Hal tersebut disebabkan oleh pemikiran pokok yang mereka pegang menyimpang dari hukum dan syariat islam. Yang paling menonjol ialah perbedaan prinsip berkenaan dengan keyakinan Ahmadiyah bahwa pendirinya, Mirza Ghulam Ahmad, merupakan nabi penerus.Â
Pandangan ini jelas amat bertolak belakang dengan keyakinan yang sudah disepakati umat Islam bahwa Nabi Muhammad adalah nabi terakhir, suatu keyakinan yang 'sakral'. Umat Islam pada umumnya telah menganggap pandangan pengikut Ahmadiyah mengenai Mirza Ghulam Ahmad (sang pendiri organisasi tersebut) menyimpang dari ajaran Islam yang disampaikan oleh Muhammad sebagai nabi terakhir sekaligus penutup umat islam (khatam an-nabiyyin).
Saya rasa masalah kenabian dalam Islam maupun agama lainnya tidak hanya bersifat fundamental bagi para penganutnya, tetapi juga menimbulkan penafsiran yang rawan menimbulkan konflik melintang di dalam kelompok-kelompok keagamaan besar yang ada. Hingga saat ini, masalah tersebut tetap dianggap belum tuntas dan kerap menjadi perselisihan internal, Khususnya di dalam dunia Islam. Sebab kenabian merupakan pokok inti keimanan, manakala terjadi penyimpangan pemahaman oleh individu maupun kelompok, konsekuensi yang di dapatkan akan sangat serius.
Meskipun penganut Ahmadiyah tetap meyakini bahwa tiada wahyu yang sah setelah Al-Quran yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW, perbedaan seputar kenabian itu tentu masih memunculkan berbagai prasangka tentang Ahmadiyah. Pada akhirnya berbagai otoritas keulamaan, termasuk Majelis Ulama Indonesia (MUI), mengeluarkan fatwa bahwa Ahmadiyah adalah sesat. Fatwa MUI ini bahkan telah dibuat dua kali, yaitu pada tahun 1980 dan 2005.
Menanggapi polemik ini, Jafrullah Ahmad Pontoh, seorang juru Jemaat Ahmadiyah Indonesia, menegaskan bahwa agama adalah milik Tuhan, tidak ada yang bisa menyuruh orang membubarkan atau membuat agama. Ahmadiyah pun merasa masih tetap bagian dari Islam karena rukun Iman dan Islam yang diajarkan sama sebagaimana ajaran Nabi Muhammad SAW. Menurut pengakuan mereka, Kitab sucinya, Tadzkirah hanyalah kumpulan berbagai tulisan Jemaat Ahmadiyah Indonesia yang dikompilasi menjadi satu buku. Perihal pembubaran, Jemaat Ahmadiyah Indonesia berpandangan bahwa pembubaran di negara hukum tentunya berkaitan dengan tindak kriminal dan Jemaat Ahmadiyah Indonesia tidak melakukan tindak kriminal.
Namun tak dapat dipungkiri, seiringan dengan fatwa MUI yang beredar, kelompok-kelompok anti-Ahmadiyah tetap maju secara terang-terangan dan menggunakan caranya sendiri untuk membubarkan jamaat Ahmadiyah dengan tegas bahkan sampai menggunakan kekerasan.
Insiden ini berawal ketika Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) mengadakan pertemuan tahunan di Bogor, Jawa Barat. Mereka menyatakan bahwa mereka telah menerima izin dari pihak kepolisian untuk melakukan pertemuan pada tanggal 15 Juli 2005.
Namun demikian, konferensi ini diserang oleh beberapa kelompok Islam, yaitu Front Pembela Islam (FPI, Front Pembela Islam) dan Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI). dapat dikatakan, menginjak tahun 2005, kehidupan pengikut Ahmadiyah di Indonesia tidak lagi aman. Deretan kasus-kasus kekerasan dan rasialisme yang tertuju kepada Jamaah Ahmadiyah Indonesia menunjukkan bahwa negara belum bisa melindungi memenuhi hak-hak mereka sebagai kelompok minoritas.
Diantara bentuk wujud diskriminasi nyata yang dilakukan adalah peristiwa kerusuhan pada Senin (6/10/11) di rumah pengikut Jemaat Ahmadiyah, Suparman di Kampung Pasir Peuteuy, Cikeusik, Pandeglang. Hal tersebut diakibatkan oleh Pemerintah Provinsi Banten yang melarang aktifitas Ahmadiyah di wilayah Banten dan mengakibatkan 3 orang tewas, 8 orang luka parah dan ringan.
Selain itu, terjadi perusakan tempat ibadah Jemaah Ahmadiyah pada Jumat (3/9/2021) dimana ratusan warga merusak dan bahkan membakar sejumlah bangunan milik jemaah Ahmadiyah di Desa Balai Harapan, Sintang, Kalimantan Barat sehingga menyebabkan 72 jiwa terpaksa di evakuasi. menyusul kasus penyegelan masjid dan segala praktik kegiatan Ahmadiyah oleh Satpol PP di Sawangan, Depok pada Jumat (22/10/2021).
Semua kerusuhan ini sebenarnya bermuara dari kurangnya pemahaman memadai masyarakat terkait SKB tiga Menteri tahun 2008 tentang Ahmadiyah yang menyatakan :
•   Pertama, memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga masyarakat Ahmadiyah untuk tidak menceritakan, menganjurkan, atau mengusahakan dukungan umum, melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia, atau melakukan kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan keagamaan dari agama yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.
•   Kedua, memberi peringatan dan memerintahkan penganut, anggota dan anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) sepanjang mengaku beragama Islam, untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama Islam yaitu penyebaran faham yang mengakui adanya nabi dengan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW.