Mohon tunggu...
Eko A. Ariyanto
Eko A. Ariyanto Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar

Lahir Di Bumi Bung Karno Blitar Jawa Timur Saat ini bekerja sebagai Pengajar Tertarik pada kajian sosial budaya, politik, ketahanan, kepemimpinan, radikalisme

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kerjasama Politik antara Kepentingan dan Upaya Kemenangan

25 Agustus 2023   11:22 Diperbarui: 29 Agustus 2023   18:36 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Menghadapi hajatan pilpres 2024 menjadi ajang partai politik untuk menunjukan kontribusinya dengan menawarkan pilihan calon presiden kepada masyarakat. Masing-masing parpol melalui mekanisme internal di forum musyawarah nasional seringkali mendorong pimpinan partai untuk menjadi calon presiden potensial yang akan diusung. Namun kenyataan ini tidak semata-mata bisa dengan mudah dilakukan  mengingat  ambang batas untuk mengusung calon presiden adalah 20% suara di DPR atau legislatif. 

Tentu dengan syarat setinggi itu tidak mudah bagi partai politik untuk memenuhinya sehingga mereka kemudian melakukan koalisi atau bahasa yang lebih halus dari itu adalah dengan "kerjasama". Kerjasama partai politik ini seringkali juga tidak mudah dilakukan karena masing-masing partai tidak ingin wilayah-wilayah internalnya terlalu diintervensi oleh sesama anggota koalisi. 

Ibarat orang yang akan berumah tangga, koalisi atau kerjasama ini sesungguhnya masih dalam tahapan penjajakan atau istilah mudahnya masing "pacaran" belum ada ijab qabul yang mengesahkan pasangan untuk benar-benar secara agama dan hukum sah menjadi pasangan suami-istri. 

Meskipun sudah bertemu untuk menyampaikan maksud dan tujuan bersama belum tentu kesepakatan ini akan langgeng hingga pendaftaran bakal calon yang diusung. Masih akan terjadi parpol pindah koalisi atau membangun koalisi baru untuk mewujudkan kepentingannya pada seberapa bulan kedepan.  

Terbangunya poros koalisi 

Koalisi besar pernah menjadi wacana ketika para ketua umum partai politik bertemu dengan Presiden Jokowi, saat itu ada momen mereka bersama-sama silaturahmi sebagai partai pendukung pemerintah. Koalisi besar yang digunakan sebagai diksi saat itu diisi oleh partai-partai pendukung pemerintah kecuali PDI-P karena partai ini tidak hadir di momen silaturahmi tersebut. 

Wacana inipun terus menerus digaungkan oleh partai-partai pemerintah meskipun sesungguhnya memasuki agenda pencalonan presiden ini masing-masing partai pemerintah telah melakukan penjajakan koalisi. Diantara koalisi yang sudah terbangun saat itu ialah Koalisi Indonesia Bersatu (KIB)  yang beranggotakan Golkar, PAN serta PPP sedangkan koalisi lain yang beranggotakan Gerindra dan PKB mengusung Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR).

Perubahan poros koalisi 

Dinamika politik yang terjadi beberapa bulan terakhir yang dimulai dari momen deklarasi Ganjar Pranowo serta berbagai rilis lembaga survei mengenai elektabilitas calon presiden turun memberi dampak bagi perubahan-perubahan poros koalisi

Masing-masing partai nampaknya terus mencermati perkembngan elektabilitas serta menimbang-nimbang peluang meloloskan kader ketua umum sebagai pasangan untuk calon wakil presiden membuat perubahan poros koalisi mudah terjadi. Perubahan dukungan PPP untuk mengusung Ganjar Pranowo seolah-olah sudah memberi ketegasan bahwa Koalisi Indonesia Bersatu yang digagas bersama dengan Golkar dan PAN tidak lagi sejalan dan relevan. PPP tentu berharap dengan dukungan kepada Ganjar, Ganjar memberikan pilihan kepada Sandiaga Uno yang notabene adalah kader PPP untuk dipilih sebagai calon wakil presidennya. 

Langkah ini pada akhirnya diikuti oleh Golkar dan PAN yang kemudian merapat ke koalisi Kebangkitan Indonesia Raya yang sudah berisi Gerindra serta PKB. Deklarasi tersebut dilakukan pada 13 agustus 2023 yang berlokasi dimusium perumusan naskah proklamasi (munasprok) Jakarta. 

Dukungan partai PAN dan Golkar ke Gerindra dikatakan oleh sebastian pengamat politik adalah putusan yang tidak mengejutkan. kenapa demikian karena sejatinya lahirnya gerindra sebagai partai pada tabun 2008 tidak terlepas dari kondisi Golkar saat itu yang sedikit mengalami ketidakstabilan. Masing-masing tokoh kuat Golkar saat itu memilih mendirikan parti politik baru salah satunya adalah Gerindra. 

Terlepas dari  faktor kesejarahaan, gabungnya Golkar dan PAN ini juga mengulangi koalisi sebelumnya dipilpres tahun 2014 yang kala itu mengusung Prabowo Subianto sebagai calon presiden dan Hata Rajasa sebagai calon wakil presiden. Mereka saat itu diusung oleh koalisi merah putih yang beranggotakan Golkar, Grindra, PAN, PKS, PPP, dan PBB. 

Enam (6) partai pengusung ini memiliki prosentase suara saat itu sebesar 51, 9%, jauh diatas Koalisi Indonesia Hebat yang mengusung calon presiden Joko Widodo dan HM Jusuf Kala sebagai wapres. Koalisi ini hanya terdiri dari PDI-P, PKB, NasDem dan Hanura yang saat itu memiliki prosentase suara sebesar 36,46%. 

Hasil pilpres pada 9 juli 2014 tersebut kemudian dimenangkan oleh pasangan Joko Widodo dan HM Jusuf Kala. Pasangan ini meraih presentase suara dari seluruh wilayah Indonesia dan luar negeri sebesar 53,15 % sedangkan Prabowo Subianto dan Hata Rajasa meraih suara 46,85%. Perolehan suara dari pasangan Joko Widodo saat itu jauh diatas prosentase suara dari koalisi partai pengusung  yang hanya di kisaran 36,46%. 

Sebaran suara pasangan Joko Widodo dan HM Jusuf Kala dari 34 propinsi menguasai 24 propinsi sedangkan pasangan Prabowo Subianto hanya menguasasi 10 propinsi yang berasal dari: Aceh, Sumatra barat, Riau, Sumatra selatan, Banten, Jawa barat, Kalimantan selatan, Nusa tenggara barat, Gorontalo, dan Maluku utara. 

Setelah lima tahun berlalu sejak pertarungan pilpres tahun 2014, pada tahun 2019 Prabowo Subianto kembali diusung untuk menjadi calon presiden. Saat tahun 2019 tersebut ia berpasangan dengan wakil gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno. Lawan yang dihadapi oleh merekapun saat itu masih sama yaitu petahana Joko Widodo yang berpasangan dengan ulama karismatik sekaligus ketua Majelis Ulama Indonesia KH Ma'ruf Amin.

Pengusung utama pada pertarungan pilpres tahun 2019 ini cenderung masih sama. Petahana Joko Widodo diusung oleh PDI-P, Golkar, PKB, NasDem, PPP, Hanura. Keenam (6) partai parlement ini memiliki suara sebesar 63, 62%. Sedangkan pengusung Prabowo Subianto memiliki suara perlemen sebesar 36, 38 % yang terdiri dari Gerindra, Demokrat, PAN, PKS. Hasil pertarungan pada pilpres 17 april 2019 itu dimenangkan oleh petahana Joko Widodo dengan memperoleh suara 55,50% sedangkan lawannya memperoleh 44,50%. 

Sebaran suara yang diperoleh petahana Joko Widodo dari 34 propinsi menguasai 21 propinsi yaitu: Sumatra utara, Lampung, Bangka belitung, Kepulauan riau, DKI Jakarta, Jawa tengah, Yogyakarta, Jawa timur, Bali, Nusa tenggara timur, Kalimantan barat, Kalimantan tengah, Kalimantan timur, Kalimantan utara, Sulawesi utara, Maluku, Papua dan Papua barat  sedangkan Prabowo Subianto menguasai 13 propinsi yang meliputi: Aceh, Sumatra barat, Riau, Jambi, Sumatra selatan, Bengkulu, Banten, Jawa barat, Nusa tenggara barat, Kalimantan selatan, Sulawesi tenggara, Sulawesi selatan, dan Maluku utara 

Fenomena pemilihan umum tahun 2014 dan tahun 2019 membongkar kebiasaan politik yang pasca reformasi selalu dipakai sebagai acuan yaitu majunya ketua umum partai pada konstelasi pilpres. Joko Widodo membuktikan meskipun dirinya saat itu bukanlah ketua umum parti namun kinerjanya sebagai kepala daerah di Solo dan DKI Jakarta mengantarkannya mendapatkan golden tiket sebagai calon presiden. Namun disisi yang lain lawannya saat itu selama dua kali pertarungan masih memegang tampuk pimpinan sebagai orang pertama di partai Gerindra. 

