiap malam aku menelponmu. Tapi tak pernah kamu angkat sekalipun. Lalu tadi, sengaja aku ke rumahmu. Ibumu bilang, kamu kerja. Lalu ada seorang yang bilang kamu kerja di sana..."