Mohon tunggu...
Ariya Hadi Paula
Ariya Hadi Paula Mohon Tunggu... Penulis - Fiksionis, jurnalis independen dan kolomnis sosial humaniora

Ariya hadi paula adalah Alumni IISIP Jakarta. Pernah bekerja sebagai desainer grafis (artistik) di Tabloid Paron, Power, Gossip, majalah sportif dan PT Virgo Putra Film .Jurnalis Harian Dialog, Tabloid Jihad dan majalah Birokrasi. Penikmat berat radio siaran teresterial, menyukai pengamatan atas langit, bintang, tata surya dan astronomi hingga bergabung dengan Himpunan Astronom Amatir Jakarta (HAAJ) dan komunitas BETA UFO sebagai Skylover. Saat ini aktif sebagai pengurus Masyarakat Peduli Peradaban dan dakwah Al Madania Bogor.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mudik

18 Mei 2022   11:52 Diperbarui: 5 September 2024   09:32 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kakek, katanya lirih sambil memeluk si lelaki tua yang masih bingung atas apa yang sedang terjadi.

"Ah, Kamu Erdhin?" tanya si kakek menerka.

Remaja itu melepas pelukannya lalu mengangguk pelan mengiyakan. Giliran kakek itu yang memeluk remaja yang ternyata cucunya.  Diungkapkannya rasa syukur dan bangga karena cucunya semata wayang telah juga menjadi santri di pondok pesantren.

"Bagaimana kabar Mamakmu Nak?" tanya Kakek.

Erdhin tidak menjawab malah menuju kedua santri tadi untuk megucapkan terima kasih lalu mengambil alih ransel kakeknya. Setelah menyampaikan pesan sesuatu, Erdhin segera mengajak sang kakek meninggalkan pondok dan menuju rumah tinggal dia dan ibunya di samping kompleks pesantren.

Dalam perjalanan yang sebentar  itu, tidak ada sepatah kata pun keluar dari keduanya.   Erdhin membuka pintu rumah yang tak terkunci.  Kemudian menggelar sebuah karpet yang sebelumnya tergulung di pojok ruangan.  Tidak ada bangku dan meja di dalam rumah kecil  ukuran tiga kali delapan meter tersebut, begitu juga tak ada radio, pesawat televisi maupun barang elektronik lainnya.  Tanpa dipersilahkan, Kakek segera merebahkan tubuhnya di atas karpet karena merasa lelah dan kantuk yang mulai menyerang.

Erdhin segera memasak air panas dengan kompor gas satu tungku yang tampaknya harta satu-satunya yang terdapat di rumah itu.  Lalu dibuatlah segelas teh tanpa gula untuk disuguhkan kepada sang kakek.  Namun belum sampai gelas disuguhkan, tiba-tiba sang kakek bangun dari rebahnya  penuh semangat.

"Erdhin! Mamakmu mana?" tanya kakek

Yang ditanya segera duduk bersila di hadapan sang kakek. Erdhin tak langsung menjawab pertanyaan itu tapi malah memandang tajam lelaki tua itu dengan mata berkaca-kaca.  Menerima tatapan  bersirat kepedihan membuat keheranan mulai menyelimuti perasaan kakek.

"Mamak meninggal Kek, sehabis lebaran tahun lalu Kek," ujar Erdhin pelan memberanikan diri menjawab.

Kakek tertegun tanpa ekspresi menunjukkan dia tak dapat menerima dan memahami pernyataan cucuya.  Namun sebentar kemudian air mata meleleh di atas kedua pipinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun