Mohon tunggu...
A K Basuki
A K Basuki Mohon Tunggu... karyawan swasta -

menjauhi larangan-Nya dan menjauhi wortel..

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tarjan

2 Mei 2012   11:00 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:50 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah sekian lama Tarjan memendam perasaan yang mendalam. Cintanya kepada Siti hingga kini tetap utuh berwujud angan-angan. Tapi, Siti yang masih terhitung kerabat satu canggah, tidak pernah menghiraukannya. Tiap Tarjan datang bertandang, Siti tidak pernah bersedia menemuinya berlama-lama. Baru sebentar, gadis itu langsung sibuk dengan macam-macam hal. Yang katanya mau menyetrika pakaian lah, menyapu halaman lah, atau malah pergi ke rumah teman. Ada saja alasannya. Ujung-ujungnya, pasti bapak atau ibu Siti juga yang menggantikan anaknya itu menemani Tarjan. Sungkan jika sampai rasa kesalnya terlihat, Tarjan hanya bisa menanggapi ngalor-ngidul pembicaraan mereka, hitung-hitung menghabiskan sebatang rokok sambil berharap siapa tahu Siti akan mau menemuinya lagi.

Tarjan sadar, bukan hanya dia yang biasa bertandang ke rumah Siti. Ada lagi yang lain. Namanya Dali, anak Pak Karsad, pedagang pisang. Ada seseorang yang pernah mengadu padanya bahwa Dali sering menyempatkan mampir ke rumah Siti saat berangkat atau sepulangnya dari kebun. Katanya, mereka sering terlihat duduk berduaan di bawah rindang pohon jambu air depan rumah Siti. Tarjan mengenal Dali, walaupun tidak terlalu akrab karena letak dusun mereka berjauhan. Wajahnya boleh dibilang ganteng, sikapnya menyenangkan dan pintar sekali mencari bahan pembicaraan. Siapa saja yang pernah ngobrol dengan Dali pasti tidak akan merasa bosan. Bercerita tentang apapun, dia pasti selalu bisa membuat lawan bicaranya tertawa. Tidak heran, jika Siti betah berlama-lama mendengarkan cerita Dali.

Jika diperbandingkan dengan Dali, Tarjan toh sama sekali tidak merasa kalah. Dali ganteng, dia juga tidak kurang gantengnya. Dali anak pedagang pisang, dia malahan baru diangkat jadi PNS, Satpol PP. Kerja kantoran, memakai sepatu, seragam, bahkan peluit yang tergantung di pundak menambah wibawanya. Jika sampai peluit itu berbunyi, pedagang-pedagang kaki lima bakalan gentar. Jangan kata cuma peluit, baru terlihat kelebat seragamnya saja mereka sudah kalang-kabut berlarian menyelamatkan dagangan masing-masing. Lebih-lebih pentungannya. Tidak hanya pedagang kaki lima, pengamen di tiap perempatan lampu merah bisa gemetaran jika dia sudah mulai menghunusnya.

Dilihat dari bibit, bobot dan bebet, Tarjan jelas tidak patut kalah dari Dali. Sudah keturunan orang terhormat, sawah dan kebun luas, ditambah status PNS-nya pula. Singkat kata, tidak akan nantinya dia hidup sengsara. Tapi kenapa Siti enggan menerima cintanya, malah lebih condong kepada Dali? Apa Siti memang lebih memilih untuk belepotan getah pisang nantinya? Tarjan heran sekaligus kecewa. Kecewa pada Siti, kecewa juga dengan Dali.

Pernah suatu kali, Tarjan menemui Dali. Maksud Tarjan, baik-baik meminta Dali menjauh, tidak usah lagi melanjutkan hubungan cinta dengan Siti. Tarjan sudah nekat. Dali harus menghiraukannya. Mau menurut ya syukur, jika tidak, apapun maunya si Dali, kalau perlu dengan kekerasan, dia siap melayani. Dasar sama-sama angkuh karena gejolak darah muda, pembicaraan yang awalnya selaras ujung-ujungnya jadi panas dan berakhir dengan pertengkaran. Tidak ada yang mau mengalah. Jika saja tidak dipisah kawan-kawan yang lain, pastilah sudah terjadi perkelahian.

Niat Tarjan batal, kandas. Dali masih saja menemui Siti. Walau demikian, walaupun rasa kecewanya tidak terkira, dia tetap tidak bisa melupakan Siti. Benar bahwa gadis cantik di desanya banyak, bukan cuma Siti, tapi dalam hati Tarjan hanya ada Siti seorang. Siti, Siti, Siti. Tarjan hanya ingin memperistri Siti. Tarjan tergila-gila pada Siti.

***

Tarjan sewot. Masuk rumah tanpa mengucapkan salam, pintu dibanting. BRAGG!!! Jaket dilepas, lalu sepatu yang sering dipakainya untuk menendangi dagangan-dagangan kaki lima dilemparkan sekuat tenaga. Hampir saja mengenai tivi. Kaus kaki yang baunya busuk menyengat, disusulkan pula ke arah sepatunya itu. Terakhir, dia pukulkan pentungannya yang keras dan kaku itu ke atas meja. DHAR! Seperti belum puas, diulanginya sekali lagi. DHAR! Ulah Tarjan itu jelas mengagetkan bapak dan ibunya yang sedang menikmati sore di ruang keluarga.

"Ada apa ini?! Ada apaaaa ... ?! Pulang-pulang kok bawa setan. Ngaget-ngageti orang tua! Sewot masalah apa sebenarnya? Coba sabar. Nggak pantes orang pake seragam bawaannya sedikit-sedikit sewot. Paaaaakkk ... Bapakeeee ... sini! Tarjan bagaimana ini. Coba dibilangi!" Ibunya yang buru-buru mendatangi langsung mengomel sambil memunguti sepatu dan kaus kaki yang berserakan. Bapaknya yang sedang asyik mengunyah cemilan dipanggil-panggil.

"Ada apa, sih? Kebangetan betul. Masuk rumah nggak pakai salam, malah sewot jebrad-jebred. Masalah kerjaan jangan dibawa-bawa ke sini. Marah di sana, jangan dilampiaskan di rumah. Sadar diri sedikit, kamu itu sekarang pegawai berseragam. Nggak pantes kalau didengar tetangga. Suruh minum dulu, Bu!" Bapaknya ikut menegur Tarjan.

Sesudah minum air putih, Tarjan yang merasa hatinya agak sejuk, langsung menyalakan rokok. Asapnya dihembuskan kencang ke atas sambil bersuara, "Huuufff ..."

"Siti, Pak ... Siti. Bingung aku. Memangnya aku kurang apa? Sudah dibela-belain nggak pernah melirik gadis lain biarpun banyak yang setor muka cari perhatian. Nggak pernah kutanggapi karena aku masih cinta sama Siti. Tapi Siti ... hhh ... nggak lumrah ... betul-betul membingungkan." Tarjan mulai mengadu pada bapaknya.

Bapaknya Tarjan sebenarnya sudah bosan dan muak mendengar pengaduan anak lelakinya itu. Setiap kali, pasti tentang Siti, Siti dan Siti. Padahal seperti kata anaknya barusan, sebenarnya memang ada gadis yang menyukai Tarjan. Malahan, tadi sore gadis itu baru saja mengantarkan makanan. Katanya buat Tarjan. Tapi karena Tarjan tidak pulang-pulang, daging ayam di dalam rantang makanan kiriman gadis itu malah sudah dihabiskannya.

"Celeh, kenapa dengan Siti ? Kamu dari sana? Bapak pikir kamu sudah setahun ini tidak pernah lagi mau mampir ke sana. Ditemui Siti atau pamanmu Sadam lagi?" bapaknya Tarjan mengerti kalau yang sudah-sudah ya bapaknya Siti yang sering menemui Tarjan. Eyangnya Sadam adalah kakak dari eyangnya bapak Tarjan, jadi Tarjan memanggilnya paman.

"Iya, Pak. Dari Purwokerto, tadi sore aku langsung ke sana. Alasannya kepingin main sambil mengantarkan martabak kesukaannya Man Sadam. Padahal sebenarnya ya kepingin ketemu Siti. Pikirku karena sudah lama nggak ketemu, siapa tahu sekarang berbeda, sedikit ada perasaan. Nggak tahunya masih seperti dulu, tetap saja Paman Sadam yang menemani ngobrol."

"Oooo, begitu. Ya mungkin Siti masih ada rasa sungkan sama kamu, orang jelas-jelas dari sebelumnya sudah tidak mau. Ya coba besok kapan-kapan ke sana lagi, mungkin saja sudah luluh hatinya. Bukannya si Dali pacarnya yang dulu sekarang sudah punya anak? Seharusnya Siti sudah lupa dengan si Dali itu. Masa iya sih, masih saja alot tidak mau menemui kamu."

"Lah ... kalau begitu mungkin lebih gampang. Tadi kan aku sudah bilang, Pak. Siti itu membingungkan. Mengecewakan."

"Membingungkan bagaimana maksudnya? Apanya yang bikin kecewa? Katamu Sadam yang menemani ngobrol. Kok bisa bilang Siti mengecewakan? Yang jelas kalau ngomong. Jangan sambil merokok dulu, coba." Bapaknya Tarjan mencondongkan badan ke depan, seperti ingin menegaskan betul-betul wajah anaknya itu.

Tarjan mematikan rokoknya.

"Begini, Pak. Memang Man Sadam yang menemani ngobrol. Lama, orang dia sampai mencomot rokokku dua kali. Mungkin karena kasihan, masuklah dia memanggil Siti. Agak lama juga Man Sadam menyuruh Siti keluar. Malahan sepertinya sambil dimarahi, karena kurang begitu jelas kedengaran dari luar. Betul. Siti memang akhirnya mau, tapi matanya basah seperti habis nangis."

Ibunya Tarjan yang sedari tadi diam saja, menimpali, "Berarti betul kata bapakmu. Sepertinya Siti masih sungkan dan malu. Harus dimarahi dulu sama si Sadam baru dia mau. Sudah mau menemui berarti sudah luluh hatinya. Kamu harusnya lega, bukan malah sewot seperti tadi. Bapak harus cepetan menemui Sadam, Pak. Dilamar sekalian saja. Sebentar lagi kan bulan Haji. Eh, lah si Naning nanti bagaimana, Pak?"

Ibunya Tarjan terlihat bahagia sekaligus bingung mengetahui Siti sudah mau menemui Tarjan. Bahagia karena keinginan anak lelakinya hampir terlaksana. Bingungnya, bagaimana dengan si Naning yang suka mengantar makanan dalam rantang untuk Tarjan? Padahal, setiap kiriman makanannya selalu habis dimakan. Tidak ada yang mubazir, walaupun memang lebih sering bapaknya Tarjan yang menghabiskan. Tarjan sendiri tidak pernah mau menyentuh sama sekali. Tentu saja dia lebih suka jika Siti yang rajin mengirimi makanan buatnya, bukan Naning.

Ditanya tentang Naning, bapaknya Tarjan cuma ketawa kecil, "Hehehe ... si Naning biar dibahas belakangan, Bu. Ini Tarjan belum selesai ngomongnya. Katamu tadi Siti membingungkan dan mengecewakan. Bagaimana itu maksudnya, Jan?"

Tarjan sebenarnya bingung untuk meneruskan. Sepertinya ibunya senang sekali mendengar bahwa Siti sudah mau menemuinya.

"Maksudnya begini, Pak. Begitu berhadap-hadapan, Siti aku tanya lagi: Begini, Ti ... aku memang sengaja menemui kamu lagi setelah setahun lewat. Menurutku, kamu sudah tahu keinginanku. Yang sudah ya sudah, tidak perlu diharapkan lagi. Dulu kamu pernah bilang masih menunggu Dali, siapa tahu rumah tangga dengan istrinya tidak langgeng. Tapi sekarang kamu pasti dengar kalau Dali sudah punya anak. Sepertinya sia-sia kalau terus menunggu. Bagaimana kalau sekarang kamu terima aku saja. Umur kita semakin tua. Mau menunggu apa lagi?"

"Betul itu, Jan. Ternyata kamu pintar merangkai omongan juga, ya? Si Siti itu memang sepertinya jodohmu. Terus bagaimana?" Sekarang bapaknya Tarjan yang ganti menyalakan rokok.

Tarjan tidak ketinggalan, ikut merokok lagi.

"Siti diam saja. Aku desak lagi: Ti, to the point saja. Kamu jadi istriku, ya?! Aku sudah punya pekerjaan tetap, ada yang bisa diandalkan untuk mencukupi rumah tangga. Lihat, nih. Aku pakai seragam, sudah jadi PNS. Kamu nanti jadi ibu Dharma Wanita, kalau berangkat acara perkumpulan pasti ke kota. Mriyayeni betul, kan? Pokoknya hidupmu bakalan mulia kalau jadi istriku. Gimana, Ti?"

Bapaknya Tarjan merasakan rokoknya jadi nikmat sekali, hatinya lega bukan buatan. "Jian, bisa juga kamu ngomong. Siapa sih orangnya yang nggak mau jadi istri PNS? Terus?"

Seakan-akan sudah tidak nikmat lagi, Tarjan mematikan rokoknya yang masih panjang. "Itulah, Pak. Jawaban Siti membingungkan. Membingungkan dan mengecewakan. Dia ngggak suka jadi istri Satpol PP. Kalau model PNS yang lain, dia mau. Dia bilang, takut sama pentunganku. Katanya: Kamu suka bawa-bawa pentungan. Kalau ada apa-apa nantinya, aku takut pentunganmu itu kamu pakai untuk mukuli aku. Pokoknya begini, Kang. Aku mau jadi istrimu kalau kamu nggak lagi jadi Satpol PP. Kamu mau ya syukur, nggak mau ya aku nggak akan memaksa. Coba, apa nggak membingungkan itu, Pak?"

Bapaknya Tarjan mendadak batuk-batuk. Asap rokok yang belum sempat dihembuskan berhenti di tenggorokan. Perih sekali rasanya. Jengkel juga.

"SASAH BUSAH!!! Kok nggak wajar betul tingkah si Siti itu? Dikiranya gampang apa jadi PNS, kok kamu malah disuruh berhenti jadi Satpol PP? Kalau kamu mau, berarti kamu bodoh. Jangan! Tidak ada Siti-sitian! Masih ada si Naning. Sudah ... besok kamu ikut Bapak ke rumahnya Pak Guru Kardiman!"

"Tapi, Pak ... Siti ...? Pikirku Bapak mau rembuk dulu dengan Man Sadam. Mungkin saja Siti masih bisa dibujuk-bujuk."

"Apa lagi yang harus dibujuk-bujuk? Sudah jelas-jelas dia nolak. Siti nggak mau sama kamu! Kamu saja yang kebangetan bodohnya, ngejar-ngejar Siti terus. Sudah, sekarang nurut saja sama Bapak!"

Tarjan mencureng, melirik ibunya. Yang dilirik malah hanya tertegun dengan pandangan kosong.

***

Malam itu Tarjan gelisah dan sedih, tidak bisa memejamkan mata. Pikirannya kacau, batinnya galau. Perkataan bapaknya tadi sore dirasa-rasa ada benarnya juga.

"Kamu sekarang sudah tua. Seharusnya sudah bisa memikirkan mana yang baik dan mana yang tidak patut. Sekarang tinggal meyakinkan diri, kamu mau bagaimana? Kalau tetap memilih Siti, apa nggak berarti menyia-nyiakan semua biaya untuk bisa jadi PNS? Si Naning saja!"

Di luar sana, terdengar berisik suara anjing. Melolong panjang. Menjijikkan sekali.

***

[Tamat]

Cigugur, 2 Mei 2012

- saduran bebas dari Cerkak Banyumasan: "Tarjan" oleh Ki Ali Jawa Ngapak

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun