Sesampai di sana, saya melihat beberapa orang sedang bercakap-cakap di halaman. Saya tidak mengenal mereka karena kemungkinan mereka adalah kerabat jauh San Wardan.
"Di mana Sugi?" basa-basi saya menanyakan si kemenakan sekaligus mencoba menyingkirkan rasa takut dan tidak nyaman. Rencana harus tetap  dilaksanakan.
"Ada di dalam," jawab salah satu dari mereka dengan ramah. Sedikit gugup saya masuk ke rumah. Sugi sedang menonton televisi di ruang tengah.
"Bagaimana dia?" tanya saya.
"Mendingan, Mas. Habis makan bubur tadi pagi langsung tidur lagi. Batuk juga hanya sesekali," jawab Sugi.
Saya mengangguk-angguk lalu duduk.
"Mau menengok? Masuk saja ke kamarnya, tidak dikunci kok."
Jantung saya berdebar kencang, ketakutan tiba-tiba menyerang lebih hebat ketika pelan-pelan pintu kamar San Wardan saya buka. Dia tergeletak di pembaringan. Bukan tidur. Bukan. karena matanya melotot dan dadanya sama sekali tidak bergerak. Kulit wajahnya seputih kertas.
Busa kasur bekas di balik pakaian sama sekali saya lupakan dan memilih berteriak memanggil Sugi.
*****
Kabar kematian San Wardan untuk keempat kalinya tersebar. Orang ramai mendatangi rumahnya lebih karena penasaran dengan apa yang akan terjadi. Apakah dia akan bangkit kembali atau malah sekaranglah waktunya dia benar-benar mati.