Mohon tunggu...
A K Basuki
A K Basuki Mohon Tunggu... karyawan swasta -

menjauhi larangan-Nya dan menjauhi wortel..

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Togel

30 April 2012   09:26 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:55 341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13357778921424324811

Togel Oleh: AK Basuki

Kemiskinan bagi Sarbini sudah menjadi takdir tujuh generasi. Kronis. Sejak dari jaman kuda gigit bokong kompeni sampai jaman kuda gigit hape android, kesejahteraan garis keturunan keluarganya tidak pernah tinggi.  Cerita masa lalu dan sejarah keluarga itu sudah sering dia dengar dari bapaknya yang diceritakan oleh kakeknya, yang juga mendengar cerita itu dari kakeknya bapaknya, yang hanya meneruskan cerita itu dari bapaknya kakeknya bapaknya, yang mengutip cerita itu juga dari bapaknya bapak kakeknya bapaknya, yang mendapat cerita itu dari bapaknya bapaknya bapak kakeknya bapaknya. Kesimpulan mereka semua sama, memang lebih enak punya moyang orang kaya karena biasanya kekayaan itu menurun presis penyakit kencing manis atau asma.

Makanya, sejak kecil Sarbini didoktrin untuk bisa mengubah nasib sendiri agar tidak keblasuk jadi kere macam senior-seniornya itu. Tapi mana bisa? Sejak kecil Sarbini dan saudara-saudaranya yang lain tidak sekolah karena tidak ada biaya. Aneh, memang, sejak bangsa ini lulus dari penjajahan, sekolah malah bayar. Mending di jaman perang dulu. Tidak usah sekolah, ikut perang. Modal nekat dan berani mati bisa jadi jendral. Presis Naga Bonar. Jaman sekarang, tidak punya ijazah mana bisa kerja layak? Yang punya ijazah sarjana seperti tetangganya, Muhaimin, malah kadang hanya menganggur dan jadi sering ngumpul di pertigaan Ngasem. Minum ciu sambil ngrokoti jambu air bareng anak muda pengangguran lainnya.

Sarbini toh sudah berusaha semaksimal mungkin. Beberapa pekerjaan sudah pernah dilakoni. Jaga parkir di pertokoan, buruh bangunan, memburu rongsokan, hingga jadi anak buah kapal nelayan. Sayang, sudah beberapa bulan dia tidak pernah diajak melaut lagi oleh juragannya karena hasil tangkapan tidak sebanding dengan biaya operasional kapal. Mungkin ikan-ikan di perairan Indonesia sudah habis atau dihasut ikan-ikan negara jiran untuk menyeberang ke perairan sana. Di sana ikan-ikan merasa aman, karena justru nelayan sana pada cari ikan di sini.

Sampai beberapa bulan lalu lalu, keberuntungannya berubah. Sarbini didatangi Makmuri dan ditawari jadi penjual togel. Kesempatan emas yang bukan emas karena resikonya lumayan besar.

"Keuntungan 20% potong uang pulsa dan satu kali makan siang," kata Makmuri tanpa ekspresi. Orangnya memang begitu.

"Yang biasa njual kemana?"

"Sudah kapok."

"Kenapa kapok?"

"Ditangkep pulisi."

"Kalo saya juga ketangkep nanti, gimana?"

"Tergantung."

"Tergantung apa?"

"Tergantung yang nangkepnya siapa."

"Kok?"

"Kalo yang nangkepnya dari Polsek, terutama Pak Gatot, paling dilepas lagi."

"Kalo cuma buat dilepas, buat apa ditangkep?"

"Akting aja. Dia sudah sohib sama Bos."

"Kalo yang nangkepnya bukan dari sektor?"

"Gutbai."

"Yang artinya?"

"Sampai jumpa minimal 6 bulan lagi."

Begitulah, akhirnya karena kepepet Sarbini mau juga. Hasilnya memang lumayan signifikan. Dalam beberapa minggu dia sudah bisa membeli banyak perabotan rumah. Meja, kursi, lemari, lemari es dan televisi. Karena masih bujangan, sisanya dia simpan untuk modal kawin.

Aman-aman saja pekerjaannya itu. Oknum-oknum dari Polsek juga jarang mengusik karena sudah sohiban dengan Bos. Kata Makmuri, diinterogasi atau ditangkap semalam itu sudah biasa, tapi tidak akan sampai diproses. Paling-paling jikapun ditahan, malamnya hanya diajak ngopi dan makan gorengan bersama-sama disambi ngobrol. Cuma untuk mendinginkan gejolak yang terjadi di masyarakat. Itu pun jarang terjadi karena masyarakat kebanyakan justru menganggap togel sebagai jalan keluar yang paling mudah untuk mengatasi kemiskinan. Dengan kata lain, mereka juga suka beli togel. Mereka sudah sering tertekan oleh beratnya beban hidup hingga tidak berpikir panjang lagi. Padahal, Bang Haji Rhoma sudah menegaskan kalau judi adalah haram. Mungkin itulah sebabnya bangsa Indonesia tidak maju-maju karena mengingkari pesan-pesan Bang Haji.

Setiap hari Sarbini berkeliling, keluar-masuk kampung untuk menarik uang. Update nomer buntut tiap hari selalu dia pantau dari pesan yang masuk ke ponselnya langsung dari bandar. Bandar jarang rugi, tentu saja membuat Sarbini makin sejahtera.

Tapi seperti kata pepatah: sepandai-pandai tupai melompat, akhirnya jatuh juga, tibalah hari apesnya.

Dua orang berbadan tegap, berjaket kulit dan berkaca mata hitam mendatangi rumahnya hari itu. Sarbini yang sedang merekap nomor-nomor yang telah masuk, tanggap situasi tapi dengan pengertian berbeda. Dia menyangka, mereka pasti anak buahnya Pak Gatot. Pesan Makmuri, jika suatu saat ada semacam aparat datang tanpa pemberitahuan dari Pak Gatot, kasih saja mereka sekedar uang rokok. Sarbini yang jemawa, tanpa mempersilakan mereka masuk rumah, langsung menyorongkan uang 20 ribuan.

"Nih, buat beli rokok. Kalian tidak disuruh Pak Gatot, to?"

Dua orang itu saling berpandangan dan tesenyum.

"Anda yang bernama Sarbini?"

"Halah, pake formal-formalan begitu. Nih, saya tambahin dua ribu lima ratus! Kalau sebelumnya Pak Gatot menghubungi Bos saya dan kasih tahu mau mengutus bawahannya kemari, saya pasti kasih lebih besar lagi. Tapi, ini tidak ada pemberitahuan. Berarti anda-anda ini mau cari untung dari saya tanpa sepengetahuan Pak Gatot. Apa yang biasa masih kurang?"

Sarbini berani menggertak seperti itu karena tidak mau diperas. Pak Gatot sudah mendapatkan lebih dari cukup dari Bos. Anak buahnya tentu saja tidak akan dia beri kesempatan mencari tambahan dengan meminta padanya. Dia langsung memberikan uang sebatas dia suka karena takut akan dimintai lebih banyak. Makmuri sudah sering menceritakan padanya siasat oknum-oknum itu mencari tambahan penghasilan.

"Maaf, kami datang untuk membawa anda, tidak untuk uang," kata seorang dari mereka.

Sarbini terkejut. Tapi lagi-lagi dia teringat cerita Makmuri, bahwa ada kalanya mereka menahan tersangka untuk mendinginkan gejolak yang terjadi dalam masyarakat. Mungkin beberapa ada yang melaporkan kegiatan jual-beli togel itu diam-diam dan aparat merasa harus bertindak untuk menunjukkan kewibawaan mereka.

"Wah, saya mau dijadiin pulisi?" tanya Sarbini mesem-mesem.

"Anda ikut kami saja, nanti di kantor kami jelaskan semuanya."

"Oke, siap! Nanti malam kita ngopi dan makan gorengan bareng-bareng ya! Saya yang traktir!"

Dua orang itu sudah tidak mau lagi menanggapi omongan Sarbini yang mirip orang gila, karena mereka tidak mengerti sama sekali. Mereka langsung memborgol kedua tangan Sarbini.

"Sebentar to, Pak! Saya mau masukin jemuran dulu. Tadi dititipin sama ibu saya," kata Sarbini masih berani senyum-senyum. Salah satu dari dua orang itu, yang nampaknya sudah eneg dengan kelakuan Sarbini, mengeluarkan pistol dari balik jaket dan memukul kepala Sarbini dengan gagangnya.

Pletak!

Sarbini langsung jongkok sambil meringis kesakitan. Dua tangannya yang sudah di borgol memegangi kepala.

"Kok betulan mukulnya, Pak?" protes Sarbini.

"Lha, memang. Terus anda mau apa?"

"Saya laporkan Bos saya nanti. Bos saya bakalan laporan sama Pak Gatot!"

"Mau Gatot kek, mau Gotet kek, silaken! Kami tahu nama anda juga dari Bos anda itu! Dia sudah ditangkep duluan."

"Hah? Bos saya ditangkep juga, Pak?"

"Iya!"

"Makmuri? Makmuri?"

"Apalagi dia!"

"Bapak-bapak ini anak buah Pak Gatot dari Polsek bukan?"

"Bukan! Kami langsung turun dari Polres!"

"Asem kecut!"

Cigugur, 30 April 2012

- sekali duduk, tetap duduk

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun