Mohon tunggu...
A K Basuki
A K Basuki Mohon Tunggu... karyawan swasta -

menjauhi larangan-Nya dan menjauhi wortel..

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tarjan

2 Mei 2012   11:00 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:50 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Siti, Pak ... Siti. Bingung aku. Memangnya aku kurang apa? Sudah dibela-belain nggak pernah melirik gadis lain biarpun banyak yang setor muka cari perhatian. Nggak pernah kutanggapi karena aku masih cinta sama Siti. Tapi Siti ... hhh ... nggak lumrah ... betul-betul membingungkan." Tarjan mulai mengadu pada bapaknya.

Bapaknya Tarjan sebenarnya sudah bosan dan muak mendengar pengaduan anak lelakinya itu. Setiap kali, pasti tentang Siti, Siti dan Siti. Padahal seperti kata anaknya barusan, sebenarnya memang ada gadis yang menyukai Tarjan. Malahan, tadi sore gadis itu baru saja mengantarkan makanan. Katanya buat Tarjan. Tapi karena Tarjan tidak pulang-pulang, daging ayam di dalam rantang makanan kiriman gadis itu malah sudah dihabiskannya.

"Celeh, kenapa dengan Siti ? Kamu dari sana? Bapak pikir kamu sudah setahun ini tidak pernah lagi mau mampir ke sana. Ditemui Siti atau pamanmu Sadam lagi?" bapaknya Tarjan mengerti kalau yang sudah-sudah ya bapaknya Siti yang sering menemui Tarjan. Eyangnya Sadam adalah kakak dari eyangnya bapak Tarjan, jadi Tarjan memanggilnya paman.

"Iya, Pak. Dari Purwokerto, tadi sore aku langsung ke sana. Alasannya kepingin main sambil mengantarkan martabak kesukaannya Man Sadam. Padahal sebenarnya ya kepingin ketemu Siti. Pikirku karena sudah lama nggak ketemu, siapa tahu sekarang berbeda, sedikit ada perasaan. Nggak tahunya masih seperti dulu, tetap saja Paman Sadam yang menemani ngobrol."

"Oooo, begitu. Ya mungkin Siti masih ada rasa sungkan sama kamu, orang jelas-jelas dari sebelumnya sudah tidak mau. Ya coba besok kapan-kapan ke sana lagi, mungkin saja sudah luluh hatinya. Bukannya si Dali pacarnya yang dulu sekarang sudah punya anak? Seharusnya Siti sudah lupa dengan si Dali itu. Masa iya sih, masih saja alot tidak mau menemui kamu."

"Lah ... kalau begitu mungkin lebih gampang. Tadi kan aku sudah bilang, Pak. Siti itu membingungkan. Mengecewakan."

"Membingungkan bagaimana maksudnya? Apanya yang bikin kecewa? Katamu Sadam yang menemani ngobrol. Kok bisa bilang Siti mengecewakan? Yang jelas kalau ngomong. Jangan sambil merokok dulu, coba." Bapaknya Tarjan mencondongkan badan ke depan, seperti ingin menegaskan betul-betul wajah anaknya itu.

Tarjan mematikan rokoknya.

"Begini, Pak. Memang Man Sadam yang menemani ngobrol. Lama, orang dia sampai mencomot rokokku dua kali. Mungkin karena kasihan, masuklah dia memanggil Siti. Agak lama juga Man Sadam menyuruh Siti keluar. Malahan sepertinya sambil dimarahi, karena kurang begitu jelas kedengaran dari luar. Betul. Siti memang akhirnya mau, tapi matanya basah seperti habis nangis."

Ibunya Tarjan yang sedari tadi diam saja, menimpali, "Berarti betul kata bapakmu. Sepertinya Siti masih sungkan dan malu. Harus dimarahi dulu sama si Sadam baru dia mau. Sudah mau menemui berarti sudah luluh hatinya. Kamu harusnya lega, bukan malah sewot seperti tadi. Bapak harus cepetan menemui Sadam, Pak. Dilamar sekalian saja. Sebentar lagi kan bulan Haji. Eh, lah si Naning nanti bagaimana, Pak?"

Ibunya Tarjan terlihat bahagia sekaligus bingung mengetahui Siti sudah mau menemui Tarjan. Bahagia karena keinginan anak lelakinya hampir terlaksana. Bingungnya, bagaimana dengan si Naning yang suka mengantar makanan dalam rantang untuk Tarjan? Padahal, setiap kiriman makanannya selalu habis dimakan. Tidak ada yang mubazir, walaupun memang lebih sering bapaknya Tarjan yang menghabiskan. Tarjan sendiri tidak pernah mau menyentuh sama sekali. Tentu saja dia lebih suka jika Siti yang rajin mengirimi makanan buatnya, bukan Naning.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun