Tampak di hadapan Mirda seorang perempan tua berkerudung, pakaiannya rapi dan kulitnya bersih. Bukan sosok bayangan hitam, mengerikan dengan tangan tampak menjijikan.
"Neng tadi melamun deh, ini teh sudah mau masuk maghrib, sebaiknya Neng Mirda mampir ke rumah Nyai aja, ujar Nyai Ipah sambil tersenyum ramah.
"Mang Dadang  sependapat dengan ucapan Nyai  Ipah dibujuknya istri sahabatnya itu supaya ikut ke rumah  orang yang dituakan di kampung tersebut. Apalagi hari sudah tampak kian gelap, sementara Aran belum juga muncul menjemput istrinya.
"Tidak baik Neng, ibu hamil di luar rumah pas maghrib begini," bujuk Nyai sambil merangkul Mirda.
Betul Uni, sebaiknya Neng Mirda ikut ke rumah Nyai Ipah. Â Nanti kalau Bang Aran sudah kemari biar Mamang suruh susul, pinta Mang Dadang sambil mengangkat sebuah tas mewah yang tergeletak di samping kursi yang sudah diduduki kembali oleh Mirda.
Perempuan yang tengah hamil tujuh bulan itu memandang jauh ke pertigaan jalan. Suasana jalan seperti maghrib pada hari-hari sebelumnya tampak sepi. Â Pandangannya dipertajam ke ujung jalan, tapi tidak juga muncul sosok suaminya.
"Bang Aran tadi bilang mau siapkan kamar buat Uni. Tapi kalo Mamang bilang mah belum beres. Â Masih lama Uni, ujar Mang Dadang seakan membaca pikiran Mirda.
Kumandang shalawat anak-anak di masjid pertanda waktu salat maghrib segera menjelang. Nyai Ipah memutuskan memaksa Mirda ikut ke rumahnya. Perempuan tua itu khawatir terjadi lagi hal buruk pada Mirda apabila masih berada di situ. Apalagi ketika diingatnya soal makam terbelah di belakang rumah kontrakan Aran dan Mirda.
Bersambung.......
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H