Banyak jalan menuju Roma. Kalimat tersebut bukan sekadar pepatah lama yang sangat akrab di mulut motivator arus utama, tetapi juga merupakan pepatah filosofis berdaya magis tinggi. Banyak kisah tentang jomblo yang sangat akrab dengan penolakan, namun tetap bergairah berkat pepatah magis ini, lho.
Untuk sampai ke Kota Roma (Italia), ada banyak pilihan jalur yang bisa kita ambil, tergantung darimana kita memulai perjalanan, tentunya. Kalau kita mau lebih iseng, kita bisa temukan fakta yang membuktikan kebenarannya.
Untuk sampai ke Kota Roma melalui jalur udara, kita bisa mendarat di Bandara Rome Ciampino ataupun Bandara Rome Fiumicino. Dua bandara tersebut setidaknya sudah menunjukkan fakta bahwa tak hanya satu jalan menuju Roma.
Selain jalur udara, kita juga bisa sampai di Kota Roma setelah menyusuri sungai Tiber atau melintasi Semenanjung Italia. Dengan demikian sudah amat tepat pepatah yang mengatakan bahwa banyak jalan menuju Roma.
Tak hanya menuju Roma, sejatinya ada banyak pula jalan untuk sampai ke kota-kota lain di dunia. Kenapa harus Roma?
Secara umum pepatah tersebut bisa dimaknai banyaknya cara untuk menggapai tujuan kita. Pemakaian kota Roma disebabkan pepatah ini memang dipopulerkan oleh orang Romawi yang mempunyai kebudayaan dan kehidupan yang sudah lebih maju pada jamannya.
Di samping itu, Kota Roma adalah pusat kebudayaan, ekonomi, perdagangan serta menjadi salah satu kutub kekuatan politik dunia pada jaman itu.
Sebagai pusat, Kota Roma juga memiliki tata ruang kota yang ruas jalannya sangat bercabang dan menuju ke segala arah di sekelilingnya. Bisa dikatakan semua mimpi masyarakat Romawi adalah Kota Roma.
Maka lahirlah pepatah tersebut dan dipahami oleh mayoritas dengan makna yang sama, disamping fakta bahwa banyak pula manusia yang mengejar mimpi di kota lain, Bekasi, misalnya.
Sederhana, bukan?
Sejak memasuki era reformasi, Indonesia seolah terjebak dalam paradoksitas demokrasi yang teramat kompleks. Demokrasi sejatinya memberikan kebebasan tiap individu untuk berekspresi dan berpendapat. Ironinya, masyarakat seolah terdikotomi oleh demokrasi itu sendiri.