Bagaimana dengan pertarungan pilpres saat ini

Upaya membangun koalisi saat ini setidaknya telah dilakukan oleh tiga (3) koalisi parti yang menyepakati kerjasaam politik. Para partai ini telah menampilkan calon yang akan diusung menjadi bakal calon presiden. Koalisi yang dipimpin oleh PDI-P bersama dengan PPP sepakat mengusung bakal calon Ganjar Pranowo. Sedangkan koalisi yang dipimpin oleh Gerindra, Golkar, PAN, dan PKB sepakat mengusung bakal calon Prabowo Subianto dan koalisi pimpinan NasDem, PKS, dan Demokrat mengusung Anis Baswedan. 

Selain itu, ada beberapa faktor lain yang bisa digunakan untuk mengukur bagaimana pertarungan pilpres mendatang yaitu:

1. Latar belakang calon 

apabila dilihat dari sisi calon yang diusung, Ganjar Pranowo merupakan gubernur Jawa tengah selama dua periode, latar belakang ini sama dengan seorang Anis Baswedan yang sama-sama sebagai pimpinan daerah dengan memimpin ibukota DKI Jakarta. Latar belakang ini tentu berbera dengan Prabowo Subianto yang berasal dari latar belakang seorang menteri, pimpinan parpol dan prajurit TNI.

2. Gaya kepemimpinan 

Gaya kepemimpinan yang dibawa oleh masing-msing calon juga berbeda, Ganjar lebih menunjukan kedekatan dengan masyarakat dengan seringnya berinteraksi kepada warga, Anis dengan gaya intellektual yang dibawa dan Prabowo dengan gaya yang tegas. 

3. Isu yang diangkat

Selama ini kedua calon yaitu Ganjar dan Prabowo sama-sama menyampaikan bahwa mereka akan melanjutkan program-program pemerintahan presiden Joko Widodo, Sedangkan Anis secara tegas menyampaikan akan mengusung perubahan. Isu lain yang mulai diangkat saat ini sebagai upaya untuk saling beropini ialah isu lingkungan (program food estate). 

4. kedekatan 

Saat ini masing-masing calon berusaha meningkatkan elektabilitas mereka dengan menggunakan strategi kedekatan. Prabowo Subianto  dibeberapa daerah memasang baliho bukti kedekatannya dengan Presiden Joko Widodo, bersilaturahmi saat lebaran dan mendampingi presiden saat kunjungan kerja ke luar negeri maupun beberapa daerah. Tidak mau kalah dengan itu Ganjar yang merupakan kader PDI-P bersama Jokowi dibeberapa kesempatan berbincang dengan media menyampaikan kalau dirinya sering berkomunikasi, berkonsultasi dan berbincang bersama Jokowi. Ini juga dibuktikan dengan yang dilakukan  Gibran dengan membantu menempel sticker Ganjar.  

Dengan mengidentifikasi potensi pasangan calon untuk merebut suara, tim kampanye nasional dari masing-masing koalisi nantinya akan menentukan strategi-strategi pemenangannya, beberapa hal yang mulai terlihat ialah penentuan wakil presiden. Seperti tahun 2014 dan 2019 pemilihan calon wapres benar-benar menjadi persoalan yang tidak mudah karena mempertimbangkan faktor kedaerahan, faktor perwakilan golongan, faktor kekuatan finansial, serta pertimbangan untuk mengcounter isu-isu yang ada. 

Untuk saat ini mungkin pilihan wapres akan lebih rumit lagi karena koalisi akan rawan runtuh ketika pilihan wapres tidak bisa mengakomodir kepentingan parpol pengusung. Koalisi gemuk tidak akan menjamin kemenangan tapi lebih kepada upaya menampung kepentingan. Semoga hajatan pilpres 2024 memberikan kemanfaatan bagi kemajuan negara dan bangsa ini.

Semoga Bermanfaat

Salam Dari Penulis: Eko A Ariyanto & Sayidah Aulia Ul Haque

 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun