Mohon tunggu...
Ariya Hadi Paula
Ariya Hadi Paula Mohon Tunggu... Penulis - Fiksionis, jurnalis independen dan kolomnis sosial humaniora

Ariya hadi paula adalah Alumni IISIP Jakarta. Pernah bekerja sebagai desainer grafis (artistik) di Tabloid Paron, Power, Gossip, majalah sportif dan PT Virgo Putra Film .Jurnalis Harian Dialog, Tabloid Jihad dan majalah Birokrasi. Penikmat berat radio siaran teresterial, menyukai pengamatan atas langit, bintang, tata surya dan astronomi hingga bergabung dengan Himpunan Astronom Amatir Jakarta (HAAJ) dan komunitas BETA UFO sebagai Skylover. Saat ini aktif sebagai pengurus Masyarakat Peduli Peradaban dan dakwah Al Madania Bogor.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Teror Pemangsa Janin (Bagian 1)

1 September 2024   22:09 Diperbarui: 26 Desember 2024   10:07 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cover: Laviola Designmax

Teror Pemangsa Janin (Bagian 1):

Penampakan Sosok Mengerikan

By Ariya Wirasastra


Kandungan di perut Mirda telah masuk usia tujuh bulan.  Perempuan muda berdarah Minang itu mulai kepayahan jika berdiri terlalu lama, apalagi sambil menyapu ruangan yang selalu kotor oleh sisa pekerjaannya. Sebuah kursi lipat kecil selalu tersedia di dekatnya, digeser ke sana ke sini sebagai penopang saat letih.

Sejak mengajukan cuti kerja sebagai sekretaris di sebuah perusahaan properti  sebulan yang lalu, sejak itu juga Mirda kembali menekuni hobi semasa gadis membuat kerajinan tangan. Mulai dari bingkai foto daur ulang, gelang anyaman padi kering, dan berbagai produk handmade lainnya dihasilkannya  untuk membunuh  sepi sekaligus menambah pendapatan.  Mirda terkadang merasa janggal jika harus berdiam diri  menanti sang suami  yang pekerja serabutan dan tak tentu jam pulangnya.  Padahal selama ini suaminya yang selalu setia menunggu di parkiran kantor ketika dia pulang sampai larut malam.

Setelah sapu ijuk diletakkan di sudut teras rumah dan sampah telah diikat dalam kantung, Mirda  duduk di lantai sambil bersandar di bawah jendela yang baru saja ditutupnya rapat.  Pandangannya diarahkan ke ujung jalan,  berharap suaminya muncul  dari sana.

Sementara matahari senja kian meredup dan suasana jalanan  yang sepi dari lalu lalang manusia pun kian mencekam.  Entah kenapa  perasaan takut perlahan menghembus kepadanya.  Ditengoknya dua rumah tetangga di sisi kanan, tampak gelap  belum menyalakan lampu dan sunyi tak berpenghuni. Mirda kemudian teringat kalau kedua penghuni rumah kontrakan itu sedang mudik libur panjang.  Maka dia buru-buru bangkit dengan payah, lalu masuk rumah sambil menyalakan lampu seluruh ruangan.

Sayup-sayup suara anak-anak bershalawat di masjid telah terdengar pertanda waktu maghrib menjelang.  Mirda pun memutuskan memasak air untuk secangkir kopi hitam favorit suaminya.  Lalu dibilasnya sebuah mug dan tutupnya yang sebetulnya sudah dicuci bersih sebelumnya.

Di antara desis air yang mulai mendidih dan kucuran air di wastafel, Mirda mendengar suara pintu yang dibuka.  Sudah beberapa hari yang lalu dia meminta suaminya  membeli pelumas pada engsel pintu yang berkarat karena selalu mengeluarkan decitan yang menyakiti telinga.

"Bang, sudah pulang? Sebentar ya  Mirda buatkan dulu kopinya," ujarnya sambil menuangkan dua sendok kecil gula dan tiga sendok kecil kopi hitam.

