Mohon tunggu...
Ariya Hadi Paula
Ariya Hadi Paula Mohon Tunggu... Penulis - Penulis adalah Fiksionis, jurnalis independen dan kolomnis sosial humaniora.

Alumni IISIP Jakarta, pernah bekerja di Tabloid Paron, Power, Gossip majalah sportif dan PT Virgo Putra Film sebagai desainer grafis dan artistik serta menjadi jurnalis untuk Harian Dialog, Tabloid Jihad dan majalah Birokrasi. Saat ini aktif sebagai Koordinator masyarakat peduli dakwah & peradaban (MPDP) Al Madania dan pengurus Yayasan Cahaya Kuntum Bangsa (YCKB).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Komite Pemburu Kampanye

10 Desember 2023   13:29 Diperbarui: 11 Desember 2023   21:28 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Komite Pemburu Kampanye

By Ariya Hadi Paula
Sejumlah perempuan dewasa tampak berkerumun di depan gerbang sebuah Sekolah Dasar (SD).  Mereka mengenakan beragam pakaian seperti gamis, t-shirt, kemeja lengan panjang lengkap dengan kerudungnya serta sebagian memakai kaos lengan pendek bahkan daster. Namun satu hal yang membuat para ibu rumah tangga itu terlihat kompak dan menyatu yaitu pilihan satu warna, merah menyala!

"Bu RT! Mana ini Mpok Ani kok belum juga nongol?" tanya perempuan gemuk yang mengenakan daster kepada  rekan di sebelahnya yang tengah sibuk menggerakan jari di layar andriodnya.

"Sudah Saya teleponi dari tadi toh, Mama Raffi. Tapi kok  ya ndak diangkat-angkat," jawab Bu RT sambil terus  mencolek-colek layar sentuh perangkat  telekomunikasi digital  bermerek sohor.

"Mbak Pur! Tadi gimana sih kata Mpok Ani bukannya Kita kumpul di sini setengah sembilan?" tanya perempuan gemuk berdaster yang mulai mengeluarkan keringat sebesar butir-butiran jagung dari pori-pori kulitnya.

Orang yang ditanya bukannya menjawab, malah memalingkan wajah dan pandangannya  ke arah jalan raya yang berjarak hampir 100 meter dari tempat mereka berdiri.  Mbak Pur adalah perempuan bertubuh langsing dengan tinggi badan nyaris menyentuh dua meter,  namun tanpa alasan dia  berjingkat naik turun sambil  memayungi kedua matanya dengan telapak tangan kanan. Setelah secara seksama memperhatikan ujung jalan,  dia  pun teriak kegirangan beberapa kali mengabarkan kedatangan orang yang mereka tunggu-tunggu.

"Maap ye,  kesiangan.  Soalnye tadi ada orang partai minta orang. Biase, buat kampanye," jelas Mpok Ani kepada para perempuan berpakaian serba merah.

"Oalah Mpok Ani, didatengi orang partai opo diparani Bang Adul. Lha wong tadi  Aku lihat  Bang Adul nutupi pintu sama jendela toh?" selidik canda Mbak Pur seorang warga musiman.

Tawa sekumpulan perempuan itu pun meledak.  Mpok Ani yang warga asli Jakarta itu bukannya menyanggah apalagi marah, malah menyambutnya dengan candaan-candaan  yang nyerempet hubungan suami istri dan patut disensor redaksi.
Setelah candaan  reda, perempuan muda yang tadi dipanggil Ibu RT mengajak mereka segera bergegas dari situ. Selain waktu telah menunjukkan pukul sembilan kurang sepuluh menit, Bu RT khawatir alarm tanda istirahat di sekolah segera berbunyi. Khawatirnya bila di antara siswa itu ada yang menjumpai ibunya masih berada di lingkungan sekolah,  pastinya merengek minta dibelikan jajanan serta 'menular' kepada  para ibu yang lain. Artinya para perempuan  dengan dresscone merah yang ternyata pengurus Komite Sekolah di SD tersebut, tentunya akan terhambat lagi berangkat ke tempat tujuan.

Akhirnya mereka pun bergegas meninggalkan sekolah menuju sebuah lapangan futsal dekat rumah Ketua Rukun Warga (RW).  Belasan anggota komite itu berjalan melalui jalan sempit selebar 1,5 meter yang diaspal mulus oleh seorang Calon Legislatif (Caleg) asal kampung sebelah. Setelah melewati beberapa gang sempit, berbelok-belok dan naik turun,  mereka pun sampai di lapangan futsal yang dimaksud.

Di sana sudah berkumpul ratusan warga dengan serombongan kader partai politik.  Sementara di atas sebuah mimbar  sederhana, tampak berdiri seorang lelaki berbadan subur menyampaikan orasi. Para perempuan dari sekolah tadi telah menyebar dan melebur ke dalam masa kampanye Caleg dari partai politik berseragam serba merah.

"Nah, bapak-bapak dan ibu-ibu, dan para remaja sahabat Kami. Jadi demikian progam dan target dari partai. Jadi jangan lupa nanti contreng nomor......." teriak lantang lelaki itu yang disusul jawaban  serentak warga bagai chorus sebuah vocal group.

Sebelum Dzuhur kegiatan kampanye partai dan calegnya pun bubar setelah diakhiri dengan pembagian sembako berupa minyak goreng, beras dan gula.  Senyum warga partisipan kampanye pun mengembang. Tidak terkecuali para perempuan dewasa anggota komite sekolah yang memang sengaja  menyasar  kegiatan  yang hanya ramai jelang Pemilihan Umum (Pemilu) lima tahunan sekali.  

Sambil menenteng tas kain berlogo partai yang berisikan sembako, para perempuan itu tersenyum sumringah serta tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih kepada sang Caleg maupun kader partai yang telah menyelenggarakan kampanye.

"Mpok Ani,  makacih ya udah diajak kemari. Tadinya Saya sudah hopeless deh kagak kebagian Bansos lagi," ujar Mama Raffi sambil menepuk-nepuk bahu orang yang paling ditunggu tadi pagi.

"Lha Saya juga terima kasih ya Mpok Ani,  apalagi Saya cuma punya KTP musiman. Boro-boro sembako,  kalo ada Posyandu atau fogging aja rumah kontrakan Saya dilewati," timpal Mbak Pur  sambil melakukan hal yang sama seperti dilakukan Mama Raffi.

Oalah, kalau suamiku  sih  ndak pilih-pilih.  Semua warga pasti ta beri tahu ada Posyandu, Poslansia atau juga fogging.  Bansos juga  dibagikan kok Mbak, asal sesuai kriteria dan cukup punya surat domisili,"  jelas Bu RT merasa tersentil dengan ucapan Mbak Pur. Mpok Ani  tertawa-tawa kecil mendengar komentar para koleganya. Kemudian dari tas kain yang berisi sembako tadi dia mengeluarkan  amplop coklat berisi uang kertas Rp20 ribu-an. Uang tersebut segera dibagikan kepada  sohibnya masing-masing dua lembar.

"Udeh ye sorang empatpuluh!  Ini cume kite-kite aje yang dapet, jadi jangang bilang-bilang  sama yang bukan komite, jelas pok Ani sambil tersenyum bangga karena berhasil melakukan negosiasi dengan panitia kampanye supaya diberikan transport bagi rombongannya.

Para ibu rumah tangga itu serempak kembali mengucapkan terima kasih kepada Mpok Ani.  Tidak sedikit juga yang memuji-muji kecakapannya menemukan 'info' dan sumber tambahan masukan keluarga. Pokoknya bagi mereka Mpok Ani sosok yang Top Markotop.

"Eh inget nih, Kamis sore ba'da Ashar  di GOR  dekat kecamatan.  Tapi pakai baju warna kuning ye, jangan warna lain!" pesan Mpok Ani sebelum rombongan ibu komite sekolah itu bubaran.

"Wah, aman deh ya dapur Kita sampai dua bulan ke depan kalau ikut Mpok Ani. Namanya juga Pawabg Bansos," sahut Mama Raffi sambil kembali menepuk-nepuk bahu  perempuan berkulit gelap.

"Lha memangnya kenapa  Mama Raffi? Bukannya  anak situ dapat KJP sama bansos beras?" tanya Mbak Pur dengan logat khas Brebes.

"Oalah Mbak Pur.  Ndak dapat info toh kalau bantuan-bantuan itu sedang mampet. Malah ada banyak warga ndak terdaftar lagi di DTKS alias dicoret. Gaul to Mbak," respon Bu RT  sebelum yang ditanya menjawab.

"Iye Mbak Pur. Kabarnye ampir enam juta orang penerima bansos lagi dtinjau ulang," tambah Mpok Ani.

"Makanya tuh, Kita kudu cari partai, caleg atau orang-orang yang mau bagi-bagi bantuan buat warga suseh seperti Kite.  Mau sembako, mau duit, Kite ambil aje  supaye dapur terus ngebul,"  lanjut Mpok Ani.

"Oo bansosnya  ke kampanye ya?" gumam Mbak Pur.

"Oalah mana ada yang tahu toh Mbak Pur.  Pokoknya  Kita kompakan saja njih.  Ndak apa-apa toh Kita  bukan cuma jadi komite sekolah, tapi juga jadi komite pemburu kampanye,"ujar Bu RT sambil mengusapkan tisu ke seluruh wajahnya yang basah karena keringat.

"KPK dong," celetuk Mama Raffi yang disusul tawa riang semua perempuan berpakaian serba merah.

Bersamaan dengan itu muncul Bang Adul dengan motor Vespa tua kesayangannya menjemput istri tercinta.  Mpok Ani segera naik  ke bangku belakang sambil berpesan  untuk agenda mereka berikutnya.  Bang Abdul enggan mematikan mesin motor produksi Italy, alasannya  susah  menghidupkan kembali.   Bising knalpot motor antik itu membuat Mpok Ani harus berteriak keras.

"Inget ya, Kamis  sore  baju kuning, Minggu pagi baju biru ye!" teriaknya.

"Wah, mesti punya baju warna-warni dong. Putih aja tak bisa ya Mpok?" tanya Mbak Pur.

""Yang berwarne putih atau item kagak ada duitnye!" jawab Mpok Ani ...begitu ucapan terakhir Mpok Ani karena suaminya sudah mulai tancap gas. Akhir sebuah letupan keras disertai asap hitam yang mengepul dari knalpot motor Bang Adul  membubarkan rombongan KPK.

Lenteng Agung, 21 Jumadil Awwal 1445H / 4 Desember 2023M
Magista Studio Jakarta

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun