Sebenarnyalah telah basah sajadahku, kuyup alas tidurku karena air mataku. Air mata yang kusembunyikan dari ibumu agar dia tak menganggapku seperti lelaki yang bukan lelaki seutuhnya. Karena sungguh, aku tak mampu melihatnya mengulum kesedihannya di mana sebenarnya aku dapat memberikan satu ketenangan padanya, cukuplah aku dengan tangisanku sendiri. Aku telah merasa cukup banyak berdoa pada Tuhan dan aku yakin sebenarnya semua itu telah di dengar-Nya dan aku malu untuk meminta lebih banyak lagi.
Aku memohon kepadamu, hadirlah. Beri kebahagiaan bagi ayah dan ibumu. Atau jika semua itu belumlah cukup, beri kami kepastian atau suatu pertanda agar lebih besar lagi harapan kami akan kepastian yang kelak akan datang itu.
Aku adalah ayahmu, Anakku, maka sangat wajar jika aku sering memimpikanmu bahkan bukan hanya di salah satu dari waktu tidurku. Ayah pikir, itu adalah salah satu pertanda bagi kehadiranmu kelak, entah kapan.
Seperti engkau berkata:
"Ayah, bersabarlah."
Ayah telah sangat bersabar, Anakku, pun ibumu. Dan ayah akan tetap mencoba bersabar jika memang kepastian itu benar-benar akan datang. Beberapa putaran waktu lagi atau sampai memutih rambut dan renta tubuhku pula ibumu, kami akan bersabar. Tetapi sungguh, batas antara sabar dan tidak itu tidaklah begitu tebal sehingga tidak sukar bagi kami untuk meretasnya. Mungkin kau belum tahu jiwa manusia yang rapuh seperti daun-daun kering, begitulah mungkin jika nanti kaupun mewujud kamanungsan.
Ibumu pun tanpa pernah disangka-sangka berkata suatu waktu:
"Aku sering memimpikannya bahkan di saat bukan salah satu dari waktu tidurku."
Ayah terkejut karena ibumu pun memimpikan hal yang sama.
"Ah, bukankah dia hanya menyuruhmu untuk bersabar?"
"Tidak."