Kondisi sebaliknya dialami oleh rakyat yang diatur oleh hukum. Hampir tak ada celah hukum yang bisa dimanfaatkan oleh rakyat sebagai jalan untuk counter attack dalam menggapai kemerdekaannya. Rezim otoriter kala itu menutup rapat-rapat ruang kritik terhadap kekuasaan dengan konstruksi hukum yang tajam ke bawah.
Maka tak heran, ada banyak manusia yang—pada masa itu—mau menemani Adian Napitupulu dan Amien Rais untuk merebut kemerdekaan lewat mobilisasi massa pada tahun 1998, sekaligus mereformasi hukum serta ketatanegaraan Orde Baru yang menjadi preseden buruk di mata dunia.
Gerakan massa di medio 98 tersebut dengan sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang era Reformasi. Pranata hukum gaya Orde Baru perlahan direkonstruksi. Hak asasi manusia dan demokrasi pun jadi semangat utama dalam membentuk hukum.
Sebagaimana pembahasan di awal, pada era ini Indonesia justru terjebak dalam paradoks tanpa tepi. Membuka ruang-ruang kritik bagi rakyat tidak serta merta mengobati penyakit negara yang sering alpa hingga Projo dan Ahmad Dhani dapat panggung kolaborasi.
Varian kepentingan manusia yang beragam membuat hukum terdegradasi. Hukum yang tadinya dijadikan alat meraih kemerdekaan, kini tak jarang dijadikan alat meraih kepuasaan (sementara) semata. Hingga kemudian bermunculan asumsi bahwa hukum adalah produk politik yang kekuatannya sangat ditentukan oleh konstruksi politik yang melatarbelakangi. Tendensi publik yang menganggap hukum sebagai fasilitas pendukung politik semakin menguat.
“Law is politic, law exist only as an ideology.”
Demikianlah pandangan para penganut Critical Legal Study tentang sifat hukum yang berlaku di tengah masyarakat. Argumentasi bahwa hukum adalah produk politik tentunya tidak berdiri sendiri. Argumentasi tersebut dilahirkan dari fakta penegakan hukum yang kerap tajam ke bawah dan tumpul ke atas, terutama di Indonesia.
Jika reformasi hukum diukur dari produktifitas Program Legislasi Nasional, maka Indonesia termasuk kategori negara yang cukup berhasil. Ada 159 RUU dalam Prolegnas 2015-2019, ada 37 prioritas di tahun 2015 dan meningkat menjadi 40 di tahun selanjutnya. Ruaarbiyasaahh!!
Dalam praktiknya, keadilan dan kemerdekaan masyarakat masih disembunyikan di balik tembok-tembok hukum. Alih-alih selfie di Colosseum Roma, rakyat justru tergerus arus sungai Tiber, bahkan adapula yang berputar-putar di semenanjung Italia.
Blaem blaem sekali, bukan?
Sesekali penguasa juga memberikan ruang hukum bagi rakyat yang rindu kemerdekaan, dengan mendesain satu instrumen hukum agar membuat rakyat merasa berada dalam miniatur kota Roma. Subsidi dan bantuan materi yang dilegitimasi hukum juga dibuat oleh penguasa untuk meninabobokan mayoritas rakyatnya.