Mohon tunggu...
Arisya Nabillah
Arisya Nabillah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Arab Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Seorang INTP-J yang antusias dalam seni, desain maupun mengelola media sosial. Berpengalaman dalam berbagai organisasi internal maupun eksternal kampus.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Dialektika Minoritas Jemaat Ahmadiyah dalam Harmonisasi Keberagaman Indonesia

29 Juni 2022   15:02 Diperbarui: 1 Juli 2022   00:18 894
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto : Shutterstock 

Setiap warga negara memiliki hak untuk mengekspresikan diri di ruang publik, bebas berpendapat, dan kebebasan beragama. Atas hal ini, Indonesia sebagai negara yang mengusung prinsip demokrasi dalam dasar sistem negara seharusnya dapat dilihat sebagai rumah bersama yang mendamaikan. Sayangnya, tak dapat dipungkiri bahwa masih ada problematika muram yang turut mewarnai perjalanan bangsa Indonesia sampai detik ini, yakni diskriminasi terkait kelompok minoritas.

Persoalan identitas agama rupanya masih relevan untuk  dikaji hingga hari ini.  Bak mata pisau, ia memiliki dua sisi yang berlawanan. Di satu sisi identitas dapat berfungsi menjadi penanda baik secara pribadi maupun suatu kelompok dalam masyarakat. Namun, di sisi lain identitas tersebut berpeluang memicu konflik. 

Semakin maraknya fenomena sosial yang terjadi di akhir-akhir ini berupa konflik etnis dan agama dapat mengindikasi bahwa identitas agama merupakan salah satu aspek yang kadar sensistivitasnya sangat tinggi serta memiliki pengaruh yang besar untuk menarik orang terjebak dalam aksi kekerasan dan anarkis. sejarah konflik antar umat beragama di Indonesia sebenarnya telah ada sejak lama. Konflik ini tidak hanya terjadi antar umat agama yang berbeda, akan tetapi juga antar umat dalam agama yang sama. 

Di zaman dengan kebijakan dan pola pikir yang semakin maju seperti saat ini, data menunjukkan bahwa dalam kurun waktu dua dekade, identitas agama masih menjadi pemicu konflik ataupun tindakan kekerasan yang terjadi di sejumlah daerah di Indonesia.

Dalam unggahan ini saya ingin menonjolkan perihal diskriminasi identitas terhadap kelompok minoritas dalam keberagaman multikultural, yakni Jemaat Ahmadiyah. Hal ini terjadi seiring dengan keluarnya Fatwa sesat terhadap Ahmadiyah oleh Rabithah Alam Islami, sebuah organisasi yang beranggotakan wakil-wakil dari negara Muslim (biasanya terdiri dari tokoh atau pemimpin organisasi Islam) di Makkah, Arab Saudi pada tahun 1973.

Tak lama setelah itu, Organisasi Konferensi Islam atau yang biasa dikenal OKI, pada 1974 mengusungkan keputusan :

(1) Setiap lembaga Islam harus melokalisir kegiatan Ahmadiyah dalam tempat ibadah, sekolah, panti dan semua tempat kegiatan mereka yang destruktif

(2) Menyatakan Ahmadiyah sebagai kafir dan keluar dari Islam

(3) memutuskan segala hubungan bisnis dengan Ahmadiyah

(4) Mendesak pemerintah-pemerintah Islam untuk melarang setiap kegiatan pengikut Mirza Ghulam Ahmad dan menganggap mereka sebagai minoritas non-Islam.

Terhitung sejak ultimatum itu dikeluarkan, mulai bermunculan berbagai fatwa yang serupa di negara-negara Muslim lainnya seperti di Malaysia, Brunei Darussalam, dan Pakistan. Bahkan di Pakistan, sejak 1984 Ahmadiyah telah dikategorikan sebagai agama tersendiri.

Hal tersebut disebabkan oleh pemikiran pokok yang mereka pegang menyimpang dari hukum dan syariat islam. Yang paling menonjol ialah perbedaan prinsip berkenaan dengan keyakinan Ahmadiyah bahwa pendirinya, Mirza Ghulam Ahmad, merupakan nabi penerus. 

Pandangan ini jelas amat bertolak belakang dengan keyakinan yang sudah disepakati umat Islam bahwa Nabi Muhammad adalah nabi terakhir, suatu keyakinan yang 'sakral'. Umat Islam pada umumnya telah menganggap pandangan pengikut Ahmadiyah mengenai Mirza Ghulam Ahmad (sang pendiri organisasi tersebut) menyimpang dari ajaran Islam yang disampaikan oleh Muhammad sebagai nabi terakhir sekaligus penutup umat islam (khatam an-nabiyyin).

Saya rasa masalah kenabian dalam Islam maupun agama lainnya tidak hanya bersifat fundamental bagi para penganutnya, tetapi juga menimbulkan penafsiran yang rawan menimbulkan konflik melintang di dalam kelompok-kelompok keagamaan besar yang ada. Hingga saat ini, masalah tersebut tetap dianggap belum tuntas dan kerap menjadi perselisihan internal, Khususnya di dalam dunia Islam. Sebab kenabian merupakan pokok inti keimanan, manakala terjadi penyimpangan pemahaman oleh individu maupun kelompok, konsekuensi yang di dapatkan akan sangat serius.

Meskipun penganut Ahmadiyah tetap meyakini bahwa tiada wahyu yang sah setelah Al-Quran yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW, perbedaan seputar kenabian itu tentu masih memunculkan berbagai prasangka tentang Ahmadiyah. Pada akhirnya berbagai otoritas keulamaan, termasuk Majelis Ulama Indonesia (MUI), mengeluarkan fatwa bahwa Ahmadiyah adalah sesat. Fatwa MUI ini bahkan telah dibuat dua kali, yaitu pada tahun 1980 dan 2005.

Menanggapi polemik ini, Jafrullah Ahmad Pontoh, seorang juru Jemaat Ahmadiyah Indonesia, menegaskan bahwa agama adalah milik Tuhan, tidak ada yang bisa menyuruh orang membubarkan atau membuat agama. Ahmadiyah pun merasa masih tetap bagian dari Islam karena rukun Iman dan Islam yang diajarkan sama sebagaimana ajaran Nabi Muhammad SAW. Menurut pengakuan mereka, Kitab sucinya, Tadzkirah hanyalah kumpulan berbagai tulisan Jemaat Ahmadiyah Indonesia yang dikompilasi menjadi satu buku. Perihal pembubaran, Jemaat Ahmadiyah Indonesia berpandangan bahwa pembubaran di negara hukum tentunya berkaitan dengan tindak kriminal dan Jemaat Ahmadiyah Indonesia tidak melakukan tindak kriminal.

Namun tak dapat dipungkiri, seiringan dengan fatwa MUI yang beredar, kelompok-kelompok anti-Ahmadiyah tetap maju secara terang-terangan dan menggunakan caranya sendiri untuk membubarkan jamaat Ahmadiyah dengan tegas bahkan sampai menggunakan kekerasan.

Insiden ini berawal ketika Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) mengadakan pertemuan tahunan di Bogor, Jawa Barat. Mereka menyatakan bahwa mereka telah menerima izin dari pihak kepolisian untuk melakukan pertemuan pada tanggal 15 Juli 2005.
Namun demikian, konferensi ini diserang oleh beberapa kelompok Islam, yaitu Front Pembela Islam (FPI, Front Pembela Islam) dan Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI). dapat dikatakan, menginjak tahun 2005, kehidupan pengikut Ahmadiyah di Indonesia tidak lagi aman. Deretan kasus-kasus kekerasan dan rasialisme yang tertuju kepada Jamaah Ahmadiyah Indonesia menunjukkan bahwa negara belum bisa melindungi memenuhi hak-hak mereka sebagai kelompok minoritas.

Diantara bentuk wujud diskriminasi nyata yang dilakukan adalah peristiwa kerusuhan pada Senin (6/10/11) di rumah pengikut Jemaat Ahmadiyah, Suparman di Kampung Pasir Peuteuy, Cikeusik, Pandeglang. Hal tersebut diakibatkan oleh Pemerintah Provinsi Banten yang melarang aktifitas Ahmadiyah di wilayah Banten dan mengakibatkan 3 orang tewas, 8 orang luka parah dan ringan.

Sumber foto : Flickr
Sumber foto : Flickr
Selain itu, terjadi perusakan tempat ibadah Jemaah Ahmadiyah pada Jumat (3/9/2021) dimana ratusan warga merusak dan bahkan membakar sejumlah bangunan milik jemaah Ahmadiyah di Desa Balai Harapan, Sintang, Kalimantan Barat sehingga menyebabkan 72 jiwa terpaksa di evakuasi. menyusul kasus penyegelan masjid dan segala praktik kegiatan Ahmadiyah oleh Satpol PP di Sawangan, Depok pada Jumat (22/10/2021).

Sumber foto : CNN Indonesia
Sumber foto : CNN Indonesia
Semua kerusuhan ini sebenarnya bermuara dari kurangnya pemahaman memadai masyarakat terkait SKB tiga Menteri tahun 2008 tentang Ahmadiyah yang menyatakan :


•    Pertama, memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga masyarakat Ahmadiyah untuk tidak menceritakan, menganjurkan, atau mengusahakan dukungan umum, melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia, atau melakukan kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan keagamaan dari agama yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.

•    Kedua, memberi peringatan dan memerintahkan penganut, anggota dan anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) sepanjang mengaku beragama Islam, untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama Islam yaitu penyebaran faham yang mengakui adanya nabi dengan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW.

•    Ketiga, penganut Ahmadiyah yang tidak mengindahkan peringatan sebagaimana dimaksud pada Diktum kesatu dan Diktum kedua dapat dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

•    Keempat, memerintahkan kepada masyarakat setempat untuk menjaga dan memelihara kerukunan umat beragama dengan tidak melakukan tindakan melawan hukum terhadap penganut Jemaat Ahmadiyah Indonesia.


•    Kelima, bagi warga yang tidak mengindahkan peringatan sebagaimana dimaksud pada Diktum kesatu dan Diktum kedua akan diberikan sanksi sesuai aturan perundang-undangan.

•    Keenam, memerintahkan kepada aparat/pemerintah daerah setempat untuk melakukan langkah-langkah pembinaan dalam rangka pengamanan dan pengawasan pelaksanaan keputusan bersama.

Jika kita melihat fenomena yang ada, SKB ini kerap kali disalah artikan dan justru dapat menjadi salah satu akar pemicu diskriminasi yang terus dialami oleh penganut Ahmadiyah.

Bahkan dalam prakteknya, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mendesak pemerintah agar mencabut SKB tersebut apabila negara memang memprioritaskan HAM dan hukum. Choirul Anam, Komisioner Komnas HAM, saat jumpa pers virtual pada Senin (6/9) lalu menyatakan bahwa SKB harus dicabut sebagai bentuk komitmen negara terhadap HAM. Salah satu jalan keluar paling bijak yang dapat ditempuh ialah mengkaji kembali SKB tersebut dan cari solusi terkait Ahmadiyah.

Sangat dipertanyakan mengapa negara bisa membiarkan peristiwa kekerasan atau diskriminasi itu berlangsung berlarut-larut. Jika kita teliti lebih dalam, dapat dikatakan bahwa salah satu faktor utama berkembangnya kekerasan tersebut disebabkan oleh keabsenan negara dalam menegakkan kebebasan politik multikultural atau menjaga perbedaan dan kemajemukan masyarakat, sehingga proteksi terhadap hak-hak minoritas sulit untuk direalisasikan.

Saat ini, bagaimana bangsa mengatur pluralitas dan kemajemukan masyarakat serta merumuskan kebijakan integrasi sosial dengan tetap memperhatikan hak- hak minoritas masih merupakan masalah penting dalam sebuah negara, terutama Indonesia, sebuah negara yang multikutural secara etnik, agama, bahasa, dan budaya. Hal ini karena masyarakat saat ini, selain memang sangat kompleks, juga kondisi sosial yang mengalami romantisme dan kebanggaan terhadap identitas kebudayaannya. Oleh karena itu, negara perlu sangat hati-hati dalam menghadapi meningkatnya klaim-klaim identitas dari banyaknya kelompok tersebut.

Negara cukup terombang-ambing antara melaksanakan kewajiban konstitusional untuk memberikan jaminan kepada warga negara dalam menjalankan keyakinan keagamaan sebagaimana tercantum dalam Pasal 29 UUD 1945. Di lain sisi, desakan massa anti-Ahmadiyah yang semakin kuat secara politik dengan menyerukan pembubaran jamaat Ahmadiyah secara tegas. Tidak seperti ekspektasi pemerintahan Indonesia yang tentram dan diaminkan oleh seluruh golongan masyarakat, Indonesia pasca-Orde Baru justru tidak pernah sepi dari perseteruan.

Apabila dibandingkan dengan periode terdahulu, saat ini partai politik serta kelompok kepentingan lainnya memiliki andil dan pengaruh yang jauh lebih besar dalam proses pembuatan kebijakan. Dalam situasi ini, mulai muncul berbagai kebijakan yang intinya melarang kegiatan Ahmadiyah di Indonesia. Lengkaplah sudah posisi kelompok Ahmadiyah ditekan dari berbagai arah, yakni oleh kelompok anti-Ahmadiyah dikejar-kejar, sementara oleh pemerintah dipaksa bubar. Apa yang dialami oleh Ahmadiyah sebagaimana diilustrasikan tersebut adalah praktik minoritisasi, kasus yang masih terus menimbulkan kontroversi sampai sekarang.

Kalau menilik sejarah Ahmadiyah di Indonesia, perjalanan organisasi ini awalnya justru lancar dan tidak menghadapi kendala berarti. Ahmadiyah awalnya masuk dan berdiri di Indonesia sejak tahun 1925, lalu pada tahun 1953 mendapatkan status legal langsung dari pemerintah sebagai organisasi sosial kemasyarakatan dengan nama Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI).

Sumber foto : Flickr
Sumber foto : Flickr
Eksistensi dan status mereka selama masa Orde Baru cukup aman, karena mereka tidak pernah berseberangan dengan garis kebijakan pemerintah. Dalam bidang politik, legalitas Ahmadiyah nyaris tidak pernah terusik bahkan banyak pengikut Ahmadiyah yang mendapatkan kesempatan luas untuk terlibat kegiatan publik. Banyak dari mereka bekerja sebagai pegawai negeri. Sebuah Studi mengenai komunitas Ahmadiyah di pedesaan Cianjur menunjukkan bukti keaktifan tokoh-tokoh Ahmadiyah dalam kegiatan politik dan pemerintahan desa setempat. Sangat kontras jika dibandingkan dengan keadaan belakangan ini dimana status hukum dan politik yang didapatkan oleh Ahmadiyah sangat dibatasi.

Indonesia sebenarnya telah melakukan upaya yang cukup baik untuk menjaga dan melindungi agama praktik bagi setiap warga negara. Dalam konstitusinya, pada tahun 1945 keragaman budaya dan agama di Indonesia telah diakui sepenuhnya. Selaras dengan UUD NKRI 1945 yang menempatkan HAM dalam porsi yang cukup signifikan sebagaimana tercantum dalam Pasal 28A sampai 28J. Dimana Pasal 28E ayat satu menegaskan bahwa setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya.

Hak kebebasan beragama juga dijamin dalam Pasal 29 ayat 2 UUD NKRI 1945, yang menyatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk dalam memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya. 

Hadirnya ratifikasi ICCPR dan juga penciptaan undang-undang tentang hak asasi manusia merupakan bukti lebih lanjut keseriusan pemerintah dalam hal ini. Dengan mempertimbangkan landasan tersebut, seharusnya sudah semakin jelas bahwa kekerasan dalam agama atau aktivitas apa pun yang melanggar kebebasan beragama seharusnya tidak terjadi di negara ini. Sayangnya, tidak selalu mudah bagi negara dalam memanifestasikan keinginannya untuk melakukan dengan baik ranah kewajiban moral dan hukum.
Realitas ini dapat dilihat dari beberapa kejadian mengenai pelanggaran HAM, khususnya mengenai masalah kebebasan beragama. Hingga hari ini, respons terhadap persoalan Ahmadiyah melalui kekerasan serta main hakim sendiri masih tidak dapat dibenarkan. Kebijaksanaan SKB untuk melindungi kedua belah pihak harus dilaksanakan dengan patuh, atau bahkan dirancang ulang agar menemukan titik terang.

Baik JAI maupun masyarakat Muslim mayoritas harus saling menjaga batasan masing-masing dan menghindari hal yang anarkis. Pada akhirnya hingga saat ini, kebebasan beragama di Indonesia masih memiliki banyak tantangan, namun upaya tidak hanya ditegakkan oleh aparat pemerintah, namun juga kita sebagai warga negara yang harus memiliki komitmen serius terhadap semua kebijakan pemerintah. Kita tentulah harus taat terhadap norma sosial yang berlaku sebagai upaya menjembatani perbedaan yang ada dan saling menjaga agar perbedaan tersebut tidak menimbulkan konflik bahkan kekerasan di lain hari.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun