•   Ketiga, penganut Ahmadiyah yang tidak mengindahkan peringatan sebagaimana dimaksud pada Diktum kesatu dan Diktum kedua dapat dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
•   Keempat, memerintahkan kepada masyarakat setempat untuk menjaga dan memelihara kerukunan umat beragama dengan tidak melakukan tindakan melawan hukum terhadap penganut Jemaat Ahmadiyah Indonesia.
•   Kelima, bagi warga yang tidak mengindahkan peringatan sebagaimana dimaksud pada Diktum kesatu dan Diktum kedua akan diberikan sanksi sesuai aturan perundang-undangan.
•   Keenam, memerintahkan kepada aparat/pemerintah daerah setempat untuk melakukan langkah-langkah pembinaan dalam rangka pengamanan dan pengawasan pelaksanaan keputusan bersama.
Jika kita melihat fenomena yang ada, SKB ini kerap kali disalah artikan dan justru dapat menjadi salah satu akar pemicu diskriminasi yang terus dialami oleh penganut Ahmadiyah.
Bahkan dalam prakteknya, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mendesak pemerintah agar mencabut SKB tersebut apabila negara memang memprioritaskan HAM dan hukum. Choirul Anam, Komisioner Komnas HAM, saat jumpa pers virtual pada Senin (6/9) lalu menyatakan bahwa SKB harus dicabut sebagai bentuk komitmen negara terhadap HAM. Salah satu jalan keluar paling bijak yang dapat ditempuh ialah mengkaji kembali SKB tersebut dan cari solusi terkait Ahmadiyah.
Sangat dipertanyakan mengapa negara bisa membiarkan peristiwa kekerasan atau diskriminasi itu berlangsung berlarut-larut. Jika kita teliti lebih dalam, dapat dikatakan bahwa salah satu faktor utama berkembangnya kekerasan tersebut disebabkan oleh keabsenan negara dalam menegakkan kebebasan politik multikultural atau menjaga perbedaan dan kemajemukan masyarakat, sehingga proteksi terhadap hak-hak minoritas sulit untuk direalisasikan.
Saat ini, bagaimana bangsa mengatur pluralitas dan kemajemukan masyarakat serta merumuskan kebijakan integrasi sosial dengan tetap memperhatikan hak- hak minoritas masih merupakan masalah penting dalam sebuah negara, terutama Indonesia, sebuah negara yang multikutural secara etnik, agama, bahasa, dan budaya. Hal ini karena masyarakat saat ini, selain memang sangat kompleks, juga kondisi sosial yang mengalami romantisme dan kebanggaan terhadap identitas kebudayaannya. Oleh karena itu, negara perlu sangat hati-hati dalam menghadapi meningkatnya klaim-klaim identitas dari banyaknya kelompok tersebut.
Negara cukup terombang-ambing antara melaksanakan kewajiban konstitusional untuk memberikan jaminan kepada warga negara dalam menjalankan keyakinan keagamaan sebagaimana tercantum dalam Pasal 29 UUD 1945. Di lain sisi, desakan massa anti-Ahmadiyah yang semakin kuat secara politik dengan menyerukan pembubaran jamaat Ahmadiyah secara tegas. Tidak seperti ekspektasi pemerintahan Indonesia yang tentram dan diaminkan oleh seluruh golongan masyarakat, Indonesia pasca-Orde Baru justru tidak pernah sepi dari perseteruan.
Apabila dibandingkan dengan periode terdahulu, saat ini partai politik serta kelompok kepentingan lainnya memiliki andil dan pengaruh yang jauh lebih besar dalam proses pembuatan kebijakan. Dalam situasi ini, mulai muncul berbagai kebijakan yang intinya melarang kegiatan Ahmadiyah di Indonesia. Lengkaplah sudah posisi kelompok Ahmadiyah ditekan dari berbagai arah, yakni oleh kelompok anti-Ahmadiyah dikejar-kejar, sementara oleh pemerintah dipaksa bubar. Apa yang dialami oleh Ahmadiyah sebagaimana diilustrasikan tersebut adalah praktik minoritisasi, kasus yang masih terus menimbulkan kontroversi sampai sekarang.
Kalau menilik sejarah Ahmadiyah di Indonesia, perjalanan organisasi ini awalnya justru lancar dan tidak menghadapi kendala berarti. Ahmadiyah awalnya masuk dan berdiri di Indonesia sejak tahun 1925, lalu pada tahun 1953 mendapatkan status legal langsung dari pemerintah sebagai organisasi sosial kemasyarakatan dengan nama Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI).