Mohon tunggu...
Ariya Hadi Paula
Ariya Hadi Paula Mohon Tunggu... Penulis - Fiksionis, jurnalis independen dan kolomnis sosial humaniora

Ariya hadi paula adalah Alumni IISIP Jakarta. Pernah bekerja sebagai desainer grafis (artistik) di Tabloid Paron, Power, Gossip, majalah sportif dan PT Virgo Putra Film .Jurnalis Harian Dialog, Tabloid Jihad dan majalah Birokrasi. Penikmat berat radio siaran teresterial, menyukai pengamatan atas langit, bintang, tata surya dan astronomi hingga bergabung dengan Himpunan Astronom Amatir Jakarta (HAAJ) dan komunitas BETA UFO sebagai Skylover. Saat ini aktif sebagai pengurus Masyarakat Peduli Peradaban dan dakwah Al Madania Bogor.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Teror Pemangsa Janin (Bagian 3)

22 September 2024   06:21 Diperbarui: 26 Desember 2024   10:05 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Teror Pemangsa Janin (Bagian 3): Pesan Anduang Bongkok

By Ariya Wirasastra

SELANG beberapa hari sejak peristiwa yang membuat Mirda histeris, terjadi kesibukan luar biasa di rumah kontrakan Aran. Dua kardus besar sudah terikat rapi di teras. Perabotan dapur seperti panci, teflon berikut rak piring portable sudah disatukan dalam keranjang besar berdiameter  50cm. Sepasang kursi tamu dan meja kecil dari plastik telah diletakkan di jalan depan rumah.

                                                    

Aran dibantu Mang Dadang tengah berupaya menggeser springbed ukuran double ke arah luar. Setelah mendekati pintu keduanya membuat posisi kasur impor itu dalam keadaan vertikal. Akhirnya kasur itu kini berada di teras rumah. Lalu Aran memanggil dua orang remaja yang sudah menunggu di luar  untuk segera mengambil alih mengangkat kasur tersebut.

Dua anak remaja usia belasan tampak riang mengeluarkan tabung gas dan sebuah kompor gas satu tungku. Barang-barang itu langsung dimasukan ke sebuah gerobak kecil yang biasa digunakan  tukang rongsok. Keduanya kembali masuk ke rumah dan membawa lagi barang lain seperti ember,  gantungan pakaian dan sejenisnya untuk dikumpulkan di gerobak.  Begitulah aktifivas serupa mereka ulangi sampai gerobak penuh, kemudian keduanya berbagi tugas membawa gerobak dengan muatannya ke tempat tujuan.

"Aduh Bang Aran kenapa dadakan begini?" tanya Mang Dadang setelah mereka berhasil menaikkan springbed ke atas gerobak dengan posisi rebah.

"Padahal kalau bilang dari kemarin kan, bisa Mamang carikan mobil bak kecil. Kan ada tuh di toko material Koh Ferry tempat Mamang langganan," lanjutnya.

Aran tidak segera menjawab, melainkan mengarahkan pandangannya kepada Mirda yang sedang duduk di kursi lipat teman setianya berbenah. Tanpa diintruksikan, Mang Dadang ikut mengarahkan pandangan kepada perempuan hamil dengan wajah muram. Kemudian lelaki setengah baya itu mengangguk-angguk tanda memahami maksud Aran.

Sementara Mirda  tampak seperti sedang melamun. Tatapannya menerawang ke suatu tempat dan waktu yang nun jauh di sana. Kesibukan orang-orang di hadapannya tidak mampu mengalihkan perhatian ibu muda itu. Begitu juga seekor anak kucing yang berputar-putar mengelilingi Mirda sambil sesekali menggosokkan punggung ke kakinya, tidak juga diresponnya. Padahal Mirda salah satu penyuka kucing dan senang berbagi makanan maupun memanjakan hewan lucu itu.

Aran datang menghampiri lalu menyodorkan sebotol air mineral. Mirda hanya mengangguk pelan sambil meraih botol dan membuka tutupnya. Hanya seteguk yang diminumnya, sekadar menghargai perhatian suaminya.

"Dik. Abang tinggal dulu sebentar ya, mau antar kasur ke kontrakan baru Kita. Soalnya tuh anak-anak kesulitan juga angkut kasur Kita" ucap Aran lembut. Mirda  lantas memegang tangan suaminya dengan erat-erat. Kepalanya mendongak ke atas agar dapat menatap wajah suaminya.

"Mirda takut di sini Bang," ujarnya lirih.

"Dik maunya Abang juga Kamu menunggu di rumah baru sana. Tapi kan masih berantakan banget. Nah Abang mau siapkan sekalian kasur dan ruang tidur Kamu," ujar Aran mencoba memberi pengertian kepada istrinya.

Mirda tidak menanggapi ucapan itu, malahan makin mempererat pegangannya. Aran pun segera berjongkok di depan istrinya.

"Abang paham Dik.  Tapi di sini kan ada Mang Dadang yang bantu-bantu,"pinta Aran.

Lagi pula Dik sebentar lagi Mpok Yati  mau ke sini mengambil kunci rumah ini," sambung Aran.

Akhirnya Mirda mau melepaskan tangan  suaminya. Selanjutnya Aran segera bergegas membantu mendorong gerobak dengan springbed di atasnya. Tak lama pun suasana rumah jadi sepi dari suara barang bergeser atau saling bertubrukan.

"Kalau perlu apa-apa Uni Mirda panggil Mamang aja. Ini nih, Mamang mengemas kardus di ruang tamu," tegur Mang Dadang mengingatkan Mirda yang mulai tenggelam  dalam lamunan.

Pelan-pelan pandangan Mirda kembali menerawang. Ingatannya membawa ke suatu tempat nun jauh di seberang sana. Lalu hadirlah gambaran tempat tinggalnya semasa gadis dulu, sebuah daerah eksotis kampung kelahirannya Bukit Tinggi. Akhir 1990-an, wilayah perbukitan di Provinsi Sumatera Barat  itu sudah ramai penduduknya dan banyak bangunan modern berdiri. Namun masih banyak juga rumah adat dengan atap berbentuk tanduk kerbau yang dipertahankan orisinalitasnya, suasana ranah Minang senantiasa hadir dan terjaga.

Terbayang jelas wajah mamak dan saudara satu atap yang selalu riang, saling bercakap ketika menyiapkan makan bersama. Kemudian muncul bayangang sosok Anduang (nenek dalam bahasa Minang)  yang sangat sayang dan selalu memanjakan Mirda. Pada saat itu usia Anduang sudah mencapai 93 tahun, tapi geraknya masih lincah dan cekatan meracik masakan khas urang awak. Wajah Anduang selalu cerah dan ceria karena giat ibadah dan pandai baca Qur'an, sehingga jarang orang dapat menerka kalau usianya hampir masuk satu abad. Hanya bentuk tubuhnya yang sudah membungkuk membuatnya disebut lanjut usia. Badan kecil dan agak membungkuk itulah yang membuat Mirda serta saudara yang lain memanggilnya Anduang Bongkok.

Seingat Mirda, setahun sebelum keberangkatannya kuliah ke Jakarta, Anduang Bongkok meninggal dunia.  Begitu banyak kesan dan pesan yang ditinggalkan orang tua itu kepada Mirda. Termasuk biaya sekolah dan kuliah Mirda di Jakarta merupakan sumbangsih dari Anduang berupa cincin dan gelang emas yang dihadiahkan bagi cucu kesayangan Anduang.

"Nak, nanti kalau Kau sudah berhasil di kota, tengok-tengoklah Anduang dan Mamak mu di sini," pinta Anduang Bongkok sambil membalurkan minyak dari ujung jari sampai lengan Mirda gadis.

 Pijatan Anduang terlihat lembut, namun  tekanannya  begitu keras menghujam  ke daging hingga tulang-tulang  lengan Mirda. Pijatan khas almarhum Anduang  pada masa lalu masih  membekas di ingatan Mirda sekarang. Tiba-tiba dirinya teringat sebuah peristiwa ganjil yang terjadi pada saat Anduang bongkok sedang memijatnya  jelang maghrib.

Anduang membalurkan minyak sawit yang sudah dicampur rempah  ke seluruh tangan Mirda. Begitu juga punggung dan bagian atas dada hingga leher tak luput dari  baluran ramuan minyak pijat sang perempuan tua.  Kain sarung yang dikenakan untuk menutup sepertiga bagian bawah tubuhnya, mulai basah oleh minyak sawit.

Jari jemari Anduang yang terampil mulai memijat-mijat  lengan cucunya. Tak seperti biasanya, Anduang memijat sambil berkomat-kamit merapal mantra dan doa.  Setelah semua bagian tubuh Mirda yang dibalur minyak terkena pijatan, Anduang  beralih memijat lembut pelipis dan bagian atas kepala cucunya. Sambil memijat  dibacakan doa yang ujungnya diakhiri dengan tiupan ke ubun Mirda. Perlaku yang sama dilakukan Anduang berulang-ulang membuat Mirda mulai terbuai dan mengantuk.

Mirda merasa kian mengantuk hingga kedua kelopak matanya makin berat dibuat lebar. Ketika pandangannya makin sayu, Mirda seakan melihat beberapa orang lelaki bertubuh pendek bermunculan dari balik punggung Anduang.Para lelaki cebol itu tampak bertelanjang dada hanya  mengenakan celana pendek hitam dari bahan yang tebal. Mirda memaksa menajamkan pandangan ke wajah  mereka. Ternyata semua lelaki cebol itu brewokan, berambut gondrong dan berkerut menandakan usia yang sangat tua.

Rasa kantuk semakin menyengat, tatapan Mirda pun semakin sayu. Pandangan samar dan kesadaran kian rendah,  saat  itulah Mirda merasakan  satu per satu lelaki cebol itu memeluk tubuhnya lalu meresap ke dalam dan menghilang. Tujuh kali dirasakan Mirda peristiwa meresapnya manusia cebol ke dalam tubuhnya, sementara didengarnya Anduang masih  merapal mantra dan doa.

Di bawah serangan kantuk dan keheranan atas peristiwa ganjil itu, Mirda merasakan hangat menjalar ke seluruh tubuhnya.

Peristiwa ganjil dan ghaib pada masa lalu itu tidak pernah dijelaskan oleh Anduang sampai sekarang.  Hanya sepotong cerita disampaikan oleh Mamak setelah Anduang wafat,  sebuah warisan dari leluhur  untuk setiap anak perempuan tunggal atau anak pertama telah diberikan kepada Mirda. Sayangnya Mirda masih belum paham maksud cerita tersebut.

Tiba-tiba sebuah sentuhan pelan membangunkan lamunan masa lalu Mirda. Sayup-sayup suara pengantar adzan mulai terdengar olehnya, namun  pandangannya  masih  belum terang seakan baru bangun dari tidur yang lama.  Sementara   dirasakan Mirda jika tangan yang tadi menyentuhnya pelan  mulai  mencengkeram sambil menggoyang-goyangkan lengan Mirda, seakan mengajaknya bangun dari mimpi.

"Tooloong...!" jerit Mirda ketika menyaksikan tangan yang mencengkeramnya penuh dengan sayatan luka, borok dan bernanah.

Mang Dadang segera berlari keluar meninggalkan barang-barang yang sedang dikemas.  Dilihatnya seorang perempuan tua sedang merangkul istri sahabatnya. Ia pun segera  mendekati Mirda dan berupaya menenangkannya.

"Mang, takut Mang! Tolong Saya...," lirih Mirda sambil memalingkan wajahnya dari perempuan tua  yang tadi mencengkeram lengannya.

Mang Dadang jadi bingung sekaligus canggung ketika perempuan yang tengah hamil muda itu  memegang kedua pundaknya untuk berlindung.

"Kenapa Uni?  Takut siapa Uni?" tanya Mang Dadang.

"Ne... Nenek itu Mang, jawab Mirda pelan penuh rasa takut sambil menunjuk kepada sosok yang tadi memegang tangannya

Mang Dadang memandangi perempuan kebingungan kepada perempuan tua di hadapannya yang dipanggil nenek oleh Mirda.

"Maksudnya Nyai .....?" tanya Mang Dadang.

 

Perempuan tua yang dianggap menakutkan itu menunjukkan wajah keheranan. Dahinya berkerut dan kedua alis matanya menegang pertanda memikirkan sesuatu.

"Iya Neng, ini Nyai. Mari Neng, ucap Nyai menenangkan.

Suara lembut dari perempuan tua itu meluruhkan rasa takut Mirda. Diingatnya suara itulah yang kemarin malam menemaninya dengan lantunan ayat-ayat suci. Mirda pun memberanikan  diri menatap sosok yang tadi tampak menyeramkan.

Tampak di hadapan Mirda seorang perempan tua berkerudung, pakaiannya rapi dan kulitnya bersih. Bukan sosok bayangan hitam, mengerikan dengan tangan tampak menjijikan.

"Neng tadi melamun deh, ini teh sudah mau masuk maghrib, sebaiknya Neng Mirda mampir ke rumah Nyai aja, ujar Nyai Ipah sambil tersenyum ramah.

"Mang Dadang  sependapat dengan ucapan Nyai  Ipah dibujuknya istri sahabatnya itu supaya ikut ke rumah  orang yang dituakan di kampung tersebut. Apalagi hari sudah tampak kian gelap, sementara Aran belum juga muncul menjemput istrinya.

"Tidak baik Neng, ibu hamil di luar rumah pas maghrib begini," bujuk Nyai sambil merangkul Mirda.

Betul Uni, sebaiknya Neng Mirda ikut ke rumah Nyai Ipah.  Nanti kalau Bang Aran sudah kemari biar Mamang suruh susul, pinta Mang Dadang sambil mengangkat sebuah tas mewah yang tergeletak di samping kursi yang sudah diduduki kembali oleh Mirda.

Perempuan yang tengah hamil tujuh bulan itu memandang jauh ke pertigaan jalan. Suasana jalan seperti maghrib pada hari-hari sebelumnya tampak sepi.  Pandangannya dipertajam ke ujung jalan, tapi tidak juga muncul sosok suaminya.

"Bang Aran tadi bilang mau siapkan kamar buat Uni. Tapi kalo Mamang bilang mah belum beres.  Masih lama Uni, ujar Mang Dadang seakan membaca pikiran Mirda.

Kumandang shalawat anak-anak di masjid pertanda waktu salat maghrib segera menjelang. Nyai Ipah memutuskan memaksa Mirda ikut ke rumahnya. Perempuan tua itu khawatir terjadi lagi hal buruk pada Mirda apabila masih berada di situ. Apalagi ketika diingatnya soal makam terbelah di belakang rumah kontrakan Aran dan Mirda.

Bersambung.......

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun