Kabar San Wardan yang sedang sakit parah sebenarnya akan jadi sebuah kabar yang sangat biasa jika saja bajingan tua itu tidak pernah punya kisah bangkit dari kematian. Betul. Dia pernah mencicipi rasanya mati untuk kemudian bangkit lagi dalam tiga kesempatan. Tiga kematian, tiga kebangkitan. Saking terkenalnya kisah kesaktian San Wardan itu sampai-sampai ngehits di kalangan anak-anak dan menjadi satu kewajiban mereka untuk berteriak jika melihat San Wardan melintas: "Mbah San, satu kali lagi dapat payung!"
Dua puluh tahun lalu, San Wardan terjun bebas dari pohon kelapa ketika sedang melakoni laku, 40 hari 40 malam bergelantungan mirip kampret, hanya makan dan minum buah kelapa. Saat dilarikan ke Puskesmas tubuhnya masih bernyawa. Perdarahan dalam, kata mantri jaga yang sudah tidak bisa berbuat apa-apa melihat darah yang tidak berhenti keluar dari mulut, hidung dan telinganya. Memang betul, tidak berapa lama kemudian dia mati. Tapi pemakamannya tidak bisa dilakukan segera karena maghrib telah lewat. Maka, setelah selesai dikafankan, mayat disemayamkan di ruang tamu ditunggui tetangga dan kerabat.
Tepat tengah malam, kehebohan terjadi. Mayat San Wardan yang kafannya sudah melorot sampai ke bawah bijinya tiba-tiba sudah berdiri di atas amben tempat dia dibaringkan sebelumnya, dengan santai minta kepada seseorang yang berada di sana untuk membelikan bir angker dan kretek samsu.
Melihat kejadian yang kurang lazim itu tentu saja banyak orang ketakutan berebut adu cepat mencari pintu. Sebagian yang lain tinggal antara takut dan ingin tahu. Sementara si mayat tenang-tenang saja memandang berkeliling seperti ingin meyakinkan bahwa dirinya bukan hantu. Setelah keadaan hening, terdengarlah dia dengan nada suara keren berseru, "Satu!"
Kejadian ajaib itu awalnya dianggap tidak terlalu luar biasa sampai beberapa tahun kemudian datang kematian yang kedua. San Wardan mengalami muntah-muntah dan mencret-mencret hebat setelah menenggak bir oplosan bersama anak-anak muda di rumahnya. Dia pun modar saknaliko.
Saat itu tidak ada yang berpikir seseorang akan dapat bangkit lagi dari kematian setelah pernah mengalaminya. Jadi jasadnya diurus biasa saja tanpa prasangka. Tapi tepat ketika tengah digotong menuju pemakaman, keranda berisi mayit bergetar hebat hingga menghembalangkan empat orang yang menyangga. Yang menegangkan, dari dalam keranda terdengar suara San Wardan berteriak sambil tertawa tergelak-gelak, "Duaaaa!"
Kematian ketiganya datang saat si bangsat tua itu sedang "nylumbat" Mbak Suwarsih, pelacur. Rupa-rupanya jantung San Wardan tidak bisa mengimbangi hasrat menganunya. Dia tewas di menit-menit akhir ronde kedua.
Belajar dari pengalaman, orang-orang tentu mulai menduga-duga akan terjadi hal yang sama. Benar saja. Semua proses pengurusan mayat memang telah selesai dengan lancar, tapi di saat orang-orang sudah mulai lega hati dan bepikir bahwa San Wardan benar-benar telah mati, tepat sebelum liang kuburnya diuruk, mayat yang sudah dibaringkan di dasar liang batuk-batuk.
"Tiga, Wirrr! Tigaaaa!" terdengar teriakannya.
Banyak orang-orang alim dan sok bijak yang berpendapat, apa yang terjadi padanya adalah sebuah peringatan agar dia berubah jadi ahli syukur alih-alih menuduh banyaknya ilmu hitam yang pernah dipelajari San Wardanlah yang membuatnya sulit mati. Pastilah ada rahasia Tuhan dengan masih memberinya umur. Tapi mantan bromocorah itu cuek. Tetap saja kufur. Takabur pula. Katanya, ilmu hitam yang diamalkannya akan selalu menjauhkannya dari liang kubur hingga usianya 150 tahun atau minimal hingga belulangnya remuk sendiri dan burungnya sudah tidak bisa berdiri lagi. Dan kepada setiap orang yang memperingatkannya agar bisa hidup lebih baik lagi, perkataannya melantur.
"Malaikat kematian jeri," katanya terkekeh-kekeh geli. "Nyawaku memang sudah dibawa tiga kali, tapi di tengah jalan aku menghardiknya agar menghidupkanku lagi."
*****
Bagi saya dan Makmun, sakit San Wardan justru jadi obyek mengasyikkan. Akan mati benar-benar atau lagi-lagi bangkit, kami jadikan taruhan. Satu juta tiap orang. Awalnya itu memang ide kami, tapi kemudian banyak yang tertarik untuk ambil bagian.
"Mati!" kata saya percaya diri.
"Hidup lagi!" balas Makmun. Dari sekitar 20 orang di halaman rumah San Wardan, hanya saya sendiri yang punya pilihan lain. Sedikit gentar juga karena jika saya kalah, jujur, saya tidak punya uang lebih selain tabungan buat menjelang kawin. Saya sendirian melawan semua, jelas bukan main-main. Apalagi ludah tidak bisa dijilat kembali walaupun ingin.
"Berani?" tanya Makmun. Saya melamun. Masih tidak percaya jika seseorang akan dapat bangkit kembali, jika memang akibat sakitnya yang sekarang San Wardan benar-benar mati, empat kali beruntun.
"Berani!" jawab saya nekat. Begiu saja lalu taruhan ditetapkan.
Tapi malam itu tidak ada yang terjadi. San Wardan terdengar masih batuk-batuk hingga dini hari sewaktu akhirnya kami semua memutuskan untuk membubarkan diri.
*****
Penyesalan timbul kemudian. Bagaimana jika San Wardan dan ilmu hitamnya mampu membuktikan lagi satu keajaiban? Jika berada di posisi saya, yang ada dalam benak saya mungkin segera terpikirkan pula olah orang lain. Bayangan kekalahan yang menari-nari dalam kepala, pengaruh minuman keras semalam yang masih terasa, membuat saya kemudian menyiapkan sebuah rencana.
Saya akan mencekik orang tua yang sedang sakit itu untuk meyakinkan dia mati, lalu menyumpal kerongkongannya dengan potongan busa kasur. Dalam perhitungan saya, jika pun nanti dia mampu bangkit kembali, dia tidak akan bisa bernapas lagi sampai benar-benar mati.
Maka, siang itu saya mendatangi lagi rumah San Wardan. Potongan busa kasur bekas saya sembunyikan di balik pakaian. Kakek tua ajaib yang memilih hidup melajang itu selama ini hanya tinggal dengan seorang kemenakan. Rumahnya hanya ramai jika sore dan malam, itu pun hanya beberapa orang yang menjagainya bergantian. Kesempatan bagus seperti itu tidak akan saya sia-siakan.
Sesampai di sana, saya melihat beberapa orang sedang bercakap-cakap di halaman. Saya tidak mengenal mereka karena kemungkinan mereka adalah kerabat jauh San Wardan.
"Di mana Sugi?" basa-basi saya menanyakan si kemenakan sekaligus mencoba menyingkirkan rasa takut dan tidak nyaman. Rencana harus tetap  dilaksanakan.
"Ada di dalam," jawab salah satu dari mereka dengan ramah. Sedikit gugup saya masuk ke rumah. Sugi sedang menonton televisi di ruang tengah.
"Bagaimana dia?" tanya saya.
"Mendingan, Mas. Habis makan bubur tadi pagi langsung tidur lagi. Batuk juga hanya sesekali," jawab Sugi.
Saya mengangguk-angguk lalu duduk.
"Mau menengok? Masuk saja ke kamarnya, tidak dikunci kok."
Jantung saya berdebar kencang, ketakutan tiba-tiba menyerang lebih hebat ketika pelan-pelan pintu kamar San Wardan saya buka. Dia tergeletak di pembaringan. Bukan tidur. Bukan. karena matanya melotot dan dadanya sama sekali tidak bergerak. Kulit wajahnya seputih kertas.
Busa kasur bekas di balik pakaian sama sekali saya lupakan dan memilih berteriak memanggil Sugi.
*****
Kabar kematian San Wardan untuk keempat kalinya tersebar. Orang ramai mendatangi rumahnya lebih karena penasaran dengan apa yang akan terjadi. Apakah dia akan bangkit kembali atau malah sekaranglah waktunya dia benar-benar mati.
Hingga selesai dikuburkan, tidak ada tanda-tanda keajaiban akan berulang. Bahkan hingga orang-orang satu per satu meninggalkan kuburnya untuk pulang. Kali ini dia benar-benar mati, pikir saya senang.
Usai tahlilan hari pertama malam itu, masih tidak ada tanda-tanda kebangkitan. Berkali-kali beberapa orang diutus mendatangi kubur San Wardan, tapi asilnya tetap: kuburannya tidak rekah atau arwahnya gentayangan jadi setan. Tiada kebangkitan.
"Tidak ada yang bisa hidup kembali jika sudah ditimbun tanah berjam-jam," kata Makmun kecewa saat menyerahkan uang taruhan diikuti yang lain. Saya tertawa bahagia, tapi tidak lama. Tiba-tiba ada seseorang berlari-lari ke arah kami sambil berteriak-teriak, "San Wardan gentayangan!"
Orang itu, seorang pemuda yang tinggal di dekat kompleks pemakaman. Katanya, San Wardan tiba-tiba terlihat berjalan tertatih-tatih keluar dari kompleks pemakaman dengan menyeret-nyeret kain kafan. Wajahnya lebam-lebam, tubuhnya berdarah-darah penuh luka.
Makmun dan yang lainnya bersorak kegirangan seakan-akan cerita seajaib itu sama menyenangkannya dengan khayalan terliar mereka yang menjadi kenyataan: pengumuman pemerintah tentang tunjangan uang bulanan khusus pengangguran. Saya hanya tertegun sendirian. Jika kabar itu benar, bagaimana nasib uang yang bertahun-tahun saya kumpulkan untuk biaya perkawinan?
Sialan.
Begitulah. Empat kali San Wardan mati, empat kali dia bangkit lagi. Tapi sepertinya yang keempat inilah sebuah pencerahan bagi hidupnya. Sadar bahwa dirinya termasuk orang yang beruntung diberi kesempatan untuk memperbaiki kehidupannya berkali-kali, kini dia berubah jadi ahli ibadat, rajin salat dan selalu berkata kepada orang-orang bahwa dia ingin mencoba memperbaiki hidupnya yang maksiat. Kematian adalah keniscayaan, katanya, maka carilah bekal untuk akhirat selagi sempat.
Setiap teringat bahwa saya sempat berniat membunuhnya karena takut kalah bertaruh, saya bersyukur Tuhan masih melindungi. Uang untuk modal kawin memang habis, tapi peristiwa yang dialami San Wardan membuat saya tersadar dan mohon ampun atas dosa-dosa yang pernah saya perbuat. Semoga belum terlambat.
Tahukah kenapa hati saya tergerak untuk berubah jadi insan yang ingin hidup selamat dunia dan akhirat? Karena cerita San Wardan pada saya, dalam liang kubur dia telah didatangi dua malaikat. Tubuhnya disiksa, dicambuki, belulangnya ditekuk dan dilipat-lipat. Kata para penyiksanya itu, orang-orang kufur dan takabur seperti dia tidak akan pernah selamat hingga tiba hari kiamat. Itulah sebabnya, kata pertamanya setelah mampu bangkit dari kematiannya yang keempat bukanlah 'empat'. Dia hanya meneriakkan satu kata berkali-kali, "Tobaaat! Tobaaat!"
Cigugur,15 November 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H