Tak ada jawaban dari orang yang disapa, padahal biasanya Bang Aran, lelaki dikenalnya sejak lima tahun yang lalu, pastinya mengucapkan salam.  Namun Mirda berpikir barangkali suaminya begitu lelah sehingga langsung merebahkan diri di lantai seperti beberapa kali terjadi belakangan.

"Bang. Abang mau ke kamar mandi? Tunggu dulu ya Bang, Mirda sikat sedikit. Agak licin nampaknya," ujar perempuan hamil tua itu sambil berjongkok mengambil pembersih lantai.

Hanya terdengar suara orang berdehem yang dalam dan berat.  Maka perempuan itu kembali melanjutkan menyikat lantai kamar mandi hingga sebagian bawah dasternya basah.

"Bang, sudah masuk adzan tuh. Ayo sini," tegur Mirda manakala terdengarya suara mendengkur dari ruang tamu.  Namun kembali tak ada respon, jadi dia pun melekaskan kerjanya.

Ketika dia mulai menyirami pintu yang mulai lapuk, dilihatlah  bayang-bayang suaminya  menghampiri.

"Eh Abang," ujarnya lirih sambil melirik sekilas kedua kaki suaminya yang sudah berdiri tegak depan pintu kamar mandi.  Namun Mirda merasa ada yang aneh  pada pandangannya.  Kemudian dia mengembalikan  perhatiannya pada sepasang kaki di depannya.

"Astaghfirullah!" teriaknya sambil melempar gayung  ke lantai. Matanya terbelalak melihat sepasang kaki itu berbulu lebat, panjang, dan hitam legam.  Kulit kakinya berkerak macam tanah sawah yang kekeringan yaitu retak dan berkerak. Seluruh kuku-kuku jarinya panjang, tajam dan berkerut pertanda umur yang sangat tua.

Mirda reflek mendongakkan kepala menatap siapa sosok di hadapannya, karena sepasang kaki suaminya tak seburuk itu.  Maka ketakutannya semakin memuncak ketika yang berdiri di depannya hanya bayangan hitam besar menjulang menyentuh plafon rumah.

Ketakutan yang luar biasa membuatnya nekat menyeruduk bayangan hitam tinggi besar itu supaya bisa keluar.    Mengherankan, dirinya tak merasa ada sesuatu pun yang tersentuh, yang dirasakannya hanya hawa dingin membuat bulu kuduk seketika merinding. Padahal sangat jelas dia menabrak  sebuah sosok dengan kaki berbulu lebat dan bercakar panjang.  Mirda terus berlari hendak membuka pintu. Kembali dia heran kaena pintu masih terkunci rapat dari dalam, padahal jelas terdengar suara kunci pintu diputar dari luar melalui jendela seperti yang sering dilakukan suaminya.

Setelah berhasil keluar rumah, Mirda berlari sekencangnya ke pertigaan jalan sambil mulutnya komat-kamit meminta perlindungan Sang Khalik. Beruntung  muncul Mang Dadang dari gang sebelah kiri. Pekerja bangunan itu sebetulnya mau ke masjid pinggir jalan raya, tapi dia urungkan setelah melihat wajah pucat ketakutan dari ibu muda itu.  Mang Dadang kawan baik suami Mirda, maka dia antarkan pulang perempuan itu kembali ke rumah.

"Tidak ada siapa-siapa Uni, ucap Mang Dadang setelah memeriksa seluruh sudut rumah dan kamar mandi.

Mirda masih berdiri ketakutan di teras rumah. Dia tak berani masuk  walau pekerja bangunan itu memastikan tidak ada  manusia, binatang atau mahluk apapun di dalam.  Beruntung suami Mirda  datang, ternyata dia tadi langsung ke masjid. Karenanya dia heran tidak menjumpai Mang Dadang yang biasa melantunkan iqomat.

"Terima kasih ya Mang. Tapi sebetulnya kejadian ini sudah kesekian kalinya. Gimana ya Mang?"  keluh suami Mirda setelah  berhasil menenangkan perempuan hamil itu ke kamar tidur.

Orang yang dimintai pendapat  hanya diam sambil berpikir keras.  Beberapa saat menerawang, Mang Dadang pamit ke masjid tapi sekaligus berjanji ba'da (pasca) sholat isya akan kembali lagi bersama seseorang.

Malam itu teras rumah pasangan muda yang biasanya senyap, kini kedatangan tamu untuk membicarakan peristiwa tadi maghrib.  Mang Dadang datang bersama Abah Azis, seorang yang dituakan di kampung tersebut, selain itu Abah adalah mantri sunat, serta pemandi jenazah.  Suami Mirda menyuguhkan tiga gelas kopi di nampan, setelahnya dia duduk bersila seperti para tamunya.

 

"Sebetulnya istri Saya sudah beberapa kali diganggu seperti ini Bah. Sebelumnya  pernah sapu yang dia pakai tiba-tiba kembali ke pojok teras, padahal  baru saja disandarkan ke tembok dapur. Atau posisi  pajangan yang sering berpindah tempat sementara  tidak ada di antara Kami yang merapikannya,  cerita Aran yang disimak serius oleh tamunya.

"Ada yang lain lagi Bang Aran?" tanya Abah Azis sambil merapikan jenggotnya yang tipis tapi panjang hingga menyentuh tulang dada.

Aran menerawang sebentar mengingat sesuatu keganjilan yang dialami bersama Mirda.

"Sebelumnya di atas ruang tamu mendadak tercium bau bangkai menyengat. Lalu besok siangnya banyak belatung berjatuhan dari plafon," ujar Aran.

"Betul Bah.Tapi setelah Saya periksa ke para-para, eh enggak ada apa-apa," sambung Mang Dadang karena merasa terlibat dalam peristiwa aneh itu.

Abah Azis sontak menegakkan badan.

"Lalu belatung-belatung yang si Neng kumpulkan sudah enggak ada Kan? Cuma ada butiran nasi kering bukan ya?"  tanya Abah sambil  menjurungkan wajahnya  kepada Aran.

Aran dan Mang Dadang  terkaget-kaget mendengar  pertanyaan sekaligus terka'an tetua kampung itu.

Namun belum habis keheranan keduanya, tiba-tiba terdengar jerit Mirda dari kamar tidur. Aran  bergegas masuk dan segera memeluk istrinya yang terus berteriak histeris ketakutan.  Abah ikuti Mang Dadang masuk ke ruang tamu, lalu minta pasangan muda itu keluar rumah sebentar supaya bisa memeriksa semua ruangan.

Dengan terbata-bata Mirda mengaku didatangi sosok  kakek  renta berbulu lebat di sekujur tubuhnya.   Namun beberapa bagian kulit wajahnya terkelupas dengan darah segar menetes membasahi janggutnya. Mulanya Mirda hanya terdiam kaget dan ngeri.  Tapi mendadak kakek itu menghampiri sambil mencengkram bagian bawah bajunya, kemudian sosok berbau busuk itu mengangkat bajunya sampai terlihat seluruh permukaan perutnya yang membuncit.

"Bb... bb... Bang, dia  jilati dengan raksya perutku Bang.  Dan... dan... dia robek kuit perutku,  lalu dia....." ceritanya berhenti sampai di situ lalu pingsan karena amat ketakutan.

Aran segera memapah dan menyandarkan istrinya ke sofa.  Bersamaan itu tiba Nyai Ipah, istrinya Abah Azis. Kemudian bersamanya, Aran memeriksa permukaan perut istrinya dan memang ternyata tidak ditemukan luka sedikit pun. Untuk memastikan keselamatan janin yang dikandung istrinya, Aran menempelkan telinga kanannya  ke perut Mirda. Sementara Nyai Ipah komat-kamit merapal doa sambil membalurkan minyak kayu putih di kening Mirda.

Bersambung...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun