Mohon tunggu...
Aris  Pulsar
Aris Pulsar Mohon Tunggu... Freelancer - Traveler, Writer

Enjoy Life

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Penghianat atau Pahlawan

28 Agustus 2022   10:49 Diperbarui: 28 Agustus 2022   10:54 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pagi masih diselimuti kabut tebal menghalangi pandangan bentang sawah menghijau, dua bulan sudah sejak masa tanam,  padi padi itu tumbuh subur menyeruak perlahan menggapai langit, tak ada kicau burung sebab hawa sejuk membawa kedamaian, sayang untuk dilewatkan begitu saja.

Selepas shubuh, Amir duduk di samping rumah berbatas pematang sawah, ada rasa gundah yang tak tertahan sejak sore kemarin. Semalaman dia tak juga dapat memicingkan mata. Pikirannya menembus ke belantara entah berantah, berkecamuk. Ayat-ayat suci dibacanya sejak sepertiga malam tak jua mampu meredam gelisahnya.

" Amir..apa yang kamu lakukan disitu, nak? Ibunya menyapa dengan tersenyum, melangkah dari arah samping sembari membawa secangkir kopi panas.

" Semalam Ibu mendengar kamu mengaji sampai selepas subuh, sepertinya niat kamu untuk menikahi Nadya sudah bulat yaa..." ujar ibunya gembira.

" Entah lah mak, Amir tidak bisa tidur semalam " ujarnya singkat seolah menyembunyikan sesuatu.

" Teruslah berdoa kepada Allah nak, apapun itu semua sudah ketentuanNya" Ibunya menasehati sambil meninggalkan Amir.

Amir masih memandangi sawah yang perlahan mulai menampakkan kecantikannya seiring kabut tipis memudah oleh terpaan sinar lembut matahari. Tak lama berselang Amir dikejutkan oleh suara sepeda motor yang menderu, milik sahabatnya Umar. Amir berdiri melangkah menyambut Umar dengan rasa bahagia.

" Assalamualaikum" Sapa Umar

" Waalaikumsalam, waktu yang tepat Umar mari kita ngopi sejenak "  Jawab Amir seraya menjabat tangan dan memeluk Umar sahabat kecilnya.

" Tunggu sebentar "  Amir bergegas masuk ke rumah meminta Ibunya untukmembuatkan kopi.

Umar menyalami dan mencium tangan Ibu Amir seraya menerima secangkir kopi. Umar sudah menganggap beliau juga adalah Ibunya sendiri karena memang sejak kecil Umar dan Amir seperti kakak beradik. Mereka tumbuh berkembang bersama